"APA yang kau lakukan di sini?" tanya Ren, melipat kedua tangannya di depan dada, menghela napas berat. Baru saja dia dan Lily sampai di rumah setelah membeli donat, dia sudah dihadapkan dengan wajah menyebalkan yang dia lihat kurang lebih dua bulan penuh di studio rekaman, bulan lalu. Mike, si gitaris utama di band mereka, Paradise.
"Oh? Apakah kalian baru saja pulang dari berkencan?" tanya Mike, penuh selidik. "Ah… aku iri sekali dengan sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta."
"Hentikan. Kami hanya membeli donat," ujar Ren, melepaskan mantelnya. "Yang lebih penting lagi, kenapa kau ke sini?"
"Ayolah, Ren. Kau terlalu keras kepadaku," kata Mike, memasang wajah memelasnya. "Aku sahabatmu. Aku ingin liburan bersamamu."
"Aku hargai ketulusanmu sebagai penggemarku, tapi aku sudah cukup bosan memandang wajahmu selama proses rekaman," kata Ren, tersenyum kecut. "Lagipula, kita diberikan waktu libur sebelum kembali sibuk. Gunakanlah waktu liburmu sebaik mungkin."
"Itulah kenapa aku datang ke sini. Lagipula, Shane dan Jeremy terlalu sibuk dengan wanita mereka. Aku tak punya teman," kata Mike.
"Lalu, kenapa kau tak mencoba untuk menghabiskan waktu dengan wanitamu juga?"
"Aku tak punya pacar."
"Kau pikir, Shane dan Jeremy punya?" Ren menaikkan sebelah alisnya. "Mereka hanya bergonta-ganti wanita untuk sekedar memenuhi rasa haus akan kasih sayang, bukan?"
"Aku tak ingin yang seperti itu," ujar Mike, memutar kedua bola matanya sebal. "Kau pun sama saja. Kau berlibur bersama Lily. Kalian semua sudah dimabukkan oleh wanita. Selain itu, Lily menggemaskan sekali."
Lily yang merasa namanya dibicarakan, lantas menoleh ke arah mereka dengan mulut yang sibuk mengunyah donatnya. Mike dan Ren memandangi perempuan itu, lalu menghela napas bersamaan.
"Lily, kau ingat aku?" tanya Mike, tersenyum ramah sambil menunjuk dirinya sendiri. "Gitaris tampan dari band Paradise."
Lily hanya diam, tak menjawab apapun. Dari sorot matanya, mereka sudah bisa menebak bahwa Lily sama sekali tak mengenal anggota band Paradise selain Ren.
"Hahaha, dia tak mengenalmu," ujar Ren, tertawa mengejek. Mike hanya bisa mendengus sebal, memandangi Ren dengan kesal.
"Baiklah, tuan-tuan, sudah cukup bercandanya," Ren, Mike, dan Lily pun menoleh ke arah sumber suara. Claude baru saja tiba dan memasuki ruang tengah ini dengan mantel abu-abu yang menambah karisma pada dirinya. "Pertama, jelaskan padaku, Ren, kenapa kau berani sekali keluar dari rumah ini tanpa ada yang menemani."
"Lily yang menemaniku."
"Lebih tepatnya, kau yang menemani Lily."
"Ayolah, tak ada siapapun di sekitar sini, Claude," rengek Ren. "Biarkan aku menikmati hari liburku dengan tenang."
"Tetap saja itu berbahaya. Itu sudah menjadi risikomu karena kau bintang besar," ucap Claude. "Lalu, kau. Kenapa kau datang ke sini?"
"Ah, kau dingin sekali, Claude. Kalian berdua kasar sekali kepadaku. Aku merindukan kalian, itulah kenapa aku ke sini."
"Pergilah cari pacar atau semacamnya agar kau bisa menghabiskan waktu libur sendiri," kata Claude, tersenyum kecut. "Kau selalu mengganggu ketika hari libur tiba."
"Aku tak butuh wanita hanya untuk mengisi kekosonganku. Lagipula, wanita bukanlah jaminan kebahagiaan tiap pria."
"Baiklah, baiklah, Tuan Superior. Kau bisa memakai kamar di sebelah kamarku kalau kau mau," ucap Ren, pasrah. "Kau bisa meminta kuncinya ke Marie, nanti."
"Terima kasih, Ren! Biarkan aku memelukmu."
"Ah, hentikan."
"Oh ya, Lily, aku membawakanmu buku mengenai bunga. Entahlah, aku sedang berada di toko buku dan teringat padamu ketika aku tak sengaja melihat sampulnya. Kau mau?" tanya Mike, mengeluarkan sebuah buku yang tebal dari tasnya, lalu menyodorkan buku bersampul putih cantik itu kepada Lily.
Lily menatap Mike dengan tatapan berbinar, lalu meraih buku tersebut. "Terima kasih."
"Namaku Mike," ujar Mike, menyodorkan tangannya untuk bersalaman, tersenyum manis. "Yah, kita tak sempat berkenalan waktu itu karena paginya aku langsung pergi dari rumah Ren untuk pergi ke rumah orang tuaku."
Lily mengangguk mengerti, tersenyum. Ren yang melihat dua insan ini bersalaman dan berkontak mata, hanya bisa memutar kedua bola matanya malas, mengingat bahwa Mike adalah anggota band paling kekanakan di Paradise dan mungkin akan cocok jika berteman dengan Lily yang juga kekanakan.
***
"Apa maksudmu kau tak mau?" Pria itu menatap Ren dengan tajam. "Ini akan menjadi penampilan perdanamu sejak Tim dan Annie meninggal. Sampai kapan kau mau terpuruk di atas tempat tidur bodohmu itu?"
Ren, yang saat itu masih berusia sepuluh tahun, hanya bisa memeluk bantalnya dengan air mata yang mulai mengalir. Kamar itu berantakan. Dia bahkan belum memindahkan baju-bajunya dari koper ke dalam lemari.
"Berhenti menangis," kata Keith.
"Bisakah Paman sedih sedikit atas kepergian Ayah?" ucap Ren.
Keith yang semula berada di ambang pintu, lantas berjalan ke arah Ren dengan tatapan marah, lalu menarik kerah baju lelaki itu.
"Kau ini siapa sampai ingin mengatur emosiku?" tanya Keith dengan emosi yang memuncak. "Sekarang, kau hanyalah anak yatim piatu yang terpaksa harus kuurus."
Air mata Ren semakin deras. Kali ini, bukan hanya karena perasaan sedihnya akibat kepergian orang tuanya, melainkan perasaan sedih, takut, dan marah yang bercampur aduk menjadi satu.
"Kubilang berhenti menangis!" hardik Keith membuat Ren menutup matanya, ketakutan.
"Kau ingin tau sebuah rahasia?" Dia melepaskan kerah baju Ren dengan kasar sehingga lelaki itu sedikit terhempas ke atas kasurnya. "Kau bukan anak kandung dari Tim dan Anne. Kau hanya seorang bayi yang dipungut di tempat sampah dengan pakaian yang compang-camping."
Ren terbangun dari tidurnya. Napasnya memburu, jantungnya berdegup kencang. Dia berkeringat, padahal kamar ini terasa sangat dingin sebelumnya. Ren mengepal tangannya kuat, kemudian memegangi kepalanya frustasi.
"Hanya mimpi," gumam Ren, menghela napas dalam.
Ini bukan pertama kalinya dia bermimpi buruk seperti ini. Keith sudah sering mendatangi bunga tidurnya, membawa memori masa lalu yang kelam. Entahlah, pria yang memiliki wajah sangat mirip dengan Tim Walters, ayah Ren, itu sangat membencinya dan hal itu hampir melukai kewarasan Ren sendiri. Dipukul, ditendang, dan masih ada banyak tindak kekerasan lainnya yang pernah Ren terima, membuat lelaki itu jadi setengah gila sejak masih belia.
Beberapa tahun yang lalu, sebelum band Paradise terbentuk dan Claude belum menjadi managernya, jika Ren terbangun dari mimpi buruknya dengan pikiran kacau, lelaki itu akan membanting barang-barang yang ada di sekitarnya, sebelum para asisten di rumahnya datang untuk menenangkannya. Itulah kenapa, Ren pun memiliki beberapa dokter pribadi untuk mengurusnya jika dia sakit, sekaligus untuk menenangkannya jika pikirannya menggila. Namun, Ren harus jujur, keberadaan Claude di sisinya benar-benar berdampak besar dalam hidupnya. Claude tak hanya managernya, tapi juga sahabatnya. Itulah kenapa, Claude pergi kemanapun Ren pergi.
Ren berjalan keluar dari kamarnya. Ruang tengah tampak gelap, mungkin karena Claude sengaja mematikan lampunya tadi. Mungkin, hanya secangkir kopi hangat yang bisa menenangkan dirinya saat ini.
Baru saja Ren hendak berjalan menuju dapur, langkahnya terhenti ketika dia melihat lampu di ruang tengah menyala. Bukan lampu utama, tapi lampu lantai yang menjulang tinggi dengan cahaya berwarna kuning. Ren mengernyitkan dahinya, berjalan mendekat ke arah seorang perempuan yang baru saja menyalakan televisi dan mengambil posisi di atas sofa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Safest Haven
RomanceRen Walters, seorang vokalis dari band mendunia yang tak sengaja bertemu dengan seorang perempuan di jalanan dan menyelamatkannya dari dua orang preman yang ingin menjual perempuan tersebut. Perempuan itu menyimpan masa lalu yang kelam, dia bahkan t...