Chapter 23: Aku Mencintaimu

97 19 0
                                    

JAM dinding berputar, saat ini jarum pendeknya menunjukkan pukul dua. Ren tertidur pulas di atas tempat tidurnya sekitar dua jam yang lalu. Hari ini tak ada hal istimewa yang terjadi. Dia berada di rumah seharian dan produktif dalam mengerjakan aktivitas yang dia sukai seperti membuat lagu baru untuk album baru, membaca buku, menonton film, sehingga hari ini, bisa dikatakan kalau Ren lebih gampang tertidur daripada biasanya.

Ren membuka matanya perlahan ketika dia merasa mulai kegerahan. Sepersekian detik, lelaki itu mengernyitkan dahinya ketika dia melihat Lily samar-samar melalui pandangan matanya yang masih kunang-kunang. Ren pun mengucek matanya, berusaha menetralkan pandangannya.

"Lily? Apa yang kau lakukan di sini?"

Lily yang sedang berbaring tepat di sebelah Ren dengan telapak tangannya yang dia jadikan bantal di kepalanya, hanya memasang wajah datar, atau bahkan tampak terlihat sedih di mata Ren.

Ren mengubah posisinya menjadi bangun sedikit untuk menyalakan lampu tidur yang ada di sebelah tempat tidurnya. "Ada apa, Lily?"

"Aku bermimpi buruk."

Ren mengernyitkan dahinya. "Mimpi apa?"

Lily tak mengindahkan pertanyaan Ren. Alih-alih menjawab pertanyaan Ren, perempuan itu justru mulai menangis. Tangannya mulai sibuk mengusap matanya, menyeka air matanya agar tak terlihat oleh Ren, meskipun usaha itu sia-sia. Lily mulai terisak, sebuah tanda bahwa dia berusaha keras menahan air matanya keluar.

"Lily, apa yang terjadi?" tanya Ren, khawatir. "Ceritakan padaku. Perlahan."

Lily yang semula berbaring menyamping, kini mengubah posisinya menjadi telentang, menatap langit-langit sambil menarik selimut itu menutupi tubuhnya sampai dadanya, rasanya dia dibekukan oleh memori masa lalu.

"Aku memimpikan satu momen ketika aku diminta ke salah satu ruangan di kapal oleh seorang pria dari kapal lain. Dia punya menutup sebelah mata, tubuhnya besar, lalu pakaiannya rapi. Dia memintaku ke ruangan itu, katanya dia hanya ingin memberikanku hadiah karena aku adalah perempuan paling cantik di kapal itu," kata Lily, bergetar. "Lalu, ketika aku tiba di ruangan itu, dia mengunci pintu ruangan itu, berusaha untuk membuka pakaianku dan melecehkanku, meskipun pada akhirnya, aku berhasil kabur sebelum semua pakaianku lepas."

Ren hanya bisa menatap khawatir. Lily masih menangis, air matanya mengalir melalui sudut matanya, dia berusaha sekuat tenaga untuk menahan ketakutannya, meskipun Ren bisa mendengar suaranya bergetar dan tubuhnya juga bergetar ketakutan. Ren mengerti apa yang Lily rasakan. Maksudnya, Ren juga sering mengalami itu. Memori masa lalu benar-benar bisa menjadi seantagonis itu untuk mengoyak hati dan mengusik sebuah malam yang tenang.

Ren mengulurkan tangannya, mengusap air mata Lily. "Maafkan aku, kau harus melalui semua itu."

Bibir Lily bergetar. Tangisannya semakin menjadi, bahkan Ren dapat mendengar suara kecil dari tangisan Lily, meskipun perempuan itu masih berusaha menahannya.

Ren pun menarik Lily ke dalam pelukannya, mengelus punggung perempuan itu penuh kasih sayang, meskipun entah kasih sayang dengan jenis yang seperti apa. Ren berusaha menenangkan Lily. Kedua mata Ren yang tadinya mengantuk berat, seketika hilang karena Lily, perempuan yang paling dia pedulikan, saat ini ada di sini, sedang merasa tak baik-baik saja.

"Ceritakan padaku," kata Ren. "Yang lainnya mengenai masa lalumu."

"Siapapun di kapal itu sempat berkali-kali ingin melecehkanku dan menyakitiku ketika aku menolak," jawab Lily, meskipun memberi jeda yang cukup lama dengan pertanyaan Ren sebelumnya. "Aku merasa terkadang, dunia benar-benar tak adil. Di luar sana, ada banyak perempuan yang memiliki orang tua, hidup di bawah atap yang kokoh, dilindungi oleh ayahnya. Sedangkan aku, mengarungi pasang surut air laut sepanjang hidupku, tak pernah merasa aman. Tak pernah punya atap."

"Aman. Kau sudah aman," gumam Ren. "Karena ada aku di sini… kau sudah memiliki tempat untuk berlindung, Lily. Jadi, jangan khawatir."

"Bagaimana dengan Ren?" tanya Lily. "Apakah kau merasa aman?"

Ren terdiam sejenak, cukup lama. "Ya. Karena ada kau di sini, bersamaku."

Ren tersenyum ringan. Di bawahnya, Lily benar-benar tampak rapuh. Lily yang biasanya selalu datar, saat ini menangis ketakutan dan merasa sedih karena memori masa lalunya. Sepertinya, akhir-akhir ini, Ren terlalu sering melihat ekspresi itu dari Lily. Ekspresi sedih yang sebenarnya tak ingin Ren lihat.

Ren tak menyukai itu. Itu menggores hatinya.

"Bagaimana jika kita menonton satu video musik kesukaanku?" tanya Ren tersenyum, berusaha mencairkan suasana. Lelaki itupun meraih remote yang ada di dekat lampu tidur, lalu menyalakan televisi yang tepat berada di depan kasurnya.

"Musik apa?" tanya Lily.

"Lagu kesukaanku dari penyanyi favoritku," kata Ren, masih dengan senyumannya. "Ini lagu sedih. Mungkin, agar kau tak merasa sedih sendirian, maka kita putar saja lagu sedih biar kita jadi sedih bersama Michael Jackson juga."

She's Out Of My Life, oleh Michael Jackson.

"Kau menyukai lagu ini, Ren?" tanya Lily. "Ada penonton perempuan yang diperbolehkan naik ke panggung lagi."

Ren mengangguk. "Ya."

Michael Jackson mengenakan pakaian mewah berwarna emas, di video musik tersebut. Dari judulnya, itu adalah salah satu penampilan MJ pada tahun 1993 di Argentina. MJ menyanyikan lagu She's Out Of My Life, lalu memperbolehkan salah satu penonton di sana untuk naik ke atas panggung untuk memeluknya ketika bernyanyi.

"Aku mencintaimu."

Lily tertegun ketika dia melihat perempuan itu mengucapkan kalimat itu sambil menangis, menahan sesuatu di dalam dadanya. Perasaan yang mungkin selama ini tertahan. MJ pun memberikan tawa kecil, membiarkan perempuan itu mengecupnya di atas panggung. Namun…

Pelukan lelaki itu tampak seperti tempat berlindung paling aman bagi perempuan itu. Sekalipun mereka berada di atas panggung dan disaksikan banyak orang. Namun, perempuan itu tampak begitu merasa aman. Tak peduli ada banyak orang yang menyaksikan, ataupun banyak orang yang iri dan tak suka, tapi yang terpenting adalah satu hal.

Dia merasa aman karena dia berada di dalam dekapan lelaki yang dia cintai. Mungkin, tempat berlindung paling aman di dunia ini bukanlah sebuah rumah dengan atap yang kokoh ataupun sebuah rumah dengan pagar yang tinggi. Namun, tempat paling aman di dunia ini adalah orang yang kita cintai. Itulah rumah yang sebenarnya.

Sejujurnya… Lily merasa kembali ingin menangis saat ini. Bukan karena sedih. Namun, karena dia melihat sebuah perasaan yang tulus. Itu menyentuh hatinya, seperti lilin yang mencair karena korek api.

"Ah, kenapa kau menangis lagi," kekeh Ren, mengusap air mata Lily. "Ini lagu kesukaanku. Kau menyukainya?"

"Ya."

Ren pun mengganti saluran televisi itu menjadi daftar lagu piano klasik, kemudian mematikan lampu tidur. "Kau tidur di sebelahku malam ini dan televisi akan tetap menyala sampai pagi. Jadi, tak ada yang perlu ditakutkan. Oke?"

"Aku mencintaimu, Ren."

Safest HavenWhere stories live. Discover now