Bab 11 : Bukan Hal Biasa

3.6K 424 31
                                    

Ice dan Solar duduk menunggu di samping ranjang dimana Gempa terbaring, sulung Yudistira itu memang sempat sadarkan diri tadi, namun ketika mengetahui keadaannya, Gempa sempat histeris hingga membuat dokter harus membiusnya kembali. Sekarang, keduanya hanya bisa menatap sendu pada wajah damai Gempa.

"Aku takut jelasin keadaan ayah ke Nana, Ndra. Pas tahu kondisi tubuhnya sendiri aja, dia udah histeris banget, bagaimana nanti pas Nana tahu kalau ayah koma?" Ujar Ice tiba-tiba.

"Paling nyalahin diri sendiri, kamu kayak gak tahu Nana aja." Manik silver Solar menatap wajah Gempa yang bagian kanan wajahnya ditutupi oleh perban, tangannya menggenggam erat telapak tangan Gempa, jujur saja, Solar juga takut dengan reaksi Gempa nanti.

"Enteng banget mulutmu ngomongnya, Indra..."

Suara lirih yang terdengar sinis itu membuat Ice dan Solar kaget. Iya, yang berbicara tadi adalah Gempa, pemuda itu memang sudah sadar sedari tadi, namun dia hanya diam mendengarkan pembicaraan Ice dan Solar sembari merenungkan segalanya. Refleks kedua saudara itu langsung berdiri dari duduknya.

"Na! Panggil dokter, Ndra-..."

"No... I'm fine. Gak usah panggil dokter..." Gempa langsung menahan keduanya agar tidak pergi.

Keduanya diam, mereka pun duduk kembali dan menatap Gempa, si sulung hanya diam dan menatap pada langit-langit ruang rawatnya.

"Ayah beneran koma ya?" Tanya Gempa, namun adik-adiknya tidak menjawab.

Gempa tertawa, bukan tawa senang, namun tawa sinis penuh kesedihan. Gempa merasa bersalah. Kacau, hanya kata itu yang bisa menggambarkan keadaan Gempa, pemuda berusia 15 tahun ini benar-benar hancur ketika mengetahui kenyataan yang menyakitinya.

Tindakan berikutnya yang ia lakukan selanjutnya membuat Ice dan Solar kaget.

"Na! Shit-... Luka kamu terbuka lagi! Sadarlah!"

Seruan marah dari adik-adiknya tidak ia pedulikan, bibirnya ia gigit kuat dan tangan yang berbalut perban mencakar dan memukul-mukul kuat sisi kanan wajahnya yang di perban, kain kasa putih itu perlahan mulai memunculkan bercak merah darah.

"Indra! Panggil perawat dan dokter, cepat!"

"FUCK!" Semua salahnya, kejadian yang menimpa ia dan ayahnya memang salah Gempa, Gempa yakin itu. Seharusnya Gempa tidak meminta ayahnya untuk menemaninya di hari kelulusannya, seharusnya ia yang terbaring koma sekarang, bukan ayahnya.

Suara tamparan bergema di ruang rawat pemuda itu, Gempa membeku, rasa panas menjalari pipi kirinya, manik emasnya berkaca-kaca. Tamparan itu seolah-olah menyadarkannya dari kegilaannya.

"Kak Na please, jangan kayak gini. Aku sama Indra udah gak punya siapa-siapa lagi selain kamu dan Baba..." Permohonan dari adiknya itu benar-benar membuat Gempa sadar.

Kala itu tangisnya pun pecah.

"Bangsat..."

---------------

"Kira-kira seperti itu ceritanya, setelah kejadian itu kami tinggal bersama Baba dan Ocho, tapi beberapa bulan yang lalu, Baba meninggal. Dan aku mutusin buat nyari kalian."

Gempa mengakhiri ceritanya. Setelah itu hening, tak ada yang berbicara, sampai akhirnya Taufan menyentuh sisi kanan wajah Gempa, membuat adiknya itu kaget.

"Jadi luka ini karena kecelakaan itu...?" Dan anggukan dari Gempa menjawab pertanyaan dari Taufan.

"Kecelakaan itu. Itu bukan kecelakaan biasa kan?"

ATLAS [END]Where stories live. Discover now