Bab 31 : Retakan Kedua

2.9K 392 74
                                    

Sudah beberapa jam semenjak kepergian Halilintar, Gempa dan Ice ke New Jersey, Beliung dan Kaizo juga pergi mengantar ketiga orang itu ke bandara. Taufan dan Thorn, dua orang itu sibuk membantu karyawan kafe untuk membuka kafe.

Taufan masih bisa melihat beberapa petugas kepolisian yang masih berjaga di sekitar mereka, ayahnya Fang dan Kaizo benar-benar melindungi keselamatan mereka. Hari ini, maupun ia dan Thorn terlihat tidak bersemangat dalam mengerjakan pekerjaan mereka. Keduanya overthinking.

"Kak Juan, gantiin gue di dapur ya? Gue lagi gak mood masak." Ucapnya.

Karyawannya yang bernama Juan itu langsung mengacungkan jempolnya dan berjalan menuju ke dapur setelah menyerahkan buku pesanan ke Taufan. Selama bekerja, pemuda itu banyak melamun, begitu pula dengan Thorn yang tak fokus ketika sedang melayani pelanggan di kasir.

"Pesanan meja lima, Nya." Ujar Taufan sambil menyerahkan kertas pesanan ke Thorn.

Namun, adiknya itu tidak segera mengambilnya. Thorn terlihat membeku dan manik emerald nya bergetar serta berkaca-kaca. Taufan mengerutkan keningnya, ia melambai di depan wajah Thorn.

"Nya?" Panggil Taufan.

"K-Kak Sa... Itu..." Dengan tangan gemetar, Thorn menunjuk kearah belakang Taufan.

Pemuda itu langsung menoleh.

"Putra-putramu sudah dewasa, mereka bahkan sudah membuka usahanya sendiri."

"Putra-putraku memang hebat, aku sangat bangga pada mereka, Mecha."

Pemuda itu menoleh, suara itu terdengar familiar di telinganya. Dan manik birunya menemukan Uncle Mecha nya yang sedang mendorong kursi roda dengan sang ayah yang duduk disana. Taufan membeku, ia tak tahu harus berbuat apa.

Senyum teduh diwajah ayahnya membuat hatinya goyah.

"Arsa, Anya. Ayah pulang."

Sapaan manis itu tak Taufan jawab, berbeda dengan Thorn yang sudah berlari untuk memeluk kedua pria yang berdiri di hadapannya itu.

"Ayah...! Ayah pulang...!" Thorn berkata dengan lega.

Mecha berjalan menghampiri Taufan untuk menepuk pundak pemuda itu, namun sebelum tangannya menyentuh bahu Taufan, tangan sulung kedua Auriga ini langsung menepis kasar. Raut wajah Taufan langsung berubah, tak ada lagi keterkejutan diwajahnya, kini ekspresi wajahnya berganti dengan penuh amarah.

"Kenapa baru sekarang?" Ia berbisik.

Mecha terkejut, begitu pula dengan Amato serta Thorn yang menatap Taufan dengan kaget. Reaksi Taufan tidaklah sesuai dengan harapan mereka.

"Kenapa baru sekarang ayah dan uncle kesini? Kenapa tidak kemarin saja? Jika ayah dan uncle tiba disini kemarin, Oni sama Indra gak bakal diculik kayak gini, Jendra gak perlu nyaris mati. JENDRA GAK HARUS NINGGALIN AKU SENDIRI DISINI!"

Meledak juga akhirnya. Taufan membutuhkan seseorang untuk disalahkan, ia ingin menyalahkan Azrael yang memulai kekacauan dihidupnya, ia ingin menyalahkan para leluhur Yudistira. Ia ingin menyalahkan takdirnya.

Taufan hanya ingin Halilintar pulang. Taufan hanya ingin bersama kedua kembarannya. Ia tidak ingin sendirian.

"K-Kak Sa.., jangan disini..." Thorn mencicit pelan, menatap ke sekelilingnya, mereka masih berada di kafe, walaupun kafe tidak terlalu ramai, namun masih ada orang-orang yang bisa menatap mereka.

Ucapan Thorn sama sekali tak Taufan gubris, pemuda itu tertawa, bukan tawa jahilnya yang biasa, atau tawa bahagianya. Taufan tertawa miris, "Harusnya yang ngurus hal-hal seperti ini tuh kalian para orang dewasa! Kembaran aku bisa aja mati, Yah! Yang mereka lawan itu bukan Wendy si manusia bajingan itu! Tapi psikopat gila yang ngirim sniper buat ngebunuh Jendra!"

ATLAS [END]Where stories live. Discover now