22. Pelampiasan Emosi

992 166 16
                                    

Part 22 Pelampiasan Emosi

"Apakah ini kesengajaanmu?" cecar Leon tepat ketika kakinya sudah melewati pintu paviliun.

Aleta mengernyit tak mengerti, wajahnya tetap tertunduk. Karena jika ia bergerak sedikit saja, wajahnya akan bersentuhan dengan Leon. Yang menunduk terlalu dekat ke arahnya. Kedua lengannya yang melingkar di leher pria itu cukup pendek, membuat jarak wajah mereka tak lebih dari lima senti.

Ya, ketegangan di meja makan memang sudah tak terkendalikan. Aura yang menguar dari tubuh Leon pun berhasil membuatnya menahan napas. Dan Leon tampak kewalahan menguasai emosi seperti pada malam itu.

"Aku tak tahu apa yang kau katakan, Leon." Suara Aleta lirih, dengan napas tertahan karena kepala Leon bergerak lebih turun, hingga napas berat pria itu menerpa sisi wajahnya.

"Meski memang aku yang menumpahkan kopiku, seharusnya tanganmu tak terkena tumpahannya."

Aleta menelan ludahnya. Ya, tangannya memang terjulur ke arah pria itu, berusaha menyentuh Leon untuk menenangkan emosi yang semakin menggebu-gebu tersebut. "A-aku …"

Selain terbata karena dipaksa memberikan jawaban, tubuhnya yang dibaringkan di kasur dengan kasar oleh Leon membuat Aleta tak mampu menyelesaikan kalimatnya.

"Kita hanya menikah, Aleta. Bukan saling peduli atau ikut campur urusan masing-masing. Tidakkah kau memahami situasi kita?" Tatapan tajam Leon menusuk tepat di kedua mata Aleta.

Aleta menjilat bibirnya yang mendadak kering oleh peringatan tersebut sebelum menjawab dengan suara yang setengah mencicit. "Aku tidak peduli ataupun ingin ikut campur urusanmu."

Mata Leon menyipit lebih tajam. Mencoba membaca raut Aleta yang setengah memucat.

"Aku hanya melindungi diriku sendiri. Aku tak suka kau melampiaskan amarah dan emosimu padaku. Sementara aku tak ada sangkut pautnya dengan masa lalumu. Sehingga harus bertanggung jawab dengan emosimu saat ini."

Leon terdiam. Matanya mengerjap sekali. Kata-kata Aleta berhasil menamparnya.

*** 

Leon tak terkejut dengan kemunculan sang papa di ruang kerjanya siang itu. Ia mengalihkan pandangannya dari berkas di meja ke arah wajah paruh baya yang lembut dan penuh ketulusan tersebut. Sejak kecil, sosok papa yang ada di hadapannya ini tak pernah mengecewakannya. Juga untuk adiknya. Ada banyak waktu luang yang diberikan pria itu untuk menemaninya bermain, berlatih dan bahkan belajar. Semakin tumbuh besar, Lionel Ezardy adalah sosok ayah dan suami yang kebanyakan orang inginkan. Bersikap tegas dan keras, tetapi di saat yang lain menjadi lembut dan penuh perhatian. Memastikan semua anggota keluarga tak kekurangan kasih sayang.

“Bisa papa bicara sebentar?”

Leon mengangguk singkat. Beranjak dari kursinya dan duduk di seberang meja. Untuk sesaat keheningan kembali menyelimuti keduanya. Leon mengamati kedua tangan Lionel yang tersampir di lengan sofa dan yang lainnya di atas pangkuan. Gestur pria itu dipenuhi ketenangan sekaligus kelembutan yang sudah begitu familiar baginya. 

“Apa ada yang ingin kau tanyakan pada papa?” Pertanyaan Lionel memulai pembicaraan.

Leon tak langsung menjawab. Menatap wajah Lionel, yang semakin ia pandang. Kemiripan di antara mereka memang tak ada. “Jadi memang ya?”

Lionel terdiam. Sorot sang putra sudah mengartikan semuanya. Kecewa bercampur kebingungan yang masih belum diterima. “Di mata papa, kau tetaplah seorang putra yang kukasihi. Tak sulit menyayangi anak dari wanita yang kau cintai, kan?”

Bukan itu yang Leon pertanyakan meski ia tahu itu dengan pasti. “Tidakkah kalian merasa perlu menjelaskan semuanya padaku? Bahkan jika itu sudah jauh terlambat. Kalian punya 32 tahun waktu untuk mengatakannya.”

Bukan Sang PewarisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang