8. Aku, Ayah, dan Bunda

10.1K 655 5
                                    

Malam setelah acara pesta pernikahan Sherin dan Justin, sampai di rumah aku dicecar bunda dengan pertanyaan, "kapan nyusul Sherin buat nikah?" Yang kujawab dengan helaan napas berat dan langsung ngacir masuk ke dalam kamar. Tak lupa mengunci pintu dan tidur dalam posisi tengkurap, seolah-olah tak mendengar jeritan bunda yang menyuruhku keluar kamar.

Pagi harinya aku menemui ayah yang katanya nanti sore ada jadwal penerbangan, aku menanyakan tentang toko kue ku yang akan dibuka minggu depan, apakah semua sudah siap atau masih ada beberapa hal yang belum terpenuhi. Ayah memberikan wejangan kepadaku untuk selalu teliti dalam menghitung untung rugi juga modal.

Semua tak luput dari nasehatnya untuk selalu berhati-hati, Alden juga akan ikut andil dalam pembukaan toko kue ku nanti, kebetulan dia memang sedang menggeluti dunia bisnis, jadi sekalian belajar kata ayah.

"Ya kalau soal karyawan kamu pilih yang sesuai sama kebutuhan tokomu nanti, pastiin mereka bisa di percaya, kamu dari sekarang juga seharusnya udah nyari karyawan Mona, ntar kalau udah dibuka masa kamu sendiri yang ngelayani pelanggan," Kata Ayah panjang lebar, matanya masih mengarah pada koran didepannya. Aku memainkan ponselku dengan santai. Obrolan yang mungkin tidak baik untuk dilakukan karena aku dan ayah sibuk dengan kegiatan masing-masing.

"Udah dong Yah, Amona udah pilih-pilih pelamar juga, kebanyakan sih mahasiswa, soalnya toko ku juga deket kampus kan," Jawabku sambil membalas pesan Sherin yang sedang membahas tentang sifat asli suaminya setelah menikah.

"Ya bagus deh kalau begitu, nanti kamu hitung-hitung lagi itu modal, harga jual, untung rugi, dan macem-macemnya sama Alden, biar dia yang eksekusi, biar belajar juga." Ujar ayah kemudian meletakkan korannya diatas meja, aku mendongak dan melihatnya berjalan ke arah dapur, sudah pasti menghampiri bunda.

Alden turun dengan pakaian casual, sepertinya ingin pergi keluar. "Mau kemana?" Tanyaku ketika ia sampai didepanku dengan memutar-mutarkan kunci motor.

"Keluar bentar," Singkatnya. Aku mengerlingkan mata. "Sama cewek ya?" Tuduhku, ia tersenyum jumawa lalu melenggang begitu saja tanpa membalas perkataanku.

Aih, sudah besar ternyata dia. Dari arah dapur bunda teriak memanggilku, aku segera menghampiri untuk menghindari celotehan panjang bila aku mengabaikan teriakan wanita itu.

"Apa bun," Tanyaku setelah sesaat sampai di dapur. Kulihat ayah yang sedang duduk di meja makan sambil menikmati camilan yang bunda buat.

"Bantuin bunda masak, nanti ada tamu mau dateng kesini." Katanya lalu menyerahkan aku pisau dapur. Aku mengambilnya.

"Siapa?" Tanyaku penasaran. "Om dirga sama tante Arum, mereka baru balik dari Singapur setelah sekian lama, katanya juga bakal netap disini." Jelas bunda, aku menganggukkan kepala sebagai respon.

Om dirga dan tante Arum itu sahabat bunda, dulunya tetangga kami, rumahnya ada di pojok dekat belokan perumahan, kami masih satu RT, hanya tersekat oleh 4 rumah. Mereka orangtua Valeron.

"Mereka tinggal di rumah pojok?" Tanyaku lagi, bunda mengangguk mengiyakan. Setelah itu obrolan berlanjut ke pembahasan Alden yang akhir-akhir ini sedang berbunga-bunga entah karena apa. Tapi bunda sebagai wanita yang melahirkannya tentu mengetahui sifat anaknya yang mulai berbeda itu.

"Yaudah lah bun, dia juga udah besar," Ayah menyahuti dengan nada kalem, sesekali memasukkan camilannya ke mulut.

"Bunda mah bebas dia mau ngapain asal masih dijalan yang bener, ga ngelewatin batas," Kata bunda sambil menaburkan garam ke atas sayur sop yang sudah mengepul mengeluarkan aroma khas.

Aku bergeming, memikirkan banyak hal, bunda menoleh kearahku, "Kamu nih, kapan dapet gandengannya, adikmu aja udah cengar-cengir tanda-tanda mau serius sama pacarnya masa kamu malah belum." Ledek bunda kepadaku. Aku memutar bola mata malas, melayangkan tatapan pada ayah, mencari pembelaan. Ayah juga menatapku dengan bingung lalu mengernyitkan dahi. "Apa?" Tanyanya tanpa suara. Membuatku jengah dengan tingkah 'pura-pura tak tahunya'.

"Ini gara-gara ayah kali bun, seandainya dulu ayah ga larang-larang Mona buat punya pacar, mungkin sekarang Mona udah bawa pacar bule ke rumah." Sungutku menatap bengis ke arah ayah. Lelaki setengah tua itu gelagapan, lalu meneguk kopinya. Bunda terkekeh geli melihat ke posesif-an suaminya terhadap anak gadis mereka.

"Ya bagus dong, buktinya sekarang kamu masih fresh, belum di jamah-jamah sama lelaki luar sana," Balas ayah dengan frontalnya, bunda mendelik kesal menatap ayah, begitu juga aku.

"Ayahh, Mona ga pernah mikir ke arah sana loh," Gerutuku sambil memasang muka marah.

Ayahku ini benar-benar lelaki yang posesif, setiap hari selama 6 tahun aku berkuliah dan bekerja di Prancis, ia tak berhenti menyuruhku untuk mengirimkan foto kegiatanku sehari-hari. Sampai jengah rasanya, tapi karena aku sayang ayah dan menghormatinya sebagai orangtua, aku tetap melakukan perintahnya.

"Iya tau, anak ayah mana mungkin mikir kearah sana, tapi lelaki yang deketin kamu itu yang mikir kearah situ, apalagi pergaulan di Prancis kan ga kaya di Indonesia," Belanya pada diri sendiri.

"Tapi ada untungnya juga sih kamu belum dapet gandengan sekarang, bunda jadi lebih lega," Sahut bunda menampilkan senyum lebarnya.

"Lagian bunda kamu tuh yang katanya juga udah punya calon buat kamu," Balas ayah menambahkan, matanya mengerling jahil menatapku.

"Maksudnya bun?" Tanyaku penasaran.

"Hust, udah-udah mending kamu cepet potong bombaynya," Katanya kepadaku yang langsung kuangguki dengan enggan. Ayah terbahak ditempat duduknya.

Tak lama kemudian ponsel yang berada di saku celanaku berdering, menandakan adanya panggilan. Setelah mencuci tangan aku segera mengambil ponselku dan melihat siapa yang menelepon.

Ternyata Alden. Ku geser panggilan tersebut dan mengarahkan ke telinga. Aku menatap bunda, mengisyaratkan untuk diam sejenak agar aku bisa mendengar apa yang akan Alden sampaikan.

"Assalamu'alaikum kak, tolong kasihin hp nya ke ayah bentar," Ucap Alden langsung to the point.

"Oke," Jawabku dan langsung menyerahkan handphone ke ayah, ayah mengerti maksudku, segera menyambar ponselku. Aku kembali memotong bombay yang tersisa setengah, bunda bertanya, "Alden kenapa?"

"Gatau bun, dia bilang suruh nyerahin panggilannya ke ayah," Jawabku tenang. Di tempat duduknya ayah tertawa keras, aku dan bunda saling tatap. Aneh melihat ayah yang tiba-tiba tergelak begitu. Kemudian ayah meletakkan ponselku kemeja.

"Alden motornya macet terus masih sama ceweknya, nyuruh ayah nelpon ke orang bengkel langganan buat ambil motor dia," Jelas ayah yang diakhiri dengan bahakan, bunda menggelengkan kepala heran sambil berdecak.

"Kasihan banget anak bungsu ayah lagi ngedate malah macet motornya, terus gimana?" Sahutku dengan tawa yang sama dengan ayah.

"Nanti ayah suruh orang bengkel kesini dulu ambil mobil ayah buat dipake Alden, terus baru kesana ambil motor Alden,"

Aku mengangguk sebagai respon.

Physical Attack √Where stories live. Discover now