Chapter 04: Japan

138 30 0
                                    

REN melepaskan kacamatanya setelah mereka tiba di dalam rumah berwarna cokelat campur krem tersebut. Lelaki yang mengenakan mantel berwarna cokelat itu pun menghela napasnya panjang, dapat merasakan kedamaian dan ketentraman di kota ini dibandingkan tempat asalnya.

Jelas saja, kedamaian dan ketentraman itu tidak dia dapatkan bukan karena negeri asalnya memiliki semacam negativity dibandingkan Jepang, bukan begitu. Namun, Ren dapat merasakan ketenangan itu karena tak ada satupun orang yang mengetahui bahwa Ren berada di sini sekarang. Di sebuah kota kecil di negeri Jepang.

Memulai karir di usia yang belia dan sekarang berhasil menjadi salah satu musisi paling dikenal di dunia itu bukannya mudah. Tiap hari, Ren harus memperhatikan keketatan penjagaan privasi di sekitar rumahnya. Dia tak bisa pergi kemanapun dengan tenang, bahkan ke halaman depan rumahnya sendiri karena ada banyak para paparazzi dan penguntit yang melukai privasi Ren sebagai manusia biasa.

Benar, bukannya mudah. Dia bahkan beberapa kali harus masuk ke dalam sebuah tas koper ataupun kotak, lalu digotong oleh para kru agar paparazzi tak mengetahui kemana dia pergi dan tak bisa menguntitnya. Ren bahkan menyewa seseorang yang secara fisik mirip dengannya dari kejauhan, agar paparazzi yang selalu mengintainya dari luar tetap mengira bahwa Ren masih berada di rumahnya. Apakah dia sepopuler itu? Benar, dia sepopuler itu, terlebih lagi sejak band Paradise debut dan musiknya benar-benar pecah karena banyak yang suka, dengan album yang selalu berada di tiga besar tangga musik sedunia.

"Suhu udara yang dingin di negara ini bertambah dingin karena sudah memasuki bulan Oktober," ucap Ren ke arah Claude yang baru saja memasuki rumah. "Rumah ini bagus sekali, Claude. Terima kasih karena sudah membantuku untuk mengurus pembeliannya."

"Sebelumnya, kau harus tau. Kita harus tetap menjaga privasi. Jadi, meskipun kau membeli rumah yang paling elit dengan lingkungan yang sepi, kau tak boleh kemanapun sendirian."

Ren menghempaskan tubuhnya ke atas sofa. "Apa ini? Setelah sejauh ini pun aku masih tak bisa mendapatkan kebebasan?"

Claude menghela napasnya. "Terserah padamu. Setidaknya, kuharap pikiranmu bisa lebih tenang karena kita berada sangat jauh dari jangkauan paparazzi."

"Dimana Lily?" Ren mengernyitkan dahinya, bangkit dari duduknya. "Kau meninggalkannya di luar?"

"Dia bersama Marie."

Ren pun berjalan keluar rumah, ke arah halaman depan rumah yang ditanami bunga lily. Dia memasukkan telapak tangannya yang tidak dibalut oleh sarung tangan itu ke dalam saku mantelnya, berjalan mendekati Lily yang tengah berjongkok, memandangi bunga berwarna putih tersebut dengan seksama.

"Marie," Ren melempar senyumannya ke arah Marie, membuat wanita berambut keriting itu lantas membalas senyuman Ren dan sedikit menunduk sopan. "Kau tak perlu masak di rumah ini. Berikan dirimu istirahat karena kita hanya akan mencoba makanan khas negara ini. Aku hanya ingin kau menjaga Lily selama di sini."

Marie mengangguk. "Saya mengerti, Tuan."

"Apa itu?" tanya Ren, ikut berjongkok di sebelah Lily.

"Bunga lily," jawab Lily.

Ren mengernyitkan dahinya. "Bagaimana mungkin bunga itu bisa tetap tumbuh? Kebanyakan bunga akan mati pada musim gugur. Bunga lily umumnya mekar pada musim semi."

"Benarkah?" tanya Lily memandangi Ren dengan tatapan antusias. "Apakah ada bunga lain yang mekar pada musim gugur?"

"Bunga mawar, bunga kembang sepatu, bunga marigold…" Ren memberi jeda. "Apakah kau bisa membaca dan menulis?"

Lily terdiam sejenak, kemudian mengangguk dengan tatapan polos. "Mereka sempat mengajariku."

"Kau sangat tertarik dengan bunga. Aku akan membelikanmu buku-buku tentang bunga untuk mengisi waktu luangmu."

Lily melemparkan senyumannya ke arah Ren, memperlihatkan wajah senangnya. "Benarkah?"

Ren terkekeh, mengangguk. "Kau suka tempat ini?"

"Aku menyukainya. Langitnya tampak lebih indah," jawab Lily. "Namun, aku merasa kedinginan."

"Yah, suhu di sini jauh lebih dingin daripada di rumahku. Aku bisa membelikanmu mantel yang lebih tebal agar kau merasa lebih hangat," kata Ren, bangkit dari posisinya dan berjalan masuk ke dalam rumah. "Ayo, masuk. Di dalam ada sebuah perapian di dekat televisi. Kau suka menonton televisi, bukan?"

Lily pun ikut mengubah posisinya menjadi berdiri. Ren berjalan masuk ke dalam rumah mendahului Lily. Namun, gadis itu justru meraih tangan Ren, membuat darah Ren berdesir karena sedikit kaget. Namun, melihat tatapan polos milik perempuan itu, Ren hanya bisa tersenyum ringan, menggandeng telapak tangan Lily lebih erat dan berjalan memasuki rumah.

Hari ini dapat Ren lalui dengan lebih ringan daripada biasanya. Dia tak mencemaskan adanya paparazzi atau semacamnya seperti di rumahnya, meskipun dia tetap memperkokoh sistem keamanan di rumah ini dengan menyewa beberapa penjaga, seperti biasanya.

Waktu terasa begitu cepat berlalu ketika Ren, Lily, Claude, Marie, dan para asistennya yang lain bercengkrama di ruang tengah, mendapatkan kehangatan yang perapian itu salurkan kepada mereka. Arloji pun menunjukkan pukul sembilan malam, sampai akhirnya Ren memutuskan untuk memasuki kamarnya.

Setelah membersihkan diri dan menyikat gigi, Ren pun memakai piyamanya dan duduk di kursi piano yang ada di kamarnya. Dia mulai menyentuh tuts piano tersebut dengan lembut, lalu bersenandung kecil.

Tok tok tok.

"Hei, Ren."

Jemari Ren spontan berhenti memainkan piano di hadapannya ketika mendengar suara ketukan yang diikuti dengan suara Claude yang memanggilnya.

"Kau bisa masuk."

Claude pun membuka pintu tersebut, lalu berjalan memasuki kamar Ren.

"Ada apa?" tanya Ren, menatap Claude dengan alis yang bertaut.

"Kau bisa tidur malam ini?" tanya Claude. "Aku bisa membuatkanmu segelas susu hangat jika kau mau."

"Tak usah khawatir," Ren tersenyum ringan. "Pikiranku terasa lebih tenang hari ini. Aku akan tidur dengan nyenyak."

Safest HavenWhere stories live. Discover now