30. Di Ujung Tanduk

913 155 7
                                    

Part 30 Di Ujung Tanduk

Empat bulan kemudian …

Suara detak jantung yang berdegup memenuhi seluruh ruangan membuat Aleta dan Bastian tercenung. Mendengarkan setiap detak jantung tersebut dengan senyum yang merekah di bibir mereka. Sekaligus mendengarkan penjelasan detail sang dokter akan keadaan janin di dalam perut Aleta.

Usia kandungan Aleta sudah menginjak tujuh bulan. Perut Aleta sudah terlihat sangat besar dengan tubuh gadis itu yang mungil. Berat janin sudah melebih satu kilo, berjenis kelamin laki-laki, dan sangat aktif.

“Ya, Dok. Dia sangat aktif. Terutama di malam hari.” Aleta membenarkan, yang disambut tawa oleh Bastian.

“Yang terpenting, dia sehat. Apakah semuanya baik-baik saja?”

Sang dokter mengangguk, menarik alat di atas perut Aleta dan menyeka sisa gel dengan tisu sembari mengamati senyum di wajah Aleta. “Ibu dan anak, keduanya dalam kondisi sehat. Dan sangat bahagia. Itu kunci semuanya.”

Aleta terkikik pelan. Bastian menarik baju Aleta hingga menutupi perut dan membantu duduk. Berjongkok di samping ranjang untuk memakaikan flatshoes di kedua kaki Aleta dan mengangkat tubuh yang masih terasa ringan tersebut turun dari ranjang.

Aleta menyelipkan lengannya di lengan Bastian, keduanya berjalan di depan meja dokter.

“Apakah vitaminnya masih ada?”

“Sudah habis sejak tiga hari yang lalu,” jawab Bastian. “Seharusnya kami datang tiga hari yang lalu, tapi ada sedikit hal yang menunda.”

Aleta mengelus punggung tangan Bastian, menepis rasa bersalah pria itu. Yang menunda kontrol ke dokter karena pekerjaan yang tak bisa ditinggalkan. “Tapi jadwal makan saya tidak terlambat, Dok. Dan minum susu ibu hamil dengan rajin. Tidak muntah dan pusing. Jadi semuanya baik-baik saja, kan?”

Sang dokter tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepala. Menulis resep vitamin di kertas putih yang kemudian diserahkan pada Bastian.

Tak lama, keduanya berjalan keluar dari ruangan dokter.

“Kau dengar, kan? Kami baik-baik saja.”

“Bulan depan, kita tidak akan melewatkan kontrolnya. Apa pun yang terjadi.”

Aleta hanya tersenyum. Menjatuhkan kepalanya di pundak Bastian.

“Apa kau sudah menyiapkan namanya? Bukankah ini kedua kalinya dokter mengatakan kalau jenis kelaminnya laki-laki.”

Aleta menggeleng.

“Masih belum.”

“Ada beberapa.”

“Bastian junior?” Bastian mengangkat salah satu alisnya. Tertawa kecil.

Aleta terkikik. “Baara? Byan? Atau Bachtiar?”

“Hmm, Bachtiar tampaknya bagus. Bachtiar Thobias.”

Aleta hanya tersenyum, mengangguk dan menggumam pelan sambil mengusap perutnya. “Ya, Bachtiar Thobias.”

*** 

“Tunggu sebentar.” Bastian tiba-tiba menepikan mobil dan mematikan mesin.

“Kenapa?” Aleta menoleh ke samping dan melihat Bastian yang membuka pintu mobil. “ Mau ke mana kau?”

“Ada manisan mangga kesukaanmu.” Bastian menunjuk kedai sederhana yang ada di seberang jalan. Karena halaman kedai yang sempit dan sudah dipenuhi kendaraan lain, ia pun memarkirkan mobil di sisi lain jalan. “Ingin yang lain?” tawarnya sebelum menutup pintu.

Bukan Sang PewarisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang