Chapter 03: Ren dan Pikiran yang Berisik

161 30 0
                                    

REN memandang ke arah luar jendela. Jalan raya ini dihujam oleh perisai-perisai air hujan yang membekukan. Langit bersembunyi di balik tebalnya awan kelabu yang membuat kota ini ikut sendu. Ranting dan daun dari pepohonan yang ada di sepanjang tepian jalan raya ini pun basah, dibuliri oleh air hujan.

"Kau terlihat lebih banyak diam pagi ini," ucap Claude, membuyarkan lamunan Ren. "Sesuatu mengganggu pikiranmu?"

Ren menghela napasnya, tersenyum tipis. "Tak ada yang mengganggu pikiranku. Lagipula, bukankah bagus jika aku tak banyak mengomel?"

Claude yang tengah duduk di kursi sebelah kemudi, menoleh ke kursi belakang, ke arah Ren. "Ini adalah hari liburmu. Jika kau tak ingin bersantai, bukankah ada banyak lagu yang kau rekam tapi belum sempat kau selesaikan?"

Ren memutar kedua bola matanya malas. "Ah, kau membahas itu lagi."

Ren memandangi pantulan wajahnya samar-samar di kaca jendela mobil ini. Dua bola mata yang secokelat biji kopi tersebut kembali menjatuhkan pandangannya ke tepian jalan raya. Toko roti, orang yang nekat membawa sepeda dan menerobos hujan, serta sepasang remaja yang bercumbu di dalam mobil.

"Bagaimana dengan Keith dan Naomi?" tanya Ren. "Mereka masih mencoba memantauku melaluimu?"

Claude terdiam sejenak, tampak tak enak untuk menjawab pertanyaan Ren barusan. "Keith baru saja menanyaimu, Ren."

Ren menyeringai. "Oh."

Claude hanya diam, memandang lurus ke jalan raya.

Sejak ayah dan ibu Ren meninggal, hak asuh jatuh kepada paman Ren, yaitu Keith Walters. Ren baru berusia sebelas tahun waktu itu dan sampai sekarang, dia tak pernah memiliki hubungan yang baik dengan paman dan bibinya.

Keith Walters, mungkin semua orang sudah tau siapa dia. Media mengenalnya sebagai malaikat tak bersayap karena sudah berjasa membesarkan dan menyayangi Ren Walters, musisi muda yang namanya sangat besar dan saat ini bergabung dalam band mendunia bernama Paradise.

Ren memulai karirnya sejak dia berusia sepuluh tahun. Dia adalah penyanyi anak-anak yang paling dicari karena suara emasnya yang  mengisi beberapa soundtrack film anak-anak. Karena ayah dan ibunya yang juga berkecimpung di dunia musik, Ren pun tertarik untuk menjadikan musik sebagai tujuan hidupnya. Meskipun kedua orang tuanya bukanlah penyanyi yang terkenal di televisi, radio, atau semacamnya, tapi Ren memiliki nama yang besar di semua celah itu berkat kedua orang tuanya.

"Tak usah memikirkan dia," ucap Claude, membuyarkan lamunan Ren. "Lagipula, dia takkan tau kau ada dimana sebelum album barumu rilis. Kau lebih baik banyak beristirahat dan menikmati harimu."

Ren tersenyum ringan. "Apakah kau sudah mengurus pembelian rumah di Jepang yang kuinginkan waktu itu?"

"Semuanya sudah kuurus," Claude memberi jeda. "Lalu, bagaimana dengan gadis kotor itu? Apakah tak apa meninggalkannya di sini bersama para asisten di rumahmu?"

"Gadis kotor? Dia memiliki nama. Namanya Lily," Ren memberi jeda. "Dia akan ikut bersama kita."

Claude memicingkan matanya ke arah Ren. "Apa maksudmu dia ikut? Kau bahkan tak mengetahui asal-usulnya. Dia tak memiliki data diri atau semacamnya. Kau ingin memasukkannya ke dalam koper atau bagaimana?"

"Dia akan ikut bersama kita," ulang Ren. "Bagaimanapun caranya."

Claude hanya bisa diam, tak menjawab apapun lagi. Sepersekian detik, dia menghela napas berat. Dia paham betul, pria yang sangat suka mengenakan pakaian berwarna hitam ini tak pernah bisa dibantah jika sudah menginginkan sesuatu.

"Hei, Claude," panggil Ren. "Kira-kira apa yang akan media katakan jika tau sifat asli Keith?"

"Entahlah, Ren," jawab Claude. "Aku bahkan tak yakin mereka akan percaya. Keith adalah malaikatmu di mata mereka."

Ren hanya bisa terkekeh mentah. Setelah mobil itu diparkirkan di dalam garasi dan mesin mobil dimatikan oleh Jack, sopir pribadi Ren, Ren pun segera keluar dari mobil berwarna hitam mengkilat ini dan masuk ke dalam rumah.

"Apa yang sedang kau lakukan?" Ren menyengir ketika melihat Lily tengah duduk di atas sofa, di hadapan televisi. "Menonton televisi? Siapa yang mengajarimu?"

"Marie," jawab Lily, singkat.

Ren mangut-mangut mengerti, duduk di sebelah Lily. "Kau menyukai Marie?"

"Dia orang yang baik," Lily tersenyum ringan. "Dia mengajariku banyak hal hari ini."

Ren terdiam, cukup lama. Akhirnya, perempuan yang selalu membisu ini mau berbicara banyak dan memperlihatkan senyumannya.

"Kita akan ke Jepang, minggu depan. Jadi, persiapkan barang-barangmu," ujar Ren.

Lily terdiam.

"Kau mendengarku, Lily?" Ren mengernyitkan dahinya.

"Apakah Marie ikut?" tanya Lily.

"Apa?"

"Marie," Lily memberi jeda. "Apakah Marie ikut?"

"Kau sangat menyukai Marie, huh?" tanya Ren. "Marie adalah koki di rumah ini dan aku tak membutuhkannya di Jepang. Claude akan menyewa koki di sana."

Lily terdiam lagi.

Ren menghela napasnya. "Kau ingin Marie ikut?"

Lily mengangguk.

"Baiklah, dia bisa ikut," ujar Ren, pasrah. "Apakah kau tau sebuah negara yang disebut Jepang?"

Lily menggeleng.

"Jepang… hm, sebuah negara yang indah di Asia," kata Ren. "Kita akan menghabiskan beberapa bulan disana. Kondisi sosial masyarakat di sana sangat cocok untukku melarikan diri sesaat dan berlibur, sepertinya takkan ada yang kenal denganku. Aku akan menulis lagu untuk album selanjutnya."

Lily mangut-mangut, mengerti.

Ren menyeringai. "Aku tidur dulu. Jangan lupa untuk menyikat gigimu sebelum tidur."

Ren pun segera berjalan menuju kamarnya. Setelah melepaskan pakaiannya satu persatu, dia pun berjalan masuk ke dalam kamar mandi yang terhubung dengan kamarnya untuk mandi dan membersihkan diri. Setelah selesai dan berpakaian, Ren pun duduk di meja riasnya, mengeringkan rambutnya di depan cermin.

"Kau baik-baik saja?"

Ren terlonjak kaget, lalu menoleh ke belakang, ke arah pintu kamarnya yang tak tampak di cermin. "Kau mengagetkanku."

Claude berjalan mendekat ke arah Ren, lalu memandangi pria itu lewat cermin. "Kau membutuhkan pil tidurmu?"

Ren hanya bisa tersenyum mentah. "Ya, tolong."

Claude pun meletakkan pil berwarna putih dan segelas air mineral di atas meja rias tersebut. "Ini yang terakhir dalam minggu ini."

"Bagaimana kau tau aku membutuhkan ini?" tanya Ren.

"Aku tak hanya managermu, tapi juga teman dekatmu," jawab Claude, berjalan ke arah pintu. "Selamat malam."

Ren pun menelan pil tersebut, lalu meraih segelas air putih. Apakah dia setransparan itu di mata Claude? Bagaimana lelaki itu bisa tau kalau Ren sedang tidak baik-baik saja hari ini?

Tidak, Ren tak pernah merasa baik-baik saja. Pikirannya selalu berisik. Ada banyak hal di muka bumi ini yang menjadi limbah di kepalanya. Sebagai seorang penyanyi besar yang dikenal banyak orang dan industri musik serta para pembenci yang kerap bersikap kejam padanya, dia juga selalu meminum obat untuk meredakan anxiety yang dideritanya, tapi dia tak kunjung mendapatkan ketenangan. Yang paling menyakitkan adalah fakta bahwa pamannya sendiri ada di antara sekian banyaknya pembenci itu.

Ren pun mengambil posisi di atas tempat tidurnya. Setelah menarik selimut, dia pun memejamkan matanya.

Tak bisakah dunia menjadi lebih kejam lagi kepadanya?

Safest HavenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang