29

701 128 6
                                    

PART 29 

Bastian tak berhenti menatap wajah mungil dan pucat di hadapannya dengan perasaan yang sulit dijabarkan. Kedua tangannya pun tak melepaskan tangan Aleta dalam genggamannya. Tak bosan-bosannya ia mengamati wajah cantik tersebut. Alis yang melengkung indah, bulu mata yang lentik, hidung kecil dan ramping yang mancung, bibir tipis dan merah alami yang sekarang tampak kering tersebut. Ia sudah menghafal dengan baik setiap lekukan wajah Aleta di ingatannya. Bahkan hanya dengan memejamkan mata dan mengingat wajah Aleta ketika begitu merindukan gadis itu. Bayangan di benaknya terasa nyata. Sedikit meluapkan kerinduannya. 

Kelopak mata itu bergerak perlahan. Bastian seketika menyadari gerakan tersebut dan mendekatkan wajah di samping wajah Aleta. Menunggu gadis itu benar-benar terbangun.

"Bastian?" Panggilan lirih dan lemah tersebut terdengar lembut di telinganya. 

"Hai, kau sudah bangun."

"Di mana aku?"

"Di klinik. Aku menemukanmu pingsan di kamar mandi."

Kening Aleta berkerut. Mengingat apa yang dilakukannya sebelum jatuh pingsan. Sepanjang hari menunggu Bastian, ia memang merasa tidak enak badan. Jadi hanya berbaring di kasur. Menjelang sore, ia terbangun dan ke kamar mandi ketika tiba-tiba rasa pusing itu datang. Dan ia tak ingat apa yang terjadi selanjutnya hingga terbangun di tempat asing ini.

"Apa kepalamu masih pusing?" Bastian membantu Aleta terduduk. Menyelipkan helaian rambut gadis itu di balik telinga.

Aleta menggeleng. "Aku ketiduran dan melewatkan makan pagi dan siangku. Sepertinya karena itu."

Bastian tak mengatakan apa pun. Lidahnya terasa kelu, untuk memberitahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Kau sudah bertemu dokter?"

Bastian mengangguk pelan.

"Apa yang dikatakannya?"

Bastian terdiam. Menatap wajah Aleta yang menunggu jawaban. Setiap detik yang berlalu membuat kerutan di antara kedua alis gadis itu semakin menukik tajam.

"Kenapa kau diam saja? Apakah serius? Apakah …" Pandangan Aleta beralih pada kedua kakinya. "Ada hubungannya dengan kakiku lagi."

Bastian menggeleng. Genggamannya pada tangan Aleta semakin menguat untuk menenangkan gadis itu. Sekaligus menguat hati untuk menjawab, "Kau hamil."

Aleta membeku. Wajahnya yang sepucat mayat dipenuhi keterkejutan yang teramat besar.

*** 

Keheningan yang membentang di antara keduanya terasa begitu menyesakkan. Sepanjang sisa perjalanan, Bastian hanya terdiam. Begitupun dengan Aleta yang sengaja mempertahankan kesunyian tersebut dengan menatap ke arah jendela mobil. Tak ada sepatah kata pun yang keduanya ucapkan setelah dokter mengatakan kondisi Aleta yang cukup sehat untuk pulang dan melakukan pemeriksaan dengan USG untuk memastikan usia kandungan. Yang kemudian ditolak oleh Aleta.

Sampai di halaman rumah, Aleta turun lebih dulu. Masuk ke dalam rumah dan langsung masuk ke dalam kamar. Berbaring meringkuk dan meredam isak tangisnya di bawah bantal. Ia tahu anak siapa yang ada di dalam kandungannya, begitu pun dengan Bastian.

Semua kebahagiaan yang sempat keduanya cicipi, kini harus berakhir dengan kabar buruk ini. Ya. ini adalah kabar buruk. Bagaimana mungkin ia merasa bahagia dengan anak Leon yang ada di perutnya di tengah kehidupan bahagia mereka yang baru saja dimulai.

Bastian pasti sangat kecewa padanya. Itulah sebabnya pria itu mendiamkannya. Sudah terlalu banyak kerepotan dan kekecewaan yang diberikannya pada pria itu. Ia tak lagi sanggup menatap wajah pria itu, apalagi memulai pembicaraan.

Bukan Sang PewarisOnde as histórias ganham vida. Descobre agora