Chapter 15: Gymnopedie

76 18 0
                                    

"BISAKAH kalian jelaskan apa yang terjadi beberapa jam yang lalu?" tanya Ren, menatap kesal ke arah Lily dan Mike secara bergantian. Saat ini, Lily sedang duduk di atas sofa dengan selimut, serta rambut yang berantakan karena baru saja mandi dan mengeringkan rambut.

"Kau penyebabnya?" tanya Ren, menatap Mike. "Apa yang kau lakukan?"

"Aku dan Lily hanya ke pantai belakang untuk bermain ice skating," jawab Mike, berusaha membela diri. "Apa yang salah dari hal itu? Ini cara kami bersenang-senang."

"Ya, ya, bersenang-senang pantatku. Bukankah otakmu itu harusnya tau kalau permukaan pantai yang beku itu tetap rapuh dan berisiko?" Ren memijit dahinya, sedikit pusing dengan insiden kecil yang baru saja mereka alami.

Ren sangat kaget ketika dia pulang dan melihat Lily yang baru saja tiba dari pintu belakang dengan basah kuyup dan menggigil kedinginan. Ren bahkan menjatuhkan semua barang bawaannya karena dia begitu panik melihat Lily yang sudah pucat kedinginan.

"Yah, kupikir aku memang salah karena membuat Lily jadi begini," kata Mike, mengelus kepala Lily. "Maafkan aku, Lily."

"Ren, Mike tak salah," kata Lily. "Aku yang berjalan ke tengah pantai. Mike sudah memperingatkanku."

"Entahlah," Ren menaikkan kedua bahunya. "Itu juga jika kau tak sakit keesokan harinya."

Mike mengernyitkan dahinya. "Ada apa denganmu? Kau tampak emosional dibanding biasanya."

"Bukan urusanmu," jawab Ren, meraih mantelnya, lalu berjalan menuju kamarnya. "Aku ingin istirahat."

Mike, Lily, Claude, dan Marie yang berada di ruangan ini pun saling pandang.

"Ada apa dengannya? Apakah dia sedang PMS?" tanya Mike, memutar kedua bola matanya sebal. "Ah, ya, tumben sekali kau tidak mengomeliku, Tuan Kacamata. Padahal, biasanya, mulutmu sangat tajam sampai telingaku terluka."

"Kau dan Ren kan sama saja, sama-sama keras kepala. Hanya akan membuatku semakin tua saja jika terus marah-marah," balas Claude, memunguti barang-barang Ren yang tadi lelaki itu tinggalkan. "Lily, jika kau sampai sakit, beritahu aku dan aku akan mencarikan obat untukmu."

"Aku serius, apa yang terjadi dengan Ren?" tanya Mike. "Lalu, tadi kalian kemana?"

"Bertemu dengan Keith."

Mike terdiam. Lily menatap ekspresi Mike dengan wajah bingung, mengenai kenapa nama 'Keith' itu bisa membuat Mike berubah ekspresi.

"Apa? Dia di Jepang?" tanya Mike, menautkan alisnya.

"Ya," jawab Claude, singkat, menghela napasnya. "Sudahlah. Sebentar lagi kita akan malam malam kan, Marie?"

Mike tampak terdiam, membeku di posisinya, entah memikirkan apa. Namun, dari ekspresi Mike, Lily dapat menyimpulkan bahwa seseorang bernama Keith itu adalah seseorang yang menakutkan sampai bisa membuat Mike terdiam dan was-was seperti itu.

Makan malam hari ini pun dilewati tanpa kehadiran Ren. Ren tak ikut makan malam, katanya dia ingin istirahat. Sejak jam makan malam tadi, Lily hanya bisa mendengar melodi piano yang acak dari luar kamar Ren. Lily tak paham, apalah Ren sedang sibuk membuat lagu baru? Namun, kenapa sampai tidak sempat untuk ikut makan malam?

Apakah Lily boleh masuk ke kamar Ren, sekedar untuk memastikan lelaki itu baik-baik saja?

Setelah berpikir cukup lama, akhirnya Lily membuka gagang pintu kamar Ren, lalu mengintip sedikit. Lily pun membuka pintu kamar Ren lebih lebar, lalu masuk ke kamar Ren dengan perlahan karena ragu.

Lily mengernyitkan dahinya ketika dia melihat Ren yang sedang tertidur di kursi piano, menenggelamkan kepalanya di balik lengannya yang dia sandarkan di atas tuts piano. Dia masih mengenakan pakaian dari luar tadi. Di dekat piano itu, ada satu botol kecil transparan berisi pil yang Lily tak tau apa itu.

"Ren," panggil Lily, duduk di sebelah Ren. Lily pun menepuk kecil bahu Ren, membangunkan lelaki tersebut. "Ren, bangun."

Ren pun membuka matanya perlahan, lalu mengubah posisinya menjadi duduk. Lelaki itu meringis, memegangi punggungnya yang jadi pegal karena posisi tidurnya barusan.

"Lily?" Ren mengernyitkan dahinya. "Ada apa?"

"Kau belum makan malam," ujar Lily.

"Aku sedang tak ingin makan," kata Ren. "Ada yang ingin kau sampaikan padaku selain itu?"

Lily terdiam sejenak. "Kau marah padaku?"

Ren menautkan alisnya. "Apa? Kenapa aku marah padamu?"

"Mungkin, karena aku melakukan hal bodoh dan jatuh ke air pantai, lalu itu membuatmu kesal," jawab Lily.

Ren terkekeh kecil. "Kau bicara apa."

Ren pun merenggangkan tubuhnya dan kedua tangannya, lalu menyentuh tuts piano dengan jemarinya. Rangkaian nada itu terdengar halus di telinga Lily. Ren memainkannya dengan sangat baik, seketika menyihir Lily untuk diam dan mendengarkannya dengan tenang.

"Ketika kau mendengar lagu yang kumainkan, kau merasakan sesuatu?" tanya Ren.

"Mungkin… nyaman?"

Ren terkekeh lagi. "Sesederhana itu?"

"Lalu, apa?"

"Kalau menurutku, lagu ini membuatku merasa sedang berada di sebuah hutan di sebuah pagi buta dengan langit yang masih pilu membiru, embun pagi yang masih berkumpul dan membuat dahi terasa basah, lalu perlahan, matahari pun terbit," jelas Ren. "Benar katamu. Di balik itu semua, kita merasakan nyaman."

Haven, oleh Eliott Tordo Erhu.

"Keren sekali," puji Lily, kagum. "Kau bisa merasakan musik sedetail itu."

"Lily, aku seorang musisi," Ren tersenyum ringan. Lelaki itupun bangkit dari posisinya, lalu berdiri di belakang Lily. "Biarkan aku mengajarkanmu dan kau akan memainkan satu lagu."

Kedua mata Lily tampak berbinar. Perempuan itupun mengangguk semangat, lalu memasang wajah serius.

Ren pun menyentuh jemari Lily dari belakang, mengepaskan jemari itu di atas tuts. Lily pun tertegun ketika dia dapat merasakan jarak Ren dan dirinya bisa setipis ini. Dia bahkan bisa mendengarkan suara tarikan dan hembusan napas Ren, dari belakang.

"Ini Gymnopedie no. 1," kata Ren, mulai menekan tuts piano menggunakan jemari Lily. "Kau merasakannya?"

"Merasakan apa?"

"Perasaan dimana kau merasa terobati setelah kau memainkan musik," ujar Ren. "Itu yang selalu kurasakan, tiap kali aku terluka dan aku memainkan musik."

"Ren," Lily memberi jeda. "Apakah kau terluka?"

Ren terdiam sejenak, cukup lama. Jemarinya masih memainkan tuts piano. "Ya."

"Apakah karena Keith?"

Musik yang Ren mainkan tiba-tiba terdengar tak karuan. Lalu, jemarinya berhenti memainkan tuts piano. Ren pun berpindah dari belakang Lily menuju tempat tidurnya, mengemasi barang-barangnya. "Pergilah tidur, Lily. Ini sudah malam."

"Apakah Keith yang melukaimu?" kata Lily, mengulang pertanyaannya.

"Darimana kau tau nama itu?" tanya Ren, menatap serius. Lily tertegun. Wajah Ren benar-benar serius dan tampak kesal, tak seperti biasanya. "Kau mencari tau mengenai diriku?"

"Tidak."

"Lalu?" tanya Ren. Nada bicaranya begitu dingin di telinga. "Aku tak suka jika kau mengorek-ngorek informasi mengenaiku seperti para penggemarku di luar sana. Benar-benar menyedihkan."

Lily melebarkan kedua matanya. Hatinya terasa sakit ketika mendengar ucapan itu dari Ren.

"Kau salah," bantah Lily. "Aku tak mengorek apapun. Aku hanyaー"

"Sudahlah. Aku jadi tiba-tiba keras padamu. Aku minta maaf," ujar Ren, menghela napasnya berat. "Kembalilah ke kamarmu dan tidur, Lily. Ini sudah malam."

Safest HavenWhere stories live. Discover now