Chapter 33-end: Rumah

230 30 2
                                    

HARI ini adalah konser pertama band Paradise dalam membawakan album terbaru mereka. Ren tersenyum senang melihat semua orang yang ada di gedung ini, mengelilingi panggung dengan gelang berlampu yang mereka miliki di pergelangan tangan mereka sebagai identitas penonton konser malam ini.

"Baiklah, biarkan aku berbicara sedikit," ujar Ren terengah-engah. Dia baru saja menyelesaikan tiga lagu, itu cukup menguras tenaganya. Namun, dia merasa senang sekali karena dia berada di sekeliling orang yang mencintainya. "Shane, Mike, Jeremy, apakah boleh aku berbicara sebentar?"

Tiga lelaki yang masih memegang alat musik milik mereka itu hanya tersenyum sambil mengacungkan jempol, tanda bahwa mereka mengerti apa yang akan Ren sampaikan di depan ribuan orang saat ini.

"Kalian tau, hampir tiga tahun yang lalu, namaku ada di berita manapun sebagai seorang penjahat. Mereka menuduhku sebagai laki-laki yang membawa perempuan enam belas tahun ke rumahku. Ada orang yang percaya akan hal itu. Ada yang tidak. Setelah aku memenangkan persidangan pun, masih ada yang tidak percaya padaku, lalu aku tak masalah akan hal itu. Kalian bebas mempercayai apapun," ucap Ren, memberi jeda. "Aku ingin berterimakasih kepada kalian yang sudah mempercayaiku dan masih menunggu Paradise kembali. Kami sangat mencintai kalian."

Ren tersenyum. Gedung ini penuh dengan teriakan para penggemar mereka.

"Ada seorang perempuan yang pernah berkata padaku bahwa aku selalu dikelilingi orang baik sehingga banyak doa baik yang mengiringi kehidupanku. Itulah cara mereka melindungiku," tambah Ren. "Itulah kenapa, kita semua berhak bahagia. Apapun yang pernah kita perbuat, apapun baik buruknya kita, entah itu di masa lalu ataupun sekarang, kita berhak bahagia," ucap Ren, tersenyum.

Kedua mata Ren tampak berkaca-kaca di layar besar stadion ini. Semua orang pasti tau, saat ini Ren menahan sesuatu yang ada di dalam dadanya.

"Maka dari itu, aku akan membawakan sebuah lagu untuk seorang perempuan yang paling kucintai di dunia ini," ujar Ren sambil menaruh gitarnya, tanda bahwa pada lagu selanjutnya yang akan dia bawakan ini, dia takkan memainkan gitar. Shane, Mike, dan Jeremy yang sudah tau akan hal ini pun segera beranjak dari panggung, membiarkan Ren memiliki waktunya sendiri. "Judulnya adalah She's Out Of My Life, oleh Michael Jackson."

Alunan musik itu mulai memenuhi atmosfir stadion ini. Ren menghela napasnya, rasanya berat untuk berdiri di panggung sendirian hanya dengan sebuah head mic. Tanpa harus memainkan gitar. Dia berdiri di hadapan banyak orang, menyanyikan satu lagu yang merupakan isi dari hatinya selama hampir tiga tahun belakangan ini.

"She's out of my life
And I don't know whether to laugh or cry
I don't know whether to live or die
And it cuts like a knife
She's out of my life."

Tiap kali Ren memejamkan matanya, dia hanya melihat Lily. Mungkin, terdengar klise. Namun, perasaan kehilangan yang selama ini dia tahan sendirian benar-benar membuatnya tersakiti. Meskipun sudah hampir tiga tahun berlalu. Namun, bagi Ren, berapa tahun pun lagi, takkan ada yang bisa menggantikan posisi Lily. Lily adalah orang pertama yang mencintai Ren dengan tulus di saat semua orang menyakitinya. Lily adalah satu-satunya orang yang bisa melihat Ren dengan apa adanya, mengetahui baik dan buruknya Ren, tapi masih mencintai Ren.

Ren benar-benar menyesal bahwa dia tak sempat memberitahu Lily bahwa dia juga mencintai Lily. Bahkan, mungkin, perasaannya jauh lebih besar dibanding perasaan yang Lily miliki padanya.

"And I took her for granted, I was so cavalier
Now the way that it stands
She's out of my hands."

Tiba-tiba, Ren merasakan tubuhnya dipeluk dengan erat dari depan. Semuanya benar-benar terjadi begitu cepat. Benar-benar terasa seperti sekelebat cahaya. Perempuan itu datang dari tangga yang sudah disediakan oleh staff. Tak ada yang melarangnya naik ke atas panggung. Rambut panjangnya diayunkan angin sebagai properti panggung.

"Ren."

Ren tertegun. Suara itu sangat dekat dengannya, tepat di depan telinganya. Suara yang tak asing baginya, meskipun sudah lama tak dia dengar. Suara yang begitu dia rindukan.

Perempuan yang saat ini memeluknya adalah Lily.

Ren mempererat pelukannya, seketika melupakan lirik lagu yang harus dia selesaikan. Semua kata yang ada di kepalanya seketika hilang. Dia sudah melupakan semuanya. Ren melepaskan head micnya.

"Lily, aku mencintaimu," kata Ren, lirih. Ren masih memeluk tubuh Lily dengan erat. "Sangat."

Ren melepaskan pelukannya, menatap wajah Lily yang sudah basah oleh air mata. Ren tersenyum ringan, lalu mengusap wajah Lily dengan tangannya. Kedua mata Ren berkaca-kaca. Seakan pulang ke sebuah rumah. Itulah yang dia rasakan saat ini.

Semua orang yang ada di stadion ini berteriak. Ada yang ikut menangis terharu. Ren yakin, semuanya pasti mengingat wajah Lily, seorang perempuan yang sempat dinyatakan sebagai korban kejahatan Ren, beberapa tahun yang lalu. Kini, perempuan itu ada di sini. Ren yang dulu selalu takut kalau media mengenali Lily, kini memeluk perempuan itu, sudah tak peduli dengan apapun di luar sana.

"Aku selalu menunggumu," ujar Lily. "Mike menjemputku dan mengusahakan persetujuan keluarga Landgraab. Mike yang membuatku ada di sini."

Ren tersenyum nanar. Setelah ini, dia pastikan kalau dia akan membalas kebaikan Mike, meskipun sepertinya, kebaikan Mike bukanlah sesuatu yang bisa dibalas dengan apapun. Namun, lelaki itu adalah sahabatnya, sahabat Lily, orang yang sangat Ren pedulikan dan juga sangat peduli kepada Ren.

"Aku tak pernah tau rasanya tak punya rumah karena aku selalu hidup di kapal, sejak kecil. Namun, kehilanganmu membuatku mengerti bagaimana rasanya, Ren," ujar Lily.

"Maka, hiduplah bersamaku, Lily," kata Ren. "Aku tak peduli lagi dengan apapun di luar sana. Aku selalu mengkhawatirkan masalahku yang akan menambah masalahmu, tapi ternyata, semua itu bukan apa-apa ketika kita bersama orang yang kita cintai. Semuanya bukan apa-apa jika kita selalu memiliki tempat untuk pulang."

Lily tersenyum, mengusap matanya.

"Ah, kenapa kau menangis lagi," kekeh Ren, mengusap wajah Lily dengan jemarinya.

Rumah bukanlah tempat, tapi perasaan. Itulah yang Ren dan Lily yakini. Sebuah tempat yang bukan hanya melindungi kita dengan bahu, punggung, ataupun pelukannya, tapi dengan perasaan, doa, dan kekhawatirannya. Seketika, semua hal yang ada padanya adalah tempat berlindung bagi kita sehingga tiap kali kita memiliki masalah, orang yang kita cintai tetap tau caranya membasuh masalah itu dari tubuh kita.

Mike, Shane, dan Jeremy pun berjalan memasuki panggung, lalu tertawa meledek Ren, terutama Mike. Lelaki itupun merangkul pundak Ren dan Lily, dua orang sahabat yang sangat dia pedulikan. Begitu pula dengan Shane dan Jeremy. Dari posisi Ren saat ini, dia dapat melihat Claude yang tersenyum teduh ke arah panggung sambil mengacungkan jempolnya.

Mereka semua adalah rumah dan tempat paling aman yang sebenarnya bagi Ren.

-----------------------------------------------

20 Juli 2024
Safest Haven,
end.

Safest HavenWhere stories live. Discover now