Chapter 14: Pantai Beku

74 20 2
                                    

SORE ini, Lily mendapat pesan dari Ren bahwa dia harus keluar bersama Claude dan beberapa penjaga lainnya untuk suatu urusan. Lily tak tau urusan apa karena Ren tak memberitahu secara rinci, tapi kata Marie, mungkin Ren dan lainnya pergi untuk mengurus sesuatu terkait musik dan dunia hiburan yang sangat tidak Lily pahami.

Lily ketiduran dari tadi siang. Mungkin, karena hari ini Lily bangun pagi sekali, itulah kenapa dia jadi mengantuk di siang hari dan tertidur sampai sore. Ketika dia bangun, rumah sudah sepi, tak ada siapapun. Hanya ada dia dan Marie.

Lily pun berjalan ke dapur untuk mengambil air mineral. Lily terlonjak kaget ketika seseorang tiba-tiba datang dari sebelah kamar Ren dengan outwear yang sangat rapi sambil membawa tas kecil.

"Ah, Lily, maaf mengagetkanmu," kekeh Mike, tertawa kecil. "Aku tiba di rumah ini tadi siang dengan sambutan omelan oleh Ren dan Claude."

"Lalu, bagaimana?" tanya Lily, bersemangat sekaligus penuh harap. "Kau berhasil menemui Amelie?"

Mike tersenyum tipis. "Ya."

"Baguslah," ujar Lily. "Apa katanya?"

Mike terdiam sejenak. Lily yang awalnya tampak semangat, lantas mengernyitkan dahinya, sedikit banyak, mulai paham dengan ekspresi yang terlukis di wajah Mike yang sebenarnya sudah lebih dari cukup sebagai jawaban.

"Aku kehilangannya," jawab Mike, tersenyum paksa.

Hening kemudian. Lily merasa atmosfir yang merangkul mereka berubah menjadi canggung dan kikuk, Lily pun tak tau cara membalas ucapan Mike tadi ataupun mengubah topik obrolan.

"Apa itu?" tanya Lily, penasaran.

Mike mengangkat tasnya. "Ini? Ini adalah sepatu ice skates."

Lily mengernyitkan dahinya. "Untuk apa?"

Mike tersenyum lebar, lalu menarik lengan Lily untuk mengikuti langkahnya. "Ikut aku."

Mike dan Lily pun berjalan menuju pintu belakang, pintu yang akan menghubungkan mereka dengan sebuah pantai, Ren pernah menjelaskannya kepada Lily secara singkat ketika lelaki itu bercerita kenapa dia menyewa rumah itu untuk menghabiskan waktu liburan.

"Pantai?" Lily menatap bingung. "Tapi, beku sekali."

"Itulah alasannya," kata Mike, tersenyum riang. Lelaki itupun memasang sepasang sepatu ice skates miliknya. "Yah, meskipun permukaannya tak sehalus tempat ice skating biasanya. Sebenarnya, sedikit berisiko juga."

Lily lebih terpana melihat langit di sini. Tampak seperti jingga, violet, dan putih berserakan di langit, menciptakan kesatuan yang memanjakan aksa. Lily memeluk dirinya sendiri. Dingin sekali, meskipun dia sempat meraih dan memakai mantelnya ketika Mike menarik tangannya ke sini.

"Mike," teriak Lily. "Apa yang terjadi denganmu dan Amelie?"

Mike yang sedang sibuk berselancar di atas pantai yang membeku, lantas berhenti sejenak, menatap Lily dari kejauhan. "Kami berdebat seperti biasanya."

"Berdebat?" tanya Lily. "Kenapa?"

"Memang itulah yang selalu kami lakukan," jawab Mike. "Maksudku, kau akan terus menemukan ketidaksempurnaan dari pasanganmu bukan karena kalian tak cocok, tapi karena tak satupun dari kalian mau menurunkan ego."

Lily terdiam, cukup lama, mencoba mencerna jawaban Mike. Sedikit dari setidaknya, dia bisa menangkap apa yang Mike maksud.

"Namun, Lily," teriak Mike, dari kejauhan. "Akulah yang paling egois."

"Kenapa?"

"Aku berlagak seperti hubungan itu hanya milikku sendiri," balas Mike. "Amelie bisa mendapatkan pria yang jauh lebih baik. Ah, akhirnya aku bisa terhubung dengan salah satu lagu yang ada di album Paradise."

"Apa?"

"I love you, but I'm letting go."

Hening lagi.

"Sudahlah, semuanya akan berlalu," kata Mike, tertawa. "Semua luka akan sembuh."

Lily tersenyum tipis. "Benar."

Lily pun berjalan menelusuri pantai yang beku tersebut. Bahkan, Mike sedikit kaget ketika dia melihat Lily berjalan mendekatinya, berjalan ke tengah pantai.

"Lily, ini berisiko. Kembalilah ke pesisir," ujar Mike. "Ren akan membunuhku jika es ini tiba-tiba rapuh dan sesuatu terjadi padamu."

Lily menggeleng. "Tidak. Aku ingin lihat langit itu lebih dekat."

"Uh, perempuan yang suka tantangan. Aku suka rasa percaya dirimu," kekeh Mike, lalu mendongakkan kepalanya, melihat langit yang pancarona itu tepat di atas kepalanya. "Indah, ya? Kau menyukainya?"

Lily mengangguk. "Baru kali ini kutemukan."

"Jadi? Ini hal terindah bagimu selama kita di kota ini?" tanya Mike, lanjut berseluncur dengan sepatunya. "Golden moment bagimu?"

Lily terdiam sejenak, tampak ragu. "Bukan."

"Lalu?" Mike mengernyitkan dahinya. "Oh? Mungkin hari ulang tahunmu kemarin lebih tepat sebagai golden moment bagimu, ya?"

"Bukan."

"Lalu?"

"Ketika Ren tersenyum tadi pagi," jawab Lily, datar. Lily pun tampak ragu menjawabnya.

Mike pun berhenti, menaikkan sebelah alisnya. "Apa? Ketika Ren tersenyum?"

Lily mengangguk.

Mike menahan tawanya. "Bukankah wajah malaikatnya itu sering sekali tersenyum? Kenapa kau tiba-tiba menyukai senyuman yang tadi pagi saja?"

"Kau tak mengerti, Mike," ujar Lily. "Senyuman itu tulus dari hatinya. Seperti aku bisa melihat Ren setransparan itu."

Hening merangkul mereka cukup lama. Mike pun ikut diam, mencerna ucapan Lily barusan. Dia tau, Ren memang sering sekali tersenyum. Dia adalah orang yang sangat ramah, bahkan dia memiliki banyak penggemar karena keramahannya. Namun, sepertinya… Lily benar. Tak semua senyuman itu memiliki makna yang sama. Tiap makna dari senyuman itu memiliki porsinya masing-masing dan orang yang di sekeliling kita bisa merasakannya.

"Lily," Mike menghancurkan keheningan yang sempat membekukan mereka sejenak. "Ternyata kau memang menyukai Ren, ya."

"Aku menyukai Ren?" Lily tampak ragu. "Benarkah?"

Mike mengangguk, tersenyum. "Kau bahkan bisa membedakan makna dari senyumannya. Kau menganggap senyumannya adalah hal terindah selama kau di sini sampai langit ini tak berarti apapun bagimu."

Lily pun terdiam lagi. Sepertinya, dalam waktunya bersama Mike kali ini, ada banyak keheningan yang terus berusaha mengisi obrolan mereka.

"Kau menyukai Ren, kan?" tanya Mike sekali lagi.

"Tentu saja. Aku juga menyukaimu, Marie, danー"

"Maksudku, bukan dalam definisi yang seperti itu," kata Mike. "Maksudku, kau menyukainya sebagai seorang pria. Bagaimana menyebutkannya, ya? Ah, ya, kau mencintainya."

"Apa? Tidak."

"Ya. Kau mencintai Ren."

"Tidak."

"Lily, kau mencintai Ren."

"Tidak, Mike."

"Aku tau, kau mencintainya, bukan?"

Lily kembali memberi jeda yang cukup lama. Jantungnya berdegup kencang, seakan Mike mengetuk sesuatu di dalam dadanya yang selama ini entah tak dia sadari atau mungkin takut untuk dia sadari.

"Ya," balas Lily, akhirnya. "Kau benar."

Lily meremas pakaiannya. Dia terlalu takut mengakui apa yang tersimpan di dalam hatinya. Dia juga terlalu takut perasaannya bisa memberatkan Ren.

"Aku tau," ujar Mike, terkekeh menang.

Bahkan jika boleh, Lily ingin menganalogikan kehadiran Ren sebagai tempat berlindung. Sebuah gubuk yang tampak ringkih dan beratap leyot jika dilihat dari luar. Namun, setelah Lily berada di dalamnya, Lily merasa aman.

KREK!

Mike melebarkan kedua matanya kaget ketika permukaan es di posisi Lily saat ini mendadak retak dan membuat tubuh Lily masuk ke dalam air es yang sangat dingin. Mike pun buru-buru melepaskan kedua sepatunya, lalu segera menyelamatkan Lily.

Safest HavenWhere stories live. Discover now