Bab 9 : Retak (Flashback)

3.7K 416 6
                                    

Manik ocean nya terbuka, ia terbangun lagi malam ini, Ice bingung kenapa setiap tengah malam ia harus terbangun hanya untuk minum segelas air? Memang Ice sudah terbiasa, tapi tetap saja Ice selalu bertanya-tanya. Matanya melirik ke sisi lain kamar, kembarannya terlihat masih tertidur lelap dan mengarungi dunia mimpi.

Diantara mereka, Ice memang yang paling takut sendirian, biasanya ia akan membangunkan Halilintar, Taufan atau Gempa agar menemaninya ke dapur, tapi mengingat wajah lelah ketiganya ketika mereka pulang sekolah, Ice langsung mengurungkan niatnya. Lagipula, ini merupakan langkah barunya untuk menjadi lebih berani bukan?

Dengan perlahan Ice menjauhkan selimutnya dan turun dari ranjangnya, ia berhati-hati dalam melangkah karena takut jika langkahnya akan membangunkan kembarannya. Ketika ia membuka pintu kamar, Ice melirik kembali ke Blaze yang masih terlelap dan keluar tanpa kata.

Suasana di lantai atas dimana kamar berada memang sunyi, Bundanya biasanya sudah tidur jam segini, dan Ayah? Ayahnya jarang pulang ke rumah karena sibuk mengurus perusahaan dan bolak-balik keluar negeri.

"Mas, tidak bisakah kamu berhenti? Anak-anak kesepian, dan pekerjaan mu juga mendatangkan bahaya untuk mereka!"

"Aku bekerja untuk kalian! Oke, dan maafkan aku jika anak-anak menjadi dalam bahaya, aku akan melindungi mereka kali ini!"

Ice menghentikan langkah kecilnya, apakah itu suara ayahnya? Manik ocean Ice berbinar, ayahnya sudah pulang! Tapi... Apakah beliau sedang bertengkar dengan Bunda? Ia kemudian menyembunyikan dirinya di balik dinding, Ice berjongkok dan memeluk lututnya, dalam diam ia mendengarkan.

"Kamu selalu mengatakan itu setiap kali kita berdebat, tapi apa? Kamu tidak melakukannya! Ketika kamu sibuk dengan urusan bisnismu, aku sempat kehilangan kedua putra sulungku! Dan kamu tidak ada disana ketika semuanya terjadi!"

"Dengar, Maura-..."

"Aku gak mau dengar lagi. Besok aku akan bawa anak-anak ke rumah ibuku, kamu tidak akan bisa menghentikan ku."

Kening Ice mengerut, rumah nenek? Ice selalu tidak suka berada disana. Tapi lamunan Ice terpaksa dihentikan karena suara tinggi sang ayah.

"Kamu tidak bisa! Kamu tidak bisa menjauhkan anak-anak dariku! Apakah kamu gila? Rumah ibumu? Apakah kamu tidak melihat perlakuan mereka pada keluarga kita setiap kita berkunjung kesana?!"

"Ya! Aku bisa! Aku tahu keluarga ku masih tidak bisa menerima keluarga kita, tapi-.."

"Tapi apa?! Ini bahkan sudah sebelas tahun pernikahan kita dan mereka masih tidak suka!"

"Amato! Dengarkan aku-.."

"Tidak! Sebelumnya kamu tidak ingin mendengar ku, sekarang aku akan tutup telinga. Aku tidak peduli lagi!"

"Brengsek! Kurasa kita sudah tidak sejalan lagi ya? Lebih baik kita-...."

Sebuah tepukan di kepalanya membuat Ice kaget, ia menoleh dan mendapati kakak sulungnya memasangkan headphone merah ke kepalanya, suara alunan musik perlahan mulai memenuhi indra pendengarannya.

"Ya! Lakukan lah! Terserah mu! Kamu mau-..."

Ice mengerutkan keningnya, ia tidak bisa mendengar apalagi yang Ayah dan Bundanya katakan. Semua suara teriakan marah dari kedua orangtuanya telah tergantikan dengan lantunan lullaby dari headphone yang terpasang di kepalanya. Ia menatap Halilintar dengan bingung, tapi si sulung hanya meletakkan telunjuknya di depan bibir, menyuruhnya untuk tetap diam.

Tangan kecil Halilintar menarik tangannya untuk berdiri, kakak sulungnya itu pun menuntunnya untuk kembali ke kamarnya dan Blaze. Di depan pintu kamarnya terlihat sosok Taufan yang menatap khawatir pada mereka berdua. Taufan terlihat berbicara dengan Halilintar, namun Ice tidak bisa mendengar apa yang mereka katakan, jadi Ice hanya diam, bahkan ketika Taufan telah membuka pintu kamarnya dan Halilintar yang membawanya ke tempat tidur kembali.

ATLAS [END]Where stories live. Discover now