Chapter 16: Telepon dari Amelie

74 18 2
                                    

PERKIRAAN Claude benar, Lily benar-benar sakit setelah kejadian waktu itu. Badannya tiba-tiba panas dan kepalanya sakit sehingga seharian ini, Lily hanya bisa berbaring di atas tempat tidur, menonton televisi, tidur, dan membaca buku mengenai tanaman.

Dari pagi, orang-orang bergantian memasuki kamar Lily. Marie, Mike, Claude. Marie masuk untuk mengantarkan makanan dan memantau suhu tubuh Lily. Mike masuk untuk mengajak mengobrol dan menghibur Lily. Claude masuk untuk mengantarkan obat. Namun, Ren, lelaki itu tidak terlihat sejak tadi pagi. Kata Claude, Ren keluar bersama penjaga lainnya. Claude tak bilang Ren kemana, hanya saja jika Lily boleh menebak, mungkin pria bernama Keith adalah tujuannya.

Selain itu, Lily juga tak berani menanyakan soal Keith kepada siapapun karena dia takut Ren marah. Ren adalah orang yang paling jarang marah selama ini, itulah kenapa, bagi Lily, reaksi marah Ren benar-benar menakutkan.

Namun, Lily penasaran apakah Ren masih marah? Apakah jika Ren tau Lily sedang sakit, Ren akan tetap cuek dan tak peduli padanya?

"Lily," panggil Mike, membuat Lily yang belum sepenuhnya tertidur, seketika membuka kedua matanya. "Ah, maafkan aku, apalah kau sedang tertidur?"

"Tidak, belum," Lily menggeleng. "Ada apa, Mike?"

"Amelie meneleponku," ujar Mike, menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Apa yang harus kulakukan?"

Kedua mata Lily tampak berbinar. "Benarkah?"

Mike terdiam sejenak, tampak kikuk. "Ya."

"Lalu?"

"Aku tak berani berbicara padanya," ucap Mike. "Aku ingin minta tolong padamu, Lily."

"Ada apa?"

"Bisakah kau menjawab telepon Amelie?" Mike terdengar ragu. "Maksudku, mungkin kalian bisa berteman. Aku hanya… tak berani berbicara dengannya. Aku gugup."

Lily memandangi Mike cukup lama. Lelaki itu benar-benar tampak berbeda tiap kali dia membahas mengenai Amelie. Mike yang biasanya selalu cengengesan, mendadak berubah menjadi lelaki yang serius dan sangat berbeda tiap kali dia membicarakan Amelie.

"Apakah cinta membuat seseorang berubah?" tanya Lily, tiba-tiba.

Mike mengernyitkan dahinya. "Berubah?"

Lily mengangguk. "Kau jadi orang yang berbeda tiap kali kau membicarakan Amelie. Maksudku, aku bisa melihat berbagai ekspresi lainnya yang kau miliki tiap kali kau membicarakannya."

Mike tersenyum ringan. "Ya, mungkin."

"Kenapa?"

"Soalnya, tiap kali kau mencintai seseorang, akan ada banyak naik turun dari suatu emosi yang kau bisa rasakan. Bisa sedih, bahagia, marah, khawatir, takut, dan sebagainya."

"Mike," Lily memberi jeda. "Apakah aku juga akan sama?"

"Maksudmu? Perbedaan dirimu karena kau sudah jatuh cinta kepada Ren?"

"Mike!" Lily memukul lengan Mike pelan. "Suaramu terlalu kencang."

"Hahaha, maafkan aku," Mike tertawa keras. Sepersekian detik, wajahnya berubah menjadi wajah yang menampakkan senyuman tipis. "Kupikir, aku akan menyerah untuk hubunganku dan dia, Lily."

Lily mengernyitkan dahinya. "Kenapa?"

"Sepertinya, dia bukan orang yang tepat pada waktu yang tepat," Mike menghela napasnya. "Begitu pula diriku untuknya. Aku terlalu kekanakan dan penuh kekurangan. Belum pantas untuknya."

"Lalu?"

"Sudah jelas. Keputusanku akan berubah. Aku tak mau hubungan ini terus putus nyambung dan itu membuat kualitas dari hubungan itu sendiri jadi tak baik. Aku juga kasian padanya. Setelah kupikir lagi, lagi, dan lagi, dia memang berhak mendapatkan kebahagiaannya bersama lelaki yang lebih mengerti dia. Pastinya, lebih baik dari diriku."

Safest HavenWhere stories live. Discover now