3. Pertunangan Tak Terduga

946 161 4
                                    

Part 3 Pertunangan Tak Terduga

“Apa kami tak salah dengar?” Anna, satu-satunya orang yang berani menunjukkan keterkejutannya dengan kabar bahagia yang disampaikan sang mama di tengah acara makan malam tersebut. Wanita berambut pendek itu tampak menunjukkan ketidak setujuannya. Satu-satunya orang yang menentang perjodohan sialan itu. Dan bagaimana mungkin langkah sang mama secepat ini? Baru tadi malam ia mengetahui tentang rencana tersebut.

“Ya, pertunangan Leon dan Aleta,” angguk Maida. Meyakinkan sang putri bahwa acara makan malam ini sekaligus untuk merayakan pertunangan keponakannya tersebut. Tatapannya lurus pada sang putri, ematikan harapan yang ada di kedua mata Anna yang tidak pada tempatnya. 

Kedua ibu dan anak tersebut saling pandang, menciptakan ketegangan yang tak kasat mata di tengah meja panjang yang dipenuhi seluruh anggota keluarga. Tak hanya kedua wanita tersebut, Aleta yang duduk di meja paling ujung pun tak kalah terkejutnya. Gadis itu menatap ke arah Leon yang duduk di seberang meja. Posisi yang tak biasa pada malam ini karena biasanya pria itu duduk di samping Bastian. Di samping Jacob Thobias.

Namun, ketegangan tersebut akhirnya terpecah dengan tepuk tangan Jacob, yang membuat seluruh anggota juga ikut bertepuk tangan. Begitu pun dengan Yoanna. Jacob mengangkat gelasnya dan berucap, “Untuk Leon.”

Ucapan selamat pun menyusul untuk Leon dan Aleta, yang hanya terdiam karena kedua orang tuanya pun tak menunjukkan keterkejutan dengan kabar tersebut. Bahkan seolah sudah mengetahui rencana tersebut sejak awal.

Saat makan malam selesai dan berubah menjadi acara yang lebih santai, Aleta yang menyendiri di taman samping rumah berbicara dengan sang mama.

“Mama juga baru mengetahui semua ini dari papamu, sayang.” Telapak tangan Monica merangkum sisi wajah sang putri tiri dengan keprihatinan yang begitu besar. Ya, meski Aleta adalah putri sang suami dari mendiang istri pertama. Kasih sayangnya pada putra kandungnya dan gadis itu sama sekali tak ada beda. 

Aleta memegang punggung tangan sang mama, memaksa senyuman tersungging untuk Monica. “Apa pun keputusan papa, bukankah selalu yang terbaik untuk Aleta.”

Monica pun ikut terdiam. Tak mengatakan apa pun lagi. Kepasrahan di kedua mata sang putri sudah cukup sebagai jawabannya.

“Papa pasti tahu keputusan yang dibuatnya.”

“Kau benar.”

Keduanya kembali terdiam, hingga Jendra, sang adik muncul dan mengatakan sang papa mencari mamanya. Aleta menolak masuk karena masih ingin menikmati taman bunga keluarga Thobias sebagai dalihnya menenangkan diri.

Sepanjang mengenal Leon dalam keluarga besar dari sisi mama tirinya, Aleta tak pernah benar-benar berinteraksi dengan pria itu. Bahkan semua keluarga sang mama hanya memandangnya sebagai makhluk tak kasat mata. 

Aleta bisa memahami itu. Ialah satu-satunya sepupu yang tak memiliki ikatan darah dengan mereka. Sebelum kakinya lumpuh, ia selalu dipandang di sebelah mata. Apalagi sekarang.

“Kau bisa memakai apa pun yang kau suka, Berlian. Aku tak pernah mempermasalahkannya.” Suara Bastian dari arah teras belakang mengalihkan perhatian Aleta.

Gadis itu menoleh, menemukan Berlian dan Bastian yang berdiri saling berhadap-hadapan. Jarak teras belakang dan taman bunga tempatnya duduk tak lebih dari sepuluh meter. Suasana malam yang begitu sunyi berbanding terbalik dengan keramaian yang ada di dalam rumah, membuat suara pasangan tersebut terdengar begitu jelas dari posisinya.

Berlian mengalungkan kedua lengannya di leher Bastian. Menempelkan tubuh wanita itu ke tubuh Bastian sebelum mendorong pria itu ke tiang. “Aku suka yang bisa dengan mudah dibuka di mana pun dibutuhkan,” bisikan wanita itu sengaja diulur. Dengan nada yang menggoda sembari semakin merapatkan jarak di antara wajah mereka.

Aleta segera memalingkan wajah, menggigit bibir bagian dalam dengan rasa panas yang tak hanya merebak di permukaan wajah. Juga di dalam dadanya. Gadis itu tampak menarik napas dalam-dalam, berusaha menetralkan perasaan apa pun yang masih terpendam di dalam sana. Tak ingin membayangkan apa yang akan selanjutnya pasangan itu lakukan.

Menepis pikirannya, Aleta memutar kursi rodanya. Mendorong ke arah sebaliknya karena tak ingin dianggap mengintip privasi pasangan tersebut. Tetapi baru saja rodanya bergerak, tiba-tiba sesuatu dari arah belakang menahannya.

“Kau sudah akan pergi?” Suara Bastian yang begitu familiar membekukan seluruh tubuh Aleta.

Aleta menahan gerakan Bastian yang hendak memutar kursinya, dan sebagai gantinya, pria itulah yang berjalan ke arah depan.

“Kau tahu perjodohan ini bukan kehendakku, Aleta.” Bastian menatap wajah datar Aleta. “Seperti perjodohanmu dan Leon.”

Aleta tetap bergeming. Membuang wajahnya ke samping dan mendorong kursi rodanya ke samping. Menghindari posisi Bastian yang menghadangnya. Lagi-lagi sebelum ia benar-benar melewati pria itu, Bastian menahan lengan kursi rodanya.

“Bagaimana dengan terapimu?”

Aleta menyentakkan tangan Bastian dengan kasar.

Bastian sama sekali tak terusik dengan sikap kasar tersebut. Pria itu bahkan berjongkok di samping Aleta. Menyentuh punggung tangan gadis itu. “Dokter Brian mengatakan …”

“Semua itu sudah bukan urusanmu, Bastian,” desis Aleta dengan suaranya yang sedingin ia bisa.”

“A-aku ...”

“Di sini kau rupanya?” Suara berat dari arah belakang mengalihkan perhatian keduanya.

Wajah lembut Bastian seketika berubah tegang mengenali suara sialan sang sepupu. Pria itu lekas beranjak dan berhadapan dengan Leon, memasang tampang muak yang selalu melekat untuk sepupunya satu ini. “Kenapa? Setidaknya aku perlu mengenal calon sepupu iparku, kan? Memastikannya tahu akan posisinya meski telah menjadi istrimu.”

Leon hanya mendengus tipis. 

“Pernikahan kalian tak akan mengubah apa pun.”

“Seperti pernikahanmu dengan cucu tunggal keluarga Mamora?” Alis Leon terangkat dengan gerakan mengejek.

Tatapan Bastian menajam, kedongkolan di wajahnya semakin pekat sebelum berjalan pergi.

Aleta berusaha mengabaikan ketegangan di antara kedua pria yang berdiri di belaangnya. Kembali mendorong kursi rodanya, yang kali ini ditahan lagi oleh Leon.

“Sepertinya kita butuh bicara, tunanganku?” Leon menarik ke belakang kursi roda Aleta, memutar hingga menghadapnya dan berjongkok di depan gadis itu sembari mengunci roda kecil di bawah lututnya.

“Ini.” Leon membuka kotak cincin di tangannya ke hadapan Aleta. “Seharusnya aku memberikannya sebelum acara makan malam ini, tapi … aku tak ingin mengejutkanmu.”

“Aku akan bicara dengan papaku untuk menolak perjodohan ini.” Setelah usahanya untuk melepaskan diri tak membuahkan hasil, akhirnya Aleta memberanikan diri untuk bicara.

“Ya, kau bisa mencobanya.”

Aleta terdiam, melirik tak tertarik cincin dengan hiasan permata di dalam kotak tersebut. Tangannya bergerak mengambil kotak tersebut dan melemparnya ke arah taman bunga di samping mereka. “Hanya karena aku selalu menjadi yang paling diam, bukan berarti aku bisa diperlakukan seperti pion yang tak memiliki pendapat, Leon.”

Leon tak melepaskan pandangannya dari kemarahan di mata Aleta. Senyum yang melengkung di bibir pria itu, berubah menjadi seringai ketika membalas kalimat Aleta. Suaranya yang dipenuhi ketenangan, sama sekali tak mengurangi ancaman tajam pria itu. “Ya, kau memang tak lebih dari pion, yang bahkan tak berhak memiliki pendapat, Aleta Ege. Tidakkah kau memahami posisi itu?”

Bukan Sang PewarisOn viuen les histories. Descobreix ara