Chapter 17: Remang Biru

80 17 1
                                    

"LILY."

Lily membuka kedua matanya pelan. Di hadapannya, ada Ren yang sedang mengenakan pakaian rapi, sepertinya dia baru saja pulang. Lelaki itu duduk di tepian kasur. Meskipun kamar ini hanya bertemankan cahaya dari lampu tidur lumba-lumba berwarna biru, tapi Lily masih bisa melihat wajah Ren dengan jelas.

"Kau sakit?" tanya Ren, menyentuh dahi Lily dengan telapak tangannya. "Panas. Kau sudah minum obat?"

Lily mengangguk. "Kau baru pulang, Ren?"

"Ya. Aku seharian di luar karena harus mengurus sesuatu," ujar Ren, terdengar bersalah. "Maafkan aku karena baru sempat melihatmu."

"Tak masalah. Kau sudah makan?" tanya Lily. "Tadi, Marie membuatkan Souvlaki kesukaanmu."

Ren terkekeh. "Oh, ya? Kau sedang sakit dan masih sempat memikirkan itu."

Tentu saja. Sebenarnya, kapan tepatnya Lily tidak memikirkan Ren? Dia sangat memedulikan  Ren.

"Di bagian mana yang sakit?" tanya Ren.

"Kepalaku terasa sakit dari tadi pagi."

Ren pun mengulurkan kedua tangannya, memijit ujung kanan dan kiri dahi Lily. Jarak mereka sangat dekat. Lily bisa mencium parfum beraroma musim semi yang menempel di pakaian Ren.

"Kau belum sempat berganti pakaian," ucap Lily.

"Aku khawatir padamu," ujar Ren. "Aku bisa mandi dan berganti pakaian nanti."

"Ren, maafkan aku," Lily memberi jeda. "Aku tak bermaksud mencari tau tentangmu seperti media luar sana yang kau katakan. Aku memang salah karena itu membuatmu tak nyaman."

Ren terdiam cukup lama, lalu tersenyum ringan. Kedua tangannya berubah jadi menangkup wajah Lily. "Aku tau."

"Aku takut kau marah padaku."

"Aku hanya sedang terlalu sensitif kemarin," ujar Ren. "Aku minta maaf karena membuatmu takut, Lily."

Lily mengangguk, tersenyum.

"Jadi, siapa yang seharian ini menemanimu?" tanya Ren.

"Marie dan Mike," jawab Lily. "Tadi Mike memberikanku pelukan."

Spontan, jemari Ren berhenti memijit dahi Lily. "Pelukan?"

"Ya. Pelukan erat yang sampai aku merasa aku akan tenggelam di dalam tubuhnya," ucap Lily. "Rasanya nyaman sekali."

"Ah, lelaki itu benar-benar kekanakan. Bagaimana mungkin dia bisa memeluk perempuan sesukanya?" Ren memutar kedua bola matanya sebal. "Kau pun kenapa menyukai pelukannya?"

"Apakah salah?" tanya Lily, mengernyitkan dahi. "Aku merasa nyaman dan hangat."

"Bagaimana jika dibandingkan dengan pelukanku waktu itu?" tanya Ren. "Ketika aku membuatkan konser kecil untukmu."

Lily terdiam sejenak. "Aku sudah lupa rasanya."

Ren menghela napasnya. Sepersekian menit, lelaki itupun mendekat, memeluk Lily cukup lama.

Lily cukup kaget. Dia bahkan mulai merasa kegerahan bukan karena pelukan Ren menyesakkannya, tapi dia dimakan habis oleh rasa gugup.

"Nyaman?" tanya Ren.

"Aku tak bisa berpikir," jawab Lily, terbata. "Ren… bisakah kau lepaskan, sekarang?"

Ren buru-buru melepaskan pelukannya. Sepersekian detik, Ren jadi panik ketika dia melihat Lily yang tampak lesu dan kegerahan.

"Lily, maafkan aku, apakah aku memelukmu terlalu erat sampai kau kesulitan bernapas?"

Lily menggeleng. "Hanya… kaget."

"Kaget?" Ren mengernyitkan dahinya. "Ketika Mike memelukmu, kau tak merasa kaget?"

Lily menggeleng. "Aku merasa nyaman."

Ren masih mengernyitkan dahinya, bingung. "Hm... yah, terdengar agak menyebalkan, entah kenapa."

Ren pun bangun dari duduknya, lalu tersenyum ke arah Lily. "Aku percaya kau akan sembuh besok."

"Apakah kau akan pergi lagi besok?" tanya Lily, tampak sedikit sedih.

Ren hanya tersenyum tipis. "Mungkin ya, mungkin tidak. Ada sesuatu yang harus kuurus."

"Ren," Lily meraih lengan baju Ren, menatap khawatir. "Tak bolehkah aku tau apa yang sedang mengganggumu?"

Ren tertegun. Lagi-lagi, dia melihat wajah khawatir itu dari Lily. Terakhir kali dia melihatnya ketika mereka berada dalam satu obrolan dalam yang membuat mereka membicarakan rasa sakit satu sama lain, di malam pesta ulang tahun Lily.

"Aku tak suka tatapan itu," ujar Ren mendesah kasar, mengacak rambutnya kesal. Lelaki itupun kembali duduk di tepian kasur, seakan akan menuruti permintaan Lily. "Aku tak suka kau sedih karenaku."

"Kenapa kau yang mengatur perasaanku?" tanya Lily. "Perasaanku berarti tanggung jawabu. Aku sedih karena aku peduli padamu. Itu juga yang kukatakan kepada Amelie mengenai Mike."

Ren menatap Lily dengan sedikit kaget. Perempuan itu tampak menatap tajam ke arah Ren, menampakkan ekspresi tak sukanya terhadap kelakuan Ren baru saja. Lebih tepatnya, Lily tak suka Ren menyalahkan dirinya sendiri.

"Aku sering keluar akhir-akhir ini karena aku menemui bibiku yang sedang dirawat, Naomi," kata Ren. "Aku tau, kau pasti bingung. Kenapa bibiku tiba-tiba dirawat di Jepang, padahal kita semua menetap di Amerika."

Lily mengernyitkan dahinya, menunggu kelanjutan ucapan Ren.

"Mungkin, ini cara pamanku untuk menyiksaku. Dia sengaja membawa bibi berobat ke sini agar aku tersakiti," lanjut Ren, terdengar lirih. "Yah, meskipun dari yang kudengar, Naomi memang sempat tinggal di Jepang untuk beberapa lama ketika dia muda. Keluarganya juga ada di sini."

"Dia memiliki ambisi yang besar untuk hal tak berguna," balas Lily. "Mengeluarkan usaha sebesar itu untuk menyiksa orang lain? Untuk apa?"

"Aku tak pernah menyukai bibiku, Lily," kata Ren. "Jadi, seharusnya aku tak merasa tersakiti karena dia sedang sakit. Harusnya, aku tak peduli. Andai saja aku bisa menjadi orang yang tak peduli."

Lily dapat membedakan suara tarikan napas Ren yang menjelaskan betapa dia merasa sedih dan seberapa besar usahanya untuk menahan kesedihannya saat ini, meskipun tetap transparan.

"Namun, aku tetap seorang manusia yang memiliki hati, yang masih merasa kasian dan sedih ketika manusia lainnya merasa sakit. Itulah reaksi normal dari seorang manusia jika kau melihat manusia lainnya tersakiti, bukan?" Ren menatap Lily. Lily tertegun. Kedua mata Ren tampak berkaca-kaca. "Tidak dengan pamanku. Dia senang jika aku tersakiti."

"Ren," Lily meraih bahu Ren, mengelusnya pelan untuk menenangkan lelaki itu. "Maaf aku menanyakan sesuatu yang menyakitkanmu."

"Naomi selalu menjadi penonton tiap kali aku dipukuli oleh Paman. Dia selalu ada di sana, tapi dia tak berbuat apapun. Dia hanya menatapku dengan tatapan datar," ujar Ren. "Menurutmu, itu jahat?"

Lily terdiam sejenak. "Bisa ya… bisa tidak."

"Kenapa?"

"Kupikir, dia pun tak bisa melakukan apapun, Ren," kata Lily. "Namun, bukankah ada banyak cara untuk menyelamatkan orang lain?"

Ren tersenyum nanar. "Benar, ada banyak cara. Dia bisa melaporkan Paman ke polisi dengan mengambil video dari kekerasan Paman ataupun mencari bukti lainnya."

Lily menarik bahu Ren, menarik Ren ke dalam pelukannya. Ren sedikit kaget, tubuhnya jadi mendekat, sedikit membungkuk karena menyesuaikan dengan posisi Lily yang masih berbaring.

Lily menepuk-nepuk punggung Ren pelan. Lelaki itu yang semula cukup kaget dan merasa emosional, kali ini mulai tenang dan membalas pelukan Lily dengan merangkul pingggangnya.

"Nyaman?" tanya Lily, menirukan pertanyaan Ren sebelumnya.

Ren terkekeh. "Ya. Sangat."

Safest HavenWhere stories live. Discover now