46. Jamua Makan Malam

700 152 12
                                    

Part 46 Jamuan Malam

Aleta menggoyang lembut lengan Leon yang berbaring tengkuran di ranjang. “Leon? Bangun.”

Leon mengerang pelan, matanya terbuka dan berkedip beberapa kali sebelum menatap ke arah Aleta yang membungkuk ke arahnya. 

“Kau bilang untuk membangunkanmu setelah meja makan siap. Aku dan mama sudah makan malam, jadi aku membawakan …”

Lengan Leon menangkap pinggang Aleta, menarik tubuh mungil wanita itu hingga duduk di tepi ranjang. Lalu mengangkat kepala dan meletakkannya di pangkuan Aleta. “Tunggu sebentar.”

Pekik Aleta tertahan di ujung lidah dengan gerakan yang tiba-tiba tersebut. Tubuhnya membeku, terkejut oleh kepala Leon yang ada di pangkuannya dengan lengan melingkari pinggang. Memeluknya. Begitu erat.

Aleta terdiam. Keduanya terdiam. Kepala Aleta bergerak menuduk, menatap bagian belakang kepala Leon. Lama. Tangannya bergerak terangkat, ingin mengelus kepala pria itu dan berharap masalah apa pun yang tengah pria itu hadapi, semuanya terasa lebih ringan meski ia tak bisa melakukan apa pun untuk membantu.

Selama dua bulan lebih kembali dalam pernikahannya dan Leon, ia terkadang mulai terbiasa dengan pria itu sebagai suaminya. Pun hatinya yang masih sepenuhnya terbuka untuk Leon. Toh Leon pun tak menawarkan kesepakatan apa pun dalam pernikahan tersebut.

Semua perhatian dan sikap lembut pria itu, juga dirinya yang mau tak mau selalu membutuhkan Leon karena hanya pria itu yang selalu di sampingnya. Perlahan ia mulai menerima pernikahan tersebut.

“Apakah semuanya baik-baik saja?” Aleta memecah kesunyian yang mulai membuatnya merasa tak nyaman tersebut. Meski pria itu terdiam, Aleta bisa merasakan kalau Leon tidak tidur. Entah apa yang tengah memenuhi pikiran pria itu.

Kekehan lirih Leon teredam oleh wajahnya yang tenggelam di pangkuan Aleta, terasa begitu nyaman. “Kenapa? Kau mencemaskanku?”

Aleta seketika menyesali pertanyaannya. Kecemasan yang merambati dadanya adalah karena ia yang tak bisa mengabaikan pria itu. Seperti pria itu yang juga tak berhenti mencemaskan dirinya.

Hening lagi.

“Ya, akhir-akhir ini semuanya sedang tidak baik.” Kalimat selanjutnya Leon membuat Aleta kembali tertunduk menatap kepala Leon, yang berputar dan membuat keduanya saling pandang. “Tapi sekarang aku sudah merasa lebih baik.”

Kerutan tersamar di kening Aleta. Leon mengunci pandangannya. Menatapnya dengan penuh arti yang tak bisa dibaca oleh gadis itu “Jika sewaktu-waktu aku kehilangan semuanya, hanya kau dan Lucien yang tersisa. Kupikir aku akan baik-baik saja.”

Aleta hanya tercenung dengan kata-kata tersebut. Tangan Leon terangkat, merangkum sisi wajahnya dan mengelus pipinya dengan lembut. Ada senyum yang tersirat di manik biru pria itu. Menciptakan getaran asing yang mulai merambati dadanya.

Aleta mengerjap, segera tersadar dengan semua kehaluan yang baru saja mengambil kesadarannya. “Makanlah. Ini sudah malam,” ucapnya kemudian dengan suara yang setengah serak. Menurunkan tangan Leon dari wajahnya dan mendorong kepala pria itu dari pangkuannya. “Aku … aku ingin ke kamar mandi.”

Leon bangun terduduk, membiarkan Aleta beranjak dari tepi ranjang dan masuk ke dalam kamar mandi dengan langkah terburu. Sejenak pandangannya terdiam pada pintu yang tertutup rapat, menghela napas panjang dan mengambil nampan makan malamnya. Mulai mengisi perutnya sebelum pergi ke ruang kerja dan mengurus semua permasalahan yang seolah datang silih berganti.

*** 

Bastian meraih gelasnya yang sudah terisi penuh dan menandaskannya hanya dalam satu tegukan. Mengabaikan rasa terbakar di tenggorokannya. Ia hanya butuh semua yang memenuhi pikirannya enyah dari kepalanya. Berharap malam ini bisa memejamkan mata tanpa memikirkan Aleta yang pasti tengah disibukkan dengan bayi yang sudah seminggu lalu sang kekasih lahirkan.

Ucapan selamat yang sering kali ia dengar diucapkan untuk Leon, setiap kali keduanya terlibat pertemuan. Membuatnya semakin diredam rasa cemburu. Pun untuk semua pencapaiannya yang sudah sejauh ini, lebih dekat dan lebih dekat dengan Aleta. Kecemburuan itu tetap ada. Masih dan terus membuatnya perasaannya jauh dari kata baik-baik saja.

“Kau akan tidur di sofa lagi?” Berlian mengambil tempat duduk di samping Bastian. Mengangkat tangan pada bartender untuk memberinya minuman yang sama dengan sang suami.

Bastian hanya melirik tak tertarik, begitu bartender mengisi gelasnya, ia kembali menandaskan isinya.

“Tidak bisakah kita sedikit bersenang-senang dengan pernikahan ini? Sudah banyak keuntungan yang kau dapatkan dari pernikahan ini, kenapa hanya aku yang merasa dirugikan? Kau tahu kakekku tak sabar menunggu kabar bahagia dari kita.”

Bastian semakin dibuat muak dengan tuntutan Berlian yang tak sanggup ia berikan. Atau mungkin belum. Karena ia akan melakukan apa pun untuk mengambil kembali Aleta ke pelukannya. Jika memang menghamili Berlian termasuk salah satu cara yang harus ia lewati. Sepertinya ia tak akan peduli.

Suara serak Bastian terdengar. “Berapa yang kau butuhkan?”

Berlian mencondongkan tubuhnya ke arah Bastian. “Satu? Dua? Aku tak keberatan selama itu anakmu.”

Bastian mendengus. “Kita bisa melakukan program bayi tabung.”

Senyum Berlian seketika membeku. “A-apa? Kau tak akan meniduriku?”

“Aku tak pernah meniduri wanita yang tak kuinginkan.”

“Dan gadis cacat itu lebih kau inginkan dibandingkan aku?”

Wajah Bastian menggelap. Geraman rendah lolos dari celah bibirnya. Meski begitu, jawabannya diselimuti ketenangan. “Ya.”

Wajah Berlian semakin merah padam, dengan mata melotot yang nyaris melompat dari rangkanya.

Bastian melompat turun dari kursinya. “Jika kau menginginkan anak, hanya itu satu-satunya cara yang akan kita lakukan. Dan aku tak peduli kau menolaknya atau tidak,” pungkasnya sebelum meninggalkan Berlian keluar dari klub malam tersebut.

*** 

“Apa ini?” Aleta menatap gaun malam yang diletakkan Leon di ujung ranjang mereka. begitu pun dengan sepatu dan dompet kecil yang senada dengan warna gaun tersebut.

Alis Leon bertaut heran sebelum mengingatkan. “Jamuan malam. Aku sudah mengatakan padamu, kan? Itulah sebabnya malam ini mama akan bermalam di sini untuk menjaga baby Lucien.”

Ah, Aleta baru teringat. Leon mengatakannya setelah keduanya baru pulang dari rumah sakit untuk kontrol pasca persalinan dua hari yang lalu. 

“Bersiaplah.” Leon mengurai dasi dari leher dan melepaskan jas dalam perjalanan ke kamar mandi setelah Aleta mengangguk patuh.

Aleta menatap gaun di hadapannya. Mengambilnya dan berjalan ke ruang ganti. Setelah mengganti pakaiannya, ia hanya merias tipis wajahnya dan selesai tepat ketika Leon keluar dari ruang ganti. Sama-sama sudah siap. 

Sepanjang perjalanan, keduanya tak banyak bicara karena Leon sendiri disibukkan dengan membaca entah apa yang ada di tab pria itu. Mobil membawa mereka di salah restoran mewah di hotel bintang lima. Lengan Leon melingkar posesif di pinggang Aleta ketika pelayan mengantar mereka menuju ruang pribadi atas nama Phyllian Mamora.

Saat masuk, keduanya disambut pria tua dengan senyum lembut yang tampak masih begitu muda meski seluruh rambutnya sudah berubah putih.

“Tuan Phyllian?” Leon menyapa lebih dulu.

“Leon Thobias?” sapa Phyllian. Yang kemudian beralih pada Aleta. Pandangan pria tua itu tampak terpaku lebih lama ketika melihat wajah Aleta.

“Istri saya. Aleta Thobias.” Leon memperkenalkan.

Phyllian mengerjap, tersadar dari keterpakuannya dan tersenyum lebih lebar. “Ah, Aleta. Gadis yang manis. Wajahmu mirip seseorang. Mengingatkanku padanya,” gumamnya kemudian tertawa.

Leon dan Aleta ikut tertawa kecil.

Di tengah tawa tersebut, pintu kembali terbuka.

“Ah, cucu dan cucu menantuku juga sudah datang rupanya,” ucap Phyllian kemudian menatap ke arah pintu. Leon dan Aleta ikut berbalik. Melihat Bastian dan Berlian yang melangkah masuk. Wajah Aleta memucat, sedangkan Leon tampak membeku. Dengan keberadaan Bastian yang mengejutkannya. Sial.
















Bukan Sang PewarisWhere stories live. Discover now