19. Lombok pt. 4

9.3K 680 13
                                    

"Kita mau kemana sih Val?" Tanyaku kepadanya karena sedari tadi ia tidak berhenti berjalan menyusuri jalanan para pedagang.

"Katanya mau ke villa, ayo gue tunjukin villa nya. Tapi didepan aja," Jawab Vale membuatku sedikit tersenyum, "Loh, jadi bener villa nya punya kamu?" Tanyaku, ia mengangguk.

"Gapapa kalo kita kesana? Kan ada yang lagi nyewa Val," Ujarku menatapnya, ia berhenti kemudian kembali menatapku, "Gue kan yang punya, jadi sah-sah aja dong kalo yang punya liat villa nya. Lagian kemarin kan lo pengen liat villa gue, daripada gabut seharian ini ga ada kerjaan mending kesana." Jelasnya yang kurespon dengan anggukan.

Tak lama kemudian kami sampai, villa Valeron ternyata cukup besar juga yang sebagian besar dilapisi kaca tebal. Catnya bewarna putih gading menambah kesan elegan. Villa itu mengarah langsung ke arah laut. Ia mengajakku untuk naik keatas bangunan seperti menara yang ada di villa tersebut, yang memang dikhususkan untuk melihat pemandangan.

"Waah, gila. Keren banget lautnya kalau dilihat dari atas gini," Ucapku takjub, apalagi sebentar lagi matahari akan segera tenggelam, pastilah akan sangat indah. Vale berdiri disampingku dengan kacamata hitamnya dan tersenyum tipis.

"Seneng ya kalo liat orang yang kita sayang seneng," Gumamnya yang masih dapat kudengar, "Ha?" Ucapku bingung, "Gimana?" Lanjutku.

Valeron menoleh kearahku, menatap lama wajahku yang kini gemetar karena menahan debar didada. "Lo tau kan kalo gue selalu pegang omongan gue sendiri?" Ucapnya lagi tak nyambung, aku hanya mengangguk mengikuti alur apa yang ingin ia katakan. "Lo, kita maksudnya, sama-sama udah dewasa, dan lo pasti tau kalo sekarang atau beberapa hari lalu, ah, maksudnya beberapa bulan lalu gue lagi deketin lo." Ucapnya membuatku mengernyitkan dahi tak mengerti.

"Ha?" Balas ku nge-lag. Vale hanya tersenyum tipis menanggapi, "Lo inget ga? Gue pengen balikin mukena lo sekalian sama seperangkat alat solat?" Tanyanya, aku mencoba mengingat ucapannya dan menggeleng saat itu juga. "Wah parah," Gumamnya.

Aku meringis, "Kapan kamu ngomong gitu?" Tanyaku.

"Mukena lo masih ada di gue btw," Ucapnya, kalau yang itu aku ingat, "Bukan cuma mukena lo aja sih, banyak, dari jam tangan, buku, gelang, iket rambut, kotak bekel makan, semuanya masih ada di gue." Tuturnya, aku menajamkan pendengaranku menunggu apa yang sebenarnya akan ia katakan pada intinya, "Kamu mau balikin semua itu? Gausah sih, buat kamu aja, lagian gajelas banget semua barang aku masih kamu simpen," Balasku.

Lelaki itu menyunggingkan senyumnya. "Dari dulu lo emang ga pernah peka ya Mon," Ujarnya.

"Apasi Val, kalo ngomong itu yang runtut, jangan di campur-campur gitu," Sungutku karena ia selalu mengatakan hal yang membuatku semakin bingung.

"Ya gimana orang lo aja gapeka," Geramnya menatapku dengan kesal. Kenapa jadi ia yang marah? "Gini deh, to the point aja maksud dari semua ucapan kamu tadi tu apa?" Tanyaku menatapnya, ia membalas tatapanku. Lalu hembusan napasnya terdengar.

"Gatau sejak kapan gue jadi pengen di deket lo, pengen di notice sama lo, makanya gue ngelakuin hal-hal jahil supaya lo selalu inget gue. Karena ada dideket lo bikin gue bahagia." Jelasnya, aku mengamati raut wajahnya yang meneduh, alis tebalnya bergerak naik saat menjelaskan, jantungku juga kian berdebar tak karuan. "Semua yang gue lakuin selama ini supaya dapet perhatian dari lo, tapi gue pikir lo beneran ga ada rasa sedikit pun ke gue, yang ada malah rasa benci karena gue selalu jailin lo. Sampai pada akhirnya entah kenapa gue cemburu waktu liat lo menang lomba sama si Justin itu dan bikin gue emosi, akhirnya gue rusakin piala kalian yang berakhir lo marah besar ke gue. Sampe sebulan kemudian lo bilang pamit ke luar negeri, ninggalin gue yang masih dihantui rasa bersalah walaupun lo udah maafin sih, tapi tetep aja gue ga terima lo ke luar negeri ninggalin gue gitu aja, mana ga pamit lagi." Katanya panjang lebar, aku tetap bergeming sampai ia menyelesaikan ucapannya.

dadaku yang tadinya berdebar kini dipenuhi rasa sesak. "Berarti gue udah lama mendem rasa suka gue ke lo Amona, tapi lo gapeka dan gue pikir lo gasuka balik kegue, makanya gue ga berani ungkapin perasaan gue sejak dulu. Gue takut ekspektasi gue ga sesuai sama kemauan gue. Tapi sekarang, mau lo tolak atau lo terima, gue tetep bakal bilang gue suka sama lo, bahkan mungkin gue udah cinta sama lo." Ujarnya lalu ia memegang tanganku yang sangat dingin, mataku entah kenapa mulai memanas menahan gejolak yang menyesakkan dada.

"Gue pengen banget hidup selamanya sampe tua sama lo,"

"Mau jadi pacar gue ga?" Ungkapnya dengan penuh nada yakin dengan sorot mata teduh dan menenangkan, ia seperti berusaha meyakinkanku bahwa ucapannya benar adanya tanpa dibuat-buat.

"Val, kamu ga lagi jailin aku kan sekarang." Ucapku yang seketika membuat raut wajahnya berubah menjadi datar, ah sepertinya aku akan membuatnya naik darah, "Maksud aku kamu serius pengen aku jadi pacar kamu? Aku pikir kamu cuma pengen buat aku melambung, terus jatuhin hati aku gitu aja tanpa perasaan," Ucapku takut-takut yang seketika membuat Valeron mendekat dan menyelipkan rambutku ke belakang telinga, hal itu tentu saja membuatku dilanda getaran hebat.

"Maafin gue ya, selama ini selalu bikin lo bingung sama perasaan gue,selalu jahilin lo yang bikin lo ga percaya sama gue sampe sekarang." Ujarnya. "Gue ga maksa kok, tapi gue akan berusaha sampe lo mau, hehe." Lanjutnya yang membuatku memelototkan mata.

"Itu mah sama aja kamu maksa," Gerutuku.

"Beda Mon, kalo maksa mah gue ga akan terima penolakan. Tapi kalo gue akan berusaha buat lo percaya sama gue berarti gue bakal berjuang dapetin hati lo." Jelasnya dengan yakin membuatku semakin takut jika apa yang diucapkan Valeron barusan hanya sebuah kata-kata yang melambungkanku saja, setelah aku merespon ucapannya maka ia akan segera menertawakanku yang terbawa perasaan. Huuh, menyebalkan.

"Beneran?" Tanyaku lagi, "Kamu beneran ga lagi jailin aku kan Val?" Lanjutku. Kini Valeron mengangguk yakin, "Emang segitu jahatnya ya gue sampe jailin lo disaat kayak gini? Gue lagi ngungkapin perasaan gue ke lo Amona, jantung gue sama pikiran gue acak-acakan nih," Katanya dengan frustasi membuatku tersenyum senang. Jarang-jarangkan dia sefrustasi ini.

"Pengen dengerin jantung gue ga?" Kata Valeron sambil membawa tanganku kearah dadanya dan benar saja, jantungnya berdegup dengan kencang.

Pipiku sangat panas dibuatnya walaupun semilir angin menyegarkan datang silih berganti. Aku ingin sekali mengungkapkan apa isi hatiku juga tapi aku tak kuasa menahan gejolak yang sedari tadi kupendam, tanpa terasa air mataku jatuh membasahi pipi, Valeron segera memelukku erat sambil mengusap punggungku menenangkan.

Entah kenapa aku ikut melingkarkan tanganku ke perutnya, menikmati aroma tubuhnya yang begitu candu. Isak tangisku tak bisa kutahan lagi, aku menangis sejadi-jadinya tak menghiraukan apapun disekitar. Pikiranku ikut berkecamuk.

Saat tangisku reda Valeron melepaskan pelukannya dan menatap mataku lekat. Bahkan kedipannya pun sampai dapat kuhitung. "Jadi gimana? Lo mau ga jadi pacar gue?" Tanyanya dengan suara merendah, aku bergeming sebentar, ahh lama------

kemudian mengangguk, Valeron sedikit tersenyum. "Apa? Ngomong dong lo mau atau engga," Katanya dengan semangat, aku kembali mengangguk sambil menyeka air mataku, "Iya," Lirihku.

"Anginnya kenceng banget Amona, gue ga denger lo ngomong apa," Ucapnya lagi membuatku mendengus kesal dan menjinjitkan kakiku. Entah keberanian dari mana aku mendekatkan wajahku kearahnya.

"Iya aku mau jadi pacar kamu Val," Bisikku tepat di telinganya, lelaki itu mematung sejenak, sedetik kemudian matanya berbinar dan tersenyum lega.

Ia kembali menarikku kedalam pelukannya sampai aku sadar ada beberapa orang yang sedang menatap kami dari kejauhan, dan aku tahu mereka siapa.

Aku melepas pelukanku dari Valeron, lalu bertanya kepadanya, "Tamu di villa kamu orang mana Val?" Kataku menyelidik, lelaki dihadapanku ini tergagap kemudian menormalkan ekspresinya ketika aku menunjuk kearah mereka.

"Sejak kapan keluarga kita ada di Lombok?" Lanjutku lagi. Valeron cengengesan dibuatnya, aku naik pitam dan mencubit perutnya ganas.

Physical Attack √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang