Chapter 24: Piknik

96 19 0
                                    

"ADA apa ini? Tumben sekali kau merencanakan aktivitas di luar," komentar Ren, melipat kedua tangannya di dada, duduk di kaki sofa ruang tengah. "Padahal, biasanya kau melarang kami keluar. Atau bahkan menyuruh kami memakai janggut palsu yang sangat menyebalkan."

"Ah, kau berisik sekali. Kau ingin ikut atau tidak?" tanya Claude memutar kedua bola matanya sebal, sembari menyeret sebuah tas berisi perlengkapan yang akan mereka bawa. "Ini sudah memasuki pertengahan musim semi, suhu luar ruangan begitu hangat dan nyaman. Kupikir, akan menyenangkan jika kita pergi berpiknik."

"Tumben sekali," kata Mike, menaikkan kedua bahunya. "Tapi, yah, kedengarannya menyenangkan."

Sejujurnya, Mike tau, tujuan Claude tiba-tiba merencanakan piknik seperti ini adalah untuk menghibur Ren. Lelaki itu banyak diam akhir-akhir ini. Sejak bibinya, Naomi, meninggal, dia memutuskan untuk pergi ke Amerika tanpa memberitahu alasannya. Mike juga ingin sekali mengetahui kondisi hati Ren saat ini. Namun, dia tak berani bertanya apalagi membahas sesuatu yang mungkin saja bisa mendatangkan awan hitam bagi Ren.

Namun, sejak kembali dari Amerika, Ren tampak mulai kembali ceria, meskipun Mike tak tau alasan dari pemasangan arm sling di lengannya. Tak hanya Mike, pasti Claude pun ingin tau.

"Lalu, apakah kami perlu memakai janggut jelek itu?" tanya Mike, berkecak pinggang. "Jika perlu, maka aku tidak ikut. Lebih baik aku tidur di kamarku daripada aku harus gatal-gatal ulah janggut itu dan pulang dengan dagu iritasi."

"Tidak perlu. Aku sudah memilihkan tempat yang indah dan sepi untuk quality time kita," jawab Claude, bangga. "Ren, kau ikut, kan?"

Ren menaikkan kedua bahunya. "Aku masih memiliki lagu yang belum selesai kurekam, tapi mungkin itu bisa menunggu."

Mereka pun bersiap-siap, mengenakan pakaian santai untuk pergi berpiknik menuju tempat yang Claude pilih. Lily menatap takjub sepanjang perjalanan karena bunga sakura ada dimana-mana, merah muda, merekah sempurna, beberapa jatuh ke jalan kecil seperti hujan gerimis.

Sepersekian detik, Lily menopang dagunya, menatap ke arah luar jendela dengan tatapan kosong setelah dia teringat dengan kejadian tadi malam. Malam itu, dia mengeluarkan satu kalimat yang lebih seperti sebuah pertaruhan, entah diterima ataupun tidak, Lily merasa itu adalah kalimat yang benar-benar harus dia sampaikan, entah kalimat itu pantas atau tidak untuk Ren dengarkan. Namun, bukannya Lily hanya asal bicara. Dia sudah memikirkan hal itu berkali-kali, menimbang-nimbang apakah Ren benar-benar harus mengetahui isi hati Lily yang sebenarnya.

Bagaimana jika tidak ada jawaban?

Setelah mendengar kalimat itu, Ren hanya mengelus kepala Lily dengan lembut, membantu perempuan itu untuk tidur. Tak ada jawaban apapun dari Ren. Lily sempat bertanya-tanya, apakah dia mengatakan kalimat itu dengan kurang jelas? Namun, mustahil Ren tak mendengarnya. Lagipula, bahasa tubuh Ren selanjutnya seakan sengaja mengalihkan topik singkat itu.

"Baiklah, harus kuakui, ini indah sekali dan seleramu bagus juga," komentar Mike, menyikut Claude yang sedang sibuk menggelar alas dan keranjang piknik di atas rumput berwarna kuning tersebut.

"Hei, jangan sikut aku," ujar Claude mendengus sebal. Alih-alih mendengarkan ucapan Claude, Mike justru menyandarkan tubuhnya di bahu Claude, membuat lelaki berkacamata yang sedang berjongkok itu lantas kehilangan keseimbangannya, lalu terjatuh ke samping ditambah Mike menimpanya, ikut terjatuh menimpa Claude dengan tawa iblisnya.

"Cepat menyingkir dariku. Kau berat."

Mike terkekeh geli, lalu segera bangun dari posisinya. Tak lama kemudian, kedua mata Mike menangkap Lily yang sedang berjongkok di dekat sebuah danau yang tak jauh dari posisi mereka, tampak mengelus seekor kucing yang sedang tertidur.

Safest HavenWhere stories live. Discover now