9. Menguatkan Hati

907 157 6
                                    

Part 9 Menguatkan Hati

Aleta tak menemukan keberadaan sang mama ketika baru saja keluar dari ruang terapi. Kepalanya berputar, mencari ke lorong di sekitar. Tak biasanya mamanya meninggalkannya saat terapinya selesai.

“Sudah selesai?” Suara bass itu tiba-tiba terdengar dari samping Aleta. Gadis itu menoleh dan terkejut menemukan Bastian yang baru saja keluar dari ruang dokter di samping ruang terapi. Mendekati ke arah Aleta, yang langsung mendorong kursi roda menjauh dari pria itu.

“Mamamu sedang pergi ke toilet di lantai tiga. Toilet di lantai ini sedang dalam perbaikan.”

‘Dan sungguh di saat yang tepat,’ batin Aleta.

“Dan mamamu menitipkanmu padaku.” Bastian menahan pegangan kursi roda. Menghentikan Aleta yang berusaha menghindar.

“Lepaskan, Bastian,” desis Aleta tajam. Berusaha menggerakkan kursi rodanya agar terlepas dari pegangan Bastian.

Bastian membungkuk, menekan kunci roda dan memutar Aleta. Kemudian berjongkok di hadapan gadis itu. “Dokter mengatakan perkembangan otot kakimu cukup bagus. Jari-jarimu sudah bisa digerakkan.”

Aleta menepis tangan Bastian yang menyentuh lututnya. “Aku sudah mengatakan padamu, semua ini bukan urusanmu lagi, Bastian. Kau tak perlu menebus rasa bersalahmu. Aku tak membutuhkan perhatianmu.”

“Aku tahu kau akan melakukan hal yang sama meski kau menolakku seribu kali, Aleta.”

“Tidak.” Penolakan Aleta lebih tegas dari sebelumnya. Tatapannya menajam pada Bastian. “Kita harus menghentikan semua ini, Bastian. Semua tentang kita sudah terlupakan. Tak ada yang perlu diingat atau dikenang. Semua masa lalu kita, tak pernah ada.”

Kekecewaan muncul di kedua mata Bastian, meski begitu wajahnya tetap menampilkan kesabaran yang lebih banyak. Apa yang dilakukan Aleta untuknya sama sekali tak bisa dibandingkan dengan kekecewaan tersebut. “Maafkan aku, Aleta.”

“Aku sudah memaafkanmu. Bahkan sebelum kau memintanya. Aku juga tak pernah menyesali keputusanku, Bastian. Jika dihadapkan pada situasi yang sama, aku akan tetap menyelamatkanmu. Dan itu adalah keputusanku. Tak ada yang berhak merubahnya. Begitu pun dengan sekarang. Aku menolak semua perhatianmu, itu hakku. Termasuk untuk menganggap hubungan kita tak pernah ada. Jika kau masih begitu peduli padaku. Kumohon. Berhenti membuatku merasa tak nyaman seperti ini.”

 Bibir Bastian berubah kelu, membentuk celah kecil untuk membalas kata-kata menohok Aleta, tapi tak ada sepatah kata pun yang berhasil lolos.

“Kau bilang kau akan menyimpanku di dalam hati, kan? Aku tak akan melarangmu. Lakukan itu. Aku akan menghargai hakmu. Lakukan yang sama untukku.” Aleta sedikit membungku. Menarik kunci kursi rodanya, memundurkan sedikit lalu mendorong pergi. Meninggalkan Bastian yang masih berjongkok di tengah lorong dengan kepala tertunduk. Sisi pria itu yang tak pernah diketahui atau ditunjukkan pada siapa pun.

Mata Aleta terpejam, merasakan lelehan air mata jatuh ke pipi yang langsung ia seka dengan punggung tangannya. Menguatkan hati. Semua ini demi kebaikan mereka berdua.

*** 

“Wajahmu terlihat begitu muram, adik. Ada yang membuatmu gusar?” Maida tersenyum simpul. Menunjukkan gaun hijau zamrud di tangannya pada Yoanna yang duduk di sofa. “Sepertinya ini cocok untuk kulit putih dan mulus Aleta. Bagaimana?”

Yoanna menoleh, menatap sang kakak yang memegang gaun sepanjang lutut dengan hiasan permata di bagian pinggang. Memiliki lengan 2/3. Meski berpotongan sederhana, gaun itu tampak elegan dan mewah. “Untuk apa dia menggunakan gaun seperti itu? Untuk memamerkan kakinya yang cacat?” dengusnya sinis.

Bukan Sang PewarisWhere stories live. Discover now