Chapter 22: Lupakan

74 18 2
                                    

"BAIKLAH, aku tak mau membahas ini, tapi kenapa aku melihat kau, si manusia mesum, tidur bersama Lily tadi pagi di kamarmu?" tanya Mike, menaikkan sebelah alisnya ketika mereka semua berkumpul di meja makan. Claude dan Marie yang sedang memotong makanan mereka, ikut menoleh kaget ketika mendengar pertanyaan Mike barusan. "Aku yakin, kau pasti memperdaya Lily agar mau masuk ke kamarmu, laluー"

"Ah, kau…" Ren menggantungkan ucapannya, menghela napas pasrah. Dia sudah menduga kalau berita ini akan langsung bocor oleh Mike, mengingat lelaki itu memang tidak pernah bisa menjaga rahasia. Benar-benar merusak suasana makan malam ini aja. "Rasanya, aku ingin menjahit mulutmu. Hentikan."

"Apa ini? Kau tidur dengan Lily?" tanya Claude, mengernyitkan dahinya.

"Ini bukan definisi tidur seperti yang ada di otak kotormu," tepis Ren, menghela napasnya kesal. "Ah, sudahlah."

"Dari awal aku sudah menduga, tujuan awalmu tiba-tiba membeli Lily adalahー"

"Mike, aku benar-benar akan menjahit mulutmu."

Lily dan Ren menghindari kontak mata sejak kejadian waktu itu. Ren hanya bisa menggaruk kepalanya frustasi, cukup merasa bersalah dengan apa yang sudah dia lakukan malam itu. Kenapa dia berani-beraninya mencium Lily? Kenapa dia terbawa suasana? Apa yang sudah dia pikirkan? Padahal, hubungannya dan Lily sudah sejauh ini. Rasanya, dia tak ingin menghancurkan hubungan baik mereka karena hubungan asmara.

Karena terkadang, hubungan asmara bisa menjadi pintu gerbang menuju perpisahan.

"Aku tak tau apa hubungan kalian, tapi jika itu benar, bukankah kau resmi menjadi seorang pedofil sekarang?" tanya Claude.

"Apー kau sembarang bicara saja. Lily berusia 20 tahun. Apa maksudmu aku pedofil?"

"Hah! Lihat, dia membenarkan hubungan itu," kata Claude, menahan tawa iblisnya. "Jadi, kalian benar-benar sudah pacaran?"

Ren menatap Claude tajam. Wajahnya sudah merah, sedikit malu.

Ren menghela napasnya. "Kalian bicara apa? Aku dan Lily tak ada hubungan apapun. Bagiku… dia adalah adikku."

Lily tertegun. Perempuan itu menoleh ke arah Ren yang tampak memasang wajah serius, tak mengindahkan ledekan dan candaan dari Claude dan Mike yang sengaja mengolok-oloknya.

Adik?

Sebenarnya, malam itu membuat Lily tak bisa tidur. Perasaan mereka terasa satu, tapi tak ada kepastiannya. Mereka tidur di kamar Ren, tadi malam. Basah kuyup akibat air hujan dan mandi pada dini hari membuat mata mereka jadi berat dan tak butuh waktu lama untuk pergi ke bunga tidur. Meskipun Lily pun benar-benar gugup karena tidur di sebelah Ren, tadi malam. Benar-benar sesuatu yang menggerahkan dan terasa begitu cepat, sampai rasanya membuat Lily kebingungan sendiri.

"Lily, perhatikan langkahmu."

Lamunan Lily buyar. Lily yang sedang membawa setumpuk pakaian yang baru saja selesai dicuci dan disetrika rapi itu pun menjatuhkan pakaian-pakaian itu, kaget dengan Ren yang ternyata ada di belakangnya dan tanpa sengaja dia tabrak lantaran dia sedang sibuk melamun.

Ren pun berjongkok, ikut memungut pakaian-pakaian itu dengan satu tangannya.

"Ren, biar aku saja," ujar Lily. "Kau istirahat saja."

"Sebenarnya, ada sesuatu yang harus kukatakan padamu, Lily."

Lily terdiam, cukup lama. Tangannya sibuk meraih pakaian-pakaian tersebut, rasanya takut untuk mendengar ucapan Ren selanjutnya. Apa yang akan Ren katakan? Dia ingin menegaskan kalau semalam hanyalah sebuah kesalahan belaka?

"Aku ingin meminta maaf yang teramat sangat padamu," ucap Ren, menghela napasnya. Alis tebalnya tampak bertaut, menampakkan jelas ekspresi menyesal dan tak enak yang dia rasakan, sepertinya cukup menyiksa seharian ini, tertahan di dalam dadanya. "Aku memang bodoh. Seharusnya, aku tak begitu kepadamu."

"Lalu?" Lily tak berani menatap Ren. Perempuan itu masih berjongkok, membereskan barang-barang yang dia jatuhkan.

"Aku tak mau kau marah padaku. Bukan maksudku membuatmu merasa tak dihargai karena perlakuanku itu. Aku juga tak mau kejadian itu membuat kita jadi memiliki jarak. Itu maksudku."

"Aku tak marah padamu," Lily mengubah posisinya menjadi berdiri, memberanikan diri untuk menatap Ren. "Kita juga takkan memiliki jarak karena itu."

Ren tersenyum. "Aku senang mendengarnya. Baiklah. Maafkan aku, Lily. Lupakan saja apa yang terjadi kemarin malam."

Lupakan? Bagaimana mungkin?

"Semudah itu?" gumam Lily, berjalan menuju kamarnya.

Safest HavenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang