Chapter 20: Sakit

82 18 0
                                    

SEJAK hari itu, Ren lebih pendiam daripada biasanya. Dia juga lebih sering menghabiskan waktu di dalam kamar, Lily sering sekali mendengar Ren memainkan alat musik di dalam kamarnya. Lalu, seperti yang Ren pernah katakan, memainkan musik adalah terapi baginya untuk mengusir segala kesedihan dari hati dan pikirannya. Itu artinya… saat ini, Ren sedang merasa sedih.

Kecanggungan di antara Ren dan Lily pun tetap membeku begitu saja, mereka tidak sempat mengobrol banyak setelah perdebatan kecil pada malam natal itu. Ren pun sepertinya merasa lelah sejak itu sehingga Lily tak mau mengganggunya, bahkan mengajak mengobrol karena dia takut.

Namun, jika dipikir-pikir, itu adalah reaksi normal dari seorang manusia untuk merasakan kesedihan jika ditinggalkan, apalagi oleh keluarga sendiri. Mike bilang, sebuah kewajaran jika Ren tiba-tiba tak banyak omong begitu dan untuk saat ini, yang harus semua orang lakukan di rumah itu adalah memahami situasi dan memberi waktu untuk Ren.

Namun, waktu yang dibutuhkan Ren rasanya benar-benar membuat Lily sedih. Lily tak ingin menjadi seseorang yang egois, tapi Lily merasa khawatir kepada Ren. Kekhawatiran itu bertambah ketika Ren memutuskan untuk terbang ke Amerika pada bulan Januari dengan tujuan urusan keluarga. Ren pergi dengan jajaran penjaga yang sudah pasti bisa menjamin keselamatan Ren dari apapun, tapi tetap saja, Lily merasa khawatir.

Ternyata, rasa khawatir terhadap orang yang kita cintai itu memang sangat rumit. Kita tetap merasa khawatir meskipun orang yang kita sayangi tidak kenapa-napa.

Hari ini sudah memasuki pertengahan bulan Mei. Sudah sekitar empat bulan Ren pergi dan tiap hari, tetap sama, Lily merasa khawatir dan terus memikirkan Ren. Ren pun tak memberitahu kapan dia akan kembali ke Jepang. Ataukah takkan kembali?

Lily menghela napasnya berat, duduk di kursi pantai sambil memeluk dirinya, memandangi langit biru dengan awan-awan putih yang tebal. Air pantai sudah tak beku lagi, Lily dapat melihat ombak laut yang berayun-ayun dari posisinya saat ini.

Tap.

Lelaki dengan jaket abu-abu itu berlutut, tersenyum ke arah Lily. Lelaki itu menyodorkan setangkai bunga lily putih di hadapan Lily. Kedua mata Lily pun berbinar, sepersekian detik, mulai berkaca-kaca. Lelaki itu masih tersenyum manis, tampaknya sudah bisa menebak reaksi yang akan perempuan ini berikan untuknya.

Lalu, posisi ini, posisi dimana Ren berlutut sambil menyodorkan bunga lily adalah ketika pertama kali Ren memberikan sebuah nama untuk Lily.

"Ah, sudah kuduga," kekeh Ren. Tawanya yang menampakkan gigi putih yang rapi dan lesung pipi kecil di sudut bibirnya itu benar-benar Lily rindukan selama tiga bulan ini. Ren mengusap mata Lily dengan tangannya. "Kenapa harus menangis? Ternyata, tiga bulan tidak mengubah apa-apa dari dirimu."

"Aku memang kekanakan, seperti yang kau katakan."

"Ya, kekanakan," kata Ren. "Tapi, sepertinya, akupun tak mau kau berubah."

"Ren yang berubah," gumam Lily.

"Berubah?" Ren mengernyitkan dahinya. "Kenapa?"

"Kau jadi sering marah," jawab Lily, apa adanya.

Ren terdiam sejenak, lalu menghela napasnya. "Lily. Aku marah padamu waktu itu karena aku mengkhawatirkanmu. Itulah kenapa aku bisa semarah itu."

"Khawatir?"

Ren tersenyum ringan, mengangguk. "Ayo, masuk."

"Ada apa dengan tanganmu?" tanya Lily, mengernyitkan dahinya. "Kenapa menggunakan benda itu?"

Lily baru menyadari kalau sebelah tangan Ren menggunakan arm sling, sebuah benda yang digunakan untuk menggendong tangan yang patah.

"Aku tak sengaja jatuh dari tangga," jawab Ren, tersenyum. "Ayo, masuk."

Safest HavenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang