Chapter 28: Ombak

72 19 0
                                    

LILY dan Mike tiba di rumah sekitar pukul tiga dini hari. Beruntungnya, tak ada yang menyadari kepergian mereka, terutama Claude. Lelaki itu sepertinya sudah tertidur dengan pulas. Jika saja Claude tau mereka keluar rumah diam-diam malam ini, telinga mereka mungkin bisa sakit mendengar omelan lelaki berkacamata itu. Selain itu, Lily baru bisa tertidur di pagi harinya. Entahlah, mungkin ada hubungannya dengan rasa takut yang masih membekas di dadanya akibat mimpi buruk kemarin.

"Lily."

Lily mengernyitkan dahinya, membuka kedua matanya perlahan ketika dia merasa seseorang memanggil namanya beberapa kali. Lily pun mengerjapkan matanya untuk menetralkan pandangan. Lily dapat melihat gorden kamarnya yang seharusnya masih tertutup, kini sudah terbuka lebar, membiarkan sinar matahari memasuki kamarnya karena ada seseorang yang membukakannya.

"Ren?" Perlahan dengan mata yang masih sangat berat, Lily mengubah posisinya menjadi duduk. "Ada apa?"

Ren duduk di tepian kasur sambil mengernyitkan dahinya, memandangi wajah Lily dengan tatapan bingung, seakan menebak-nebak sesuatu. Sepersekian detik, lelaki itu menempelkan tangannya di dahi Lily. "Kau sakit?"

Lily sedikit kaget karena Ren tiba-tiba menempelkan tangannya, sontak menggeleng. "Kurasa tidak."

"Aneh sekali karena kau melewatkan sarapan dan makan siang. Ini sudah sore dan kau masih tertidur," kata Ren, menyipitkan kedua matanya, curiga. "Apa yang terjadi? Kau sengaja terjaga semalaman?"

Lily menggeleng cepat, justru menambah rasa curiga Ren. Lily memang buruk sekali untuk menyembunyikan sesuatu.

Di obrolan ini, ada satu hal yang lebih Lily bingungkan dan membuatnya gugup. Kenapa Ren bertingkah biasa saja seolah tidak ada yang terjadi di antara mereka? Padahal, rasanya, dua hari yang lalu, mereka baru saja berdebat mengenai perasaan yang Lily simpan untuk Ren. Mengenai Ren yang menolak Lily mentah-mentah. Dua hal itu memberikan kecanggungan yang cukup tajam di antara mereka dan itu membuat Lily sangat tidak nyaman. Lily tau, dia yang salah dan dia yang menciptakan semacam batasan di antara mereka sejak itu.

Sebenarnya, dia bersyukur Mike mengajaknya bersenang-senang kemarin. Entah itu mewarnai rambut ataupun berjalan-jalan ke pusat kota, Lily senang karena ada Mike yang menghiburnya.

"Lalu, apa ini? Kau mewarnai rambutmu?" tanya Ren, menaikkan sebelah alisnya. "Ah, jangan bilang kau adalah pelanggan Mike's Barber Shop kemarin."

"Bagaimana kau tau?"

"Yah, aku, Shane, dan Jeremy, juga pernah beberapa kali menjadi 'pelanggan' dari barber shop menyebalkan milik Mike. Untung hasilnya bagus," kekeh Ren. "Jadi, kau kemarin bersamanya?"

Lily mengangguk. "Ya."

"Kau tak terlihat seharian kemarin, kupikir kau menghabiskan waktu siangmu menonton di kamarmu. Ternyata, bersama Mike. Baiklah, aku senang kau bisa bersenang-senang," ucap Ren, tersenyum ringan.

Lily terdiam, sangat lama. Dia ingin sekali meminta maaf karena hendak mengira-ngira, berharap banyak, atau bahkan terkesan kepedean, apakah itu artinya, Ren sempat mengkhawatirkannya kemarin?

Lelaki yang mengenakan pakaian hijau army itu pun bangun dari posisinya, lalu berjalan menuju pintu kamar Lily. Ren berhenti di ambang pintu, lalu menoleh ke arah Lily. "Aku ingin berselancar ke pantai belakang rumah. Kau ingin ikut?"

"Memangnya boleh?"

Ren terkekeh kecil. "Kenapa tidak boleh? Tentu saja boleh."

Lily terdiam sejenak. "Baiklah, aku akan menyusul dalam dua puluh menit."

"Baiklah. Jangan lupa sunscreen, payung, dan tikar pantai, Lily. Kau bisa mengambilnya di dekat rak payung."

Ren pun berlalu. Lily segera berjalan menuju kamar mandi untuk bersih-bersih dan berganti pakaian. Meskipun jujur saja, Lily masih merasa mengantuk berat, tapi rasanya, Lily tak bisa mengabaikan Ren karena saat ini, Lily hanya menginginkan satu hal.

Safest HavenWhere stories live. Discover now