12. Moa bakery

9.7K 674 7
                                    

Bunda tersenyum bangga melihatku yang kubalas dengan senyuman pula. Akhirnya toko kue yang merangkap menjadi kafe ini resmi di buka. Kuhembuskan napas lega ketika banyak pelanggan yang antusias dengan pembukaan kafe ini.

Awalnya aku tidak berniat untuk membuat toko kue ku merangkap menjadi kafe, tapi karena desakan dari Alden yang katanya tempatnya pas untuk nongkrong, juga saran dari ayah, mau tidak mau aku menyetujui usul mereka.

Karena hari pertama buka juga, aku mengadakan promo untuk hari ini. Jadilah banyak pelanggan yang berkunjung, ya salah satu cara untuk mengenalkan kafe ku kepada khalayak. Nantinya Alden akan menjadi manager kafe ini di sela kegiatan kuliahnya. Aku memilih dia karena sudah pasti kalau aku percaya padanya, juga agar dia bisa belajar tentang bisnis dan mengelola uang.

Ayah mendukung apa yang sudah kurencanakan, semua berjalan dengan normal.

Om Dirga dan tante Arum sempat berkunjung kesini, mereka ikut memeriahkan acara pembukaan kafeku, juga mempromosikan kepada rekan mereka.

Kurang lebih tiga minggu ini aku tidak bertemu dengan Valeron, bukan karena aku merindukan lelaki itu, tapi kepikiran saja karena orangtuanya kesini. Kalau kata tante Arum yang aku dengar tadi saat berbicara dengan bunda, Valeron sedang mempersiapkan album barunya, kata tante Arum, anaknya itu sedang mendekam di apartement untuk memunculkan ide. Biasanya hal itu dilakukan agar pikirannya tidak buyar. Ya begitulah, aku tidak terlalu peduli.

"Amona," Ujar tante Arum mengagetkanku yang sedang merenung dan memikirkan tempat untuk mencuci tangan yang pas untuk pelanggan agar tidak usah pergi ke kamar mandi.

"Tante ngagetin ish," Dengusku, tante Arum terkikik geli kemudian menyodorkan sebuket bunga.

"Buat kamu," Katanya dengan nada semringah, aku mengernyitkan dahi heran, tumben-tumbenan tante Arum baik padaku.

"Wih, tante Arum minta gratisan ya? Makanya baik ke Amona," Selidikku yang langsung mendapat cubitan halus di lengan.

Ishh, wanita ini benar-benar...

"Sembarangan kalo ngomong, itu dari Valeron, dia gabisa dateng kesini karena masih sibuk sama lagunya yang nggak jadi-jadi itu," Ucapnya dengan gerutuan yang sangat lucu menurutku.

Ia duduk sambil mengipas-ngipas wajahnya, "Dia titip ucapan selamat juga buat kamu," Lanjut tante Arum menatapku dengan intens.

Aku berdehem, menormalkan ekspresi, kenapa lelaki itu mengirim sebuket bunga? Tumben sekali baik. Aku jadi senyum-senyum tidak jelas karenanya.

"Seneng ya kamu Mon," Cibir tante Arum. Yang sontak saja membuat senyumku hilang dan kembali ke ekspresi awal.

"Apasi tan, orang biasa aja, btw titip makasih ya udah ngasih buket bunga,"

Wanita setengah abad itu tersenyum penuh arti, lalu mengangguk. Tangannya menggenggam tanganku erat. Membuatku sedikit berjengit kaget, biasanya kita kan tidak pernah akur.

"Tante boleh ngomong sesuatu ga sama kamu?" Tanyanya dengan wajah kalem, tidak seperti biasanya yang menampilkan wajah judes dan sinis.

Aku terbahak, biasanya juga kalo ngomong tinggal ngomong, ini kenapa harus ijin dulu. Tante Arum yang tadi sudah serius kembali ke mode judesnya, medengus kesal yang semakin membuatku tertawa geli.

"Iya kenapa tan, serius banget,"

"Tante tu pernah mimpi kamu jadi menantu tante," Ucapnya.

Aku menyipitkan mata, meminta penjelasan kepadanya.

"Kamu nikah sama Valeron gitu loh Mon," Lanjutnya dengan kesal.

"Iya aku tahu tan, tapi kenapa tiba-tiba mimpi kayak gitu?"

Tante Arum memukul dengkulku sebal, "namanya juga mimpi ya tante gatau kenapa bisa gitu," Aku terkekeh kemudian mengangguk kecil.

"Kenapa? Tante pengen Amona jadi menantu tante beneran gitu?" Tanyaku sarkas, beliau mendelik tambah kesal.

"Kamu gamau?"

"Ya tante bayangin aja dong gimana problematiknya aku sama Valeron kalo dijadiin satu, apalagi kalo punya mertua galak kayak tante, bisa stres aku nanti," Jelasku sambil menatap tante Arum yang kini sepertinya menahan amarah dengan ucapanku barusan, aku memukul mulutku beberapa kali, merutuki diriku yang asal berbicara.

Kalau diibaratkan didalam komik, diatas kepala tante Arum pasti ada tanduk iblis, telinganya mengeluarkan bara api, tanda bahwa ia akan marah.

"Tante cerita kayak gitu karena tante juga gamau kali kalau sampe punya menantu kaya kamu, kata orangtua jaman dulu kan kalau mimpi diceritain ke orangnya langsung bakal ga kejadian, makanya tante ceritain ke kamu biar ga kejadian, ishh, lagian Valeron juga bisa milih wanita yang lebih cantik dari kamu, banyak juga yang ngantri pengen jadi istri anak tante," Jelas tante Arum panjang lebar sambil menatapku dengan berapi-api, napasnya tersengal, meluapkan semua yang ada di benaknya.

Aku menahan tawa yang sedari tadi ingin keluar, tante Arum lucu sekali kalau sedang marah seperti ini. Om Dirga datang membawakan kopi untuknya, lalu menanyakan kepadaku kenapa tante Arum seperti sedang marah. Aku hanya mengendikkan bahu tak tahu. Tapi tante Arum mengadu kepada suaminya.

"Amona bikin kesel," Celetuknya yang sontak membuatku tertawa lebar sambil memegang perut karena terlalu geli dengan rajukan tante Arum yang seperti anak kecil, padahal umurnya sudah menginjak setengah abad.

Om Dirga memandang kami berdua aneh, "Kalian ni kalo ketemu tengkar mulu, ayo mah pulang. Amona, om sama tante pamit ya, assalamu'alaikum," Kata om Dirga sambil menggandeng tangan istrinya yang masih menatapku dengan jengkel.

"Awas kamu ya Mona kalau sampe jatuh cinta sama anak tante, bakal tante kapok-kapokin kamu sampe malu ketemu sama tante,"

"Oiya satu lagi, kalo sampe kamu jadi menantu tante, tante pastiin hidup kamu kayak di neraka," Ujarnya dengan tatapan tajam kearahku, om Dirga mengelus punggung istrinya yang masih emosi, lalu berjalan keluar dari kafeku. Tawaku masih belum reda. Astagaaa, ibu anak sama saja drama sekali hidupnya.

Physical Attack √Where stories live. Discover now