15. Short story (Amona & Alden)

9.2K 650 10
                                    

Malam hari sekitar pukul 11 malam bunda memintaku membelikannya martabak depan minimart yang ada di dekat rumah. Katanya ingin sekali sampai tidak tahan, aku sudah mengumpat kesal didalam hati karena bisa-bisanya bunda menginginkan sesuatu dijam segini, aku yang tadinya sedang maskeran pun mau tak mau melepas maskerku, dengan perasaan kesal aku mengangguk menuruti permintaan bunda yang sangat merepotkan itu, seperti sedang mengidam saja.

Ayah sebenarnya sudah menawarkan diri untuk membelikan martabak tersebut tapi bunda bersikukuh bahwa Amona yang harus membelikannya, hal yang semakin membuatku kesal adalah aku harus membeli martabak itu dengan Alden karena sudah malam perempuan tidak baik keluar sendirian.

Makin dibuat jengah dengan permintaan bunda yang bermacam-macam---ia yang tidak ingin ada daun bawang di martabaknya--- aku hanya mengangguk pasrah lalu menghampiri Alden yang sudah siap diatas motor, segera aku naik ke jok belakang motor lalu kami melenggang menuju tukang martabak itu berada.

Dalam perjalanan hanya ada keheningan diantara kami berdua, jelas saja, tadi sore ia mencekikku seperti akan membunuhku, bagaimana mungkin aku tidak marah kepadanya? Sesampainya di tukang martabak Alden memarkirkan motor ke parkiran, minimart malam ini cukup ramai.

Aku segera memesan satu porsi martabak telur tanpa daun bawang dan satu martabak manis. Beberapa saat kemudian pesanan sudah siap, aku membayar pesanan martabak itu kemudian menghampiri Alden yang duduk diatas motornya sambil memainkan ponsel.

"Ayo pulang," Ucapku datar, Alden mengangguk. Kemudian Alden mengendarai motornya pulang kerumah dengan santai.

"Kak," Katanya yang dapat kudengar dengan jelas karena jalanan cukup sepi.

"Apa," Ujarku ketus. "Maaf," Katanya lirih, aku mengamati jelas raut wajahnya di spion yang ternyata tepat mengarah kepadanya, ia terlihat menungguku menjawab permintaan maafnya.

"Kamu tadi kenapa cekik aku sampe segitunya? Pengen aku cepet mati?" Jawabku masih sama ketusnya dari yang tadi.

Alden berjengit, kemudian menggelengkan kepalanya, "Ya Allah suudzon banget, orang tadi gue khilaf, kirain ga terlalu kenceng soalnya terakhir kali nyekik, kata lo gue kayak gapunya tenaga." Ucapnya polos, aku melotot dibuatnya.

"Den, kamu terakhir kali nyekik aku itu pas aku SD sedangkan kamu masih TK, jelas aja ga kerasa. Sekarang kamu sadar dong udah gede gini, makanya otot kamu juga jadi kuat. Mikir kali," Kesalku kepadanya, ia hanya tertawa canggung lalu menggaruk belakang kepalanya dengan tangan kiri.

"Iya, makanya gue minta maaf." Katanya lalu menoleh sedikit kearahku.

"Kalo sampe aku mati gimana Den? Gada yang ngomelin kamu kalo keseringan main game, gada yang ngomelin kamu kalo kamar kamu berantakan, gada yang ngomelin kamu kalo lagi ngebantah ucapan bunda, gaada yang ngerepotin kamu kalo aku lagi butuh sesuatu, gada yang dengerin curhatan kamu kalo kamu lagi galau, kamu juga gabisa dengerin curhatan aku lagi, pokoknya gaada aku, kamu seneng?" Lirihku, kulihat bahu Alden meluruh, di spion mata Alden memerah, yang kemudian membuatku tertawa terpingkal-pingkal.

"Den, kamu mau nangis? Beneran? Ini Alden yang kata bunda selama masa kecil jarang nangis bahkan ga pernah nangis? Tiba-tiba mau nangis sekarang? lucu banget," Kataku tak percaya yang diakhiri dengan tawa menggelegar selama perjalanan pulang.

Alden tetap diam sambil menatap datar jalanan di depan, "Den, kamu beneran udah bisa ngurus bisnis sendiri? Masa gitu aja mau nangis, Den, woi." Kataku sambil mendorong bahunya.

Ia tetap bergeming, sepertinya ia ngambek.

Karena gemas dengan adikku yang ternyata sudah besar ini, akhirnya aku memeluk dirinya dari belakang, menikmati aroma parfum yang menguar dipunggung yang kini ternyata sudah cukup lebar.

Adikku yang dulunya kecil dan selalu kalah jika bertengkar denganku kini sudah dewasa dengan kepribadiannya pula yang berbeda. Aku tersenyum lembut, menikmati kenyamanan punggung adikku, pastilah seseorang yang menjadi pendamping hidupnya nanti dipenuhi rasa bahagia menemukan lelaki seperti Alden. "Den, jangan cepet gede dong," Lirihku yang mungkin tidak didengar olehnya.

Berselang beberapa menit kemudian Alden bersuara, "Kak," Ucapnya pelan.

Aku pura-pura tidak mendengar. "Kalo suatu saat nanti lo ketemu sama cowok buat dijadiin pendamping hidup, usahain cowonya yang kayak gue ya," Lanjutnya, aku tetap tidak bergeming.

"Yang ganteng, baik, sayang keluarga, sayang sama lo, kaya raya, bisa diajak main sama gue, suka jajanin gue, mau direpotin, mau jagain lo juga, terus suka ngasih duit ke gue, ya kak?" Katanya panjang lebar, aku tersenyum geli mendengar permintaannya yang sebagian besar untuk Alden itu.

"Kayak bang Vale misalnya," Lanjutnya yang langsung saja membuatku menjauh dari punggungnya, memukul bahu Alden dengan keras.

Alden mengaduh dan terkikik geli melihatku kesal. "Bener ya, kakak tu sebenernya selalu sensitif kalo denger nama bang Vale," Ucap Alden dengan nada kalem yang membuatku terdiam, lalu memilih kembali menelungkupkan kepalaku ke punggungnya.

Sampai dirumah aku melihat lampu utama diruang tamu sudah dimatikan, aku pikir ayah dan bunda berada di ruang keluarga seperti biasa tapi setelah sampai disana aku juga tidak menemukan keberadaan ayah maupun bunda, lampu dapur sudah mati, berarti kemungkinan besar mereka berada didalam kamar.

Alden mengikutiku dari belakang, "Ayah bunda mana?" Tanyanya kepadaku, aku mengendikkan bahu juga tak tahu lalu menunjuk kamar diatas dimana keberadaan ayah dan bunda berada.

Kami memutuskan untuk mengetuk pintunya, ayah membuka dengan mata sedikit mengerjap-ngerjap sepertinya terbangun dari tidurnya, "Bunda udah tidur," Kata ayah yang membuat Alden melototkan matanya kaget. "Bisa-bisanya bunda tidur setelah nyuruh kita beli martabak malem-malem gitu yah?" Tanya Alden dengan tampang kesal ke arah ayah, respon ayah hanya mengendikkan bahunya, "martabaknya kalian makan aja," Katanya kemudian menutup pintu tanpa pamit dulu kepadaku ataupun Alden.

"Ayaaaah!" Teriak kami berdua. Aku dan Alden saling bertatapan, lalu aku menyerahkan bungkusan martabak tadi kearah Alden. "Kamu aja yang makan," Ujarku lalu melangkah menuju kamar setelah menyerahkan martabak itu kepada Alden.

Setelah aku masuk kedalam kamar aku paham dengan maksud bunda yang menyuruhku pergi membeli martabak dengan Alden malam-malam begini. Ia hanya ingin aku dan Alden menyelesaikan masalah kita berdua dan berbaikan dengan sendirinya.

Ayah dan bunda sangat menghargai kami sebagai anaknya dengan menyelesaikan masalah kami sendiri. Beruntungnya aku dilahirkan di keluarga ini.

Physical Attack √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang