M : Periodik

29 10 6
                                    

Evan bergegas mendahului langkah ketiga kakaknya, berjalan menyingkirkan belasan orang dan membantu mengamankan jasad sang kakek. Alfian adalah orang kedua, satu langkah di belakang Evan, menyamakan posisinya, berjalan ke sebuah ruangan paling sudut, satu lorong di samping tangga. Dengan hati-hati dia melangkahkan kakinya memasuki ruangan. lemari buku cukup usang yang diselimuti nuansa vintage terletak di sudut kiri ruangan, sebuah meja dan kursi yang menjadi singgasana berdiamnya kakek selama ini.

Bau anyir menusuk penciuman, cairan pekat merah dengan sedikit kecoklatan, di pinggir sisinya sebagian sudah mengering. Berjalan dekat dan semakin dekat, Alfian berjongkok, mengeluarkan sarung tangan lateks , sedikit mencoleknya, menggosok dengan jari telunjuk dan ibu jari, tekstur yang mulai mengental.

"Darah ini sudah cukup lama dibiarkan terbuka seperti ini," gumamnya curiga.

Alfian menolehkan kepalanya saat ada Mike yang datang sembari memotret beberapa barang, hal-hal yang bisa menjadi bukti titik terang atas peristiwa ini, termasuk sudut ruangan sekali pun.

Di luar ruangan, Mikey yang membantu menenangkan sanak saudara masih berusaha menghubungi Citra kembali. Sudah setengah jam berlalu. Namun, Citra belum juga datang. Kesal dan semakin saat telinganya mendengar pernyataan jika jaringannya tidak stabil.

Di lain sisi, Evan masih berusaha membantu petugas medis yang datang bertugas untuk membawa dan mengambil tindakan otopsi. Evan sebenarnya juga tidak mengetahui dari mana petugas medis ini datang, siapa yang yang menghubunginya, Evan tidak tahu sama sekali.

Alfian menatap malas pada Mike.

"Dari mana kakak mendapatkan sarung tangan?" tanyanya. Namun, Mike hanya menunjuk tempat sarung tangan lateks itu berada tanpa menatap yang bertanya.

'Apa memang seperti itu pekerjaan seorang wartawan?' tanyanya membatin. Sebenarnya dia tidak peduli, hanya saja sebagai wartawan, Mike sangat cepat dalam bertindak.

"Ini apa?"

Dua kata yang dilontarkan membuat Evan yang baru saja masuk langsung mendekati sang kakak, begitupun dengan Alfian yang meletakkan kembali sebuah pena seperti semula. Sepertinya jatuh dari meja.

Mike mengangkat sebuah botol kecil. Botol bening berisikan beberapa pil.

"Bukankah itu obat yang sering diminum kakek?" tanya Evan hendak menyentuhnya. Namun, dia urungkan setelah sadar masih dengan telapak tangan yang telanjang.

Alfian dengan perlahan mengambil botol itu dari tangan Mike dan perlahan membuka tutup botolnya. "Obat ini sepertinya sudah diminum," ujarnya.

Terasa begitu licin di leher botol.

Mike mengernyit, tak sengaja aroma tak mengenakan masuk menerobos begitu saja di penciumannya. "Tutup kembali, firasatku mengatakan jika itu berbahaya."

Menuruti sang kakak, Alfian menutup kembali botol itu. Lelaki itu menaruhnya kembali pada tempat semula.

"Sebaiknya kita kembali, aku akan menghubungi dan membawa timku untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut." Keduanya mengangguk mendengar perkataan Alfian dan segera berjalan keluar ruangan.

Namun, Mike menahan tangan Evan. Evan merasakan sesuatu, sebuah potongan kain yang mengeras layaknya kertas. "Apakah kakek bertengkar dengan seseorang sebelum dirinya tewas?" tanya Mike.

Evan pun diam.

"Semua ini terlihat bunuh diri bukan dibunuh. Dan terlihat terbalik pula, seperti pembunuhan tapi nyatanya ini bunuh diri," lanjutnya.

"Bibi, tenang saja. Semua akan aman."

Sekuat mungkin Mikey berhasil membawa saudaranya yang lain kembali kerumah mereka, keamanan keluarganya lebih penting saat ini. Matanya menyipit saat sekelompok orang membawa kamera berbondong memasuki halaman mansion.

May : Ununpentium Maynard Where stories live. Discover now