26. Kebimbangan Aleta

905 146 5
                                    

Part 26 Kebimbangan Aleta

Anna mengangguk. “Sejujurnya aku sudah mencurigai ada hubungan yang aneh antara Bastian dan si ca …”

“Istriku punya nama, Anna,” koreksi Leon penuh penekanan. “Aleta Ezardy, jika kau lupa.”

Anna mengerjap. Menyadari ketajaman tatapan Leon yang mampu membuat bulu kuduknya berdiri. “Y-ya. Aleta. Maksudku, kupikir mereka memiliki sesuatu. Beberapa kali, aku memergoki mereka bertemu secara diam-diam. Sepertinya mereka memang memiliki sesuatu.”

“Istriku jelas bukan tipe wanita yang akan ditiduri oleh Bastian, Anna.” Leon menarik lengannya dari gelayutan Anna. “Meski aku tahu setiap inci yang ada di balik pakaiannya dengan sangat baik. Jauh lebih indah dari yang dimiliki wanita manapun.”

Bibir Anna memberengut kesal. “Wanita mana pun, kecuali aku. Kau perlu mengamati tubuhku dengan lebih teliti, Leon. Dia tak mungkin lebih baik dariku.”

“Mungkin ya.” Mata Leon melirik turun, ke arah belahan dada Anna. “Sayangnya aku suka yang lebih alami. Terasa pas di tanganku.” Tangan Leon terangkat, telapak tangannya bergerak-gerak seperti sedang meremas sesuatu. “Dan aku tak butuh obat perangsang untuk bergairah dengannya.”

Anna mendelik tak terima. “Kau keterlaluan, Leon.”

Leon terkekeh. “Ya, aku memang,” ucapnya berjalan meninggalkan Anna yang semakin berang bukan main. Pria itu berjalan menyeberangi ruang keluarga. Hanya ada tiga sepupunya yang sibuk menertawakan lelucon. Melewati ruang tengah dan berbelok ke samping. Saat ia membuka pintu kamar mandi, Aleta sudah tidak ada di sana.

“Apa mama melihat Aleta?” tanyanya pada Monica yang baru saja keluar dari area dapur. 

“Dia bersamamu, kan?”

Leon menggeleng.

“Mungkin ada di taman sebelah rumah. Dia biasanya suka menyendiri di tempat itu.” Monica menunjuk lorong pendek di samping mereka. Dua pintu kamar tamu di masing-masing sisi dan ujungnya adalah pintu ganda yang mengarah ke area taman di samping rumah.

Leon lekas menyeberangi lorong pendek tersebut dan benar saja. Ia langsung menemukan gadis itu duduk di samping sekumpulan bunga tulip berwarna putih. Tangan Aleta itu terulur, menyentuh bagian puncak bunga tetapi pandangan gadis itu membeku ke arah yang lain. Tampak tenggelam dalam benaknya sendiri.

Leon berjalan lebih cepat. Semakin mendekat dan Aleta masih tak menyadari keberadaannya. “Apa yang kau pikirkan?”

Aleta terlonjak kaget, kepalanya menoleh ke samping dengan cepat. “L-leon?”

Leon menarik kursi di samping Aleta dan duduk di sana. Memutar tubuhnya menghadap gadis itu dan mengulang pertanyaannya. “Apa yang kau pikirkan?”

Aleta  menggeleng, menghindari bertatapan langsung dengan pria itu.

“Itu tak menjawab pertanyaanku, Aleta.”

“Apakah aku harus selalu mengatakan apa yang ada di pikiranku?”

“Ya. Terutama jika kau masih memikirkan Bastian.”

Mata Aleta mengerjap. Ya, sejak tadi benaknya dipenuhi oleh pembicaraannya dan Bastian di kamar mandi. Yang membuatnya tenggelam dalam kebimbangan. “Kau tak melarangku memikirkan dia, kan?”

Leon tersenyum dengan jawaban cerdik Aleta. Tangan pria itu menarik lengan kursi roda Aleta ke arahnya. Dalam satu gerakan singkat, tubuh Aleta sudah berada di pangkuannya. “Ya, aku tak melarangmu,” bisiknya di telinga sang istri. Menjilat ujung telinga Aleta dengan lidahnya. Lalu mengendus bagian belakang telinga gadis itu. “Bayangkan jika dia melihat apa yang kulakukan padamu saat ini,” bisiknya dengan bibir yang masih sibuk menjelajahi kulit leher Aleta. Tangan pria itu bergerak menurunkan kerah baju sang istri, memainkan lidahnya di ketelanjangan pundak Aleta yang membuatnya semakin terbakar gairah. 

“Kita ada di luar, Leon.” Aleta menggeliatkan tubuhnya. Menahan ciuman Leon yang bergerak semakin liar di sekitar dadanya. Semakin turun, membuatnya mulai panik dan mengedarkan pandangan ke sekeliling mereka.

Benar saja, ketika mata Aleta menangkap sosok yang baru saja keluar dari pintu di samping rumah adalah Bastian. Tubuh Aleta membeku, begitu pun dengan langkah Bastian. Berdiri hanya beberapa meter dari belakang punggung Leon.

Keduanya saling pandang, rontaan Aleta ikut terhenti.

“Kalau begitu kita ke kamar.” Leon melepaskan bibirnya sembari mengangkat tubuh Aleta. Membawa gadis itu berjalan melewati jalan setapak di samping rumah yang langsung mengarah ke paviliun. Menjauh dari posisi Bastian yang masih mematung di tempat pria itu berdiri. Dengan tatapan patah hati dan kecemburuan yang begitu pekat. Menghancurkan perasaannya dengan cara yang buruk.

Sementara wajah Aleta yang pucat tertunduk semakin dalam. Tak tahan dengan kepedihan di kedua mata Bastian, yang juga membuatnya merasa tersiksa.

Haruskah mereka meninggalkan semua kepelikan ini? Memulai hidup yang lebih baik  di tempat mana pun yang tidak ada seorang pun mengenali mereka?

*** 

Seperti puncak kenikmatan sebelum-sebelumnya yang begitu sempurna, Leon mengakhiri permainan panas mereka dengan satu kecupan di kening Aleta. Sebelum kemudian berguling ke samping. Menormalkan napasnya kembali sembari menatap langit-langit kamar mereka. Sementara tubuh Aleta bergerak ke samping. Menarik selimut menutupi ketelanjangannya.

Tubuhnya terasa lengket oleh keringat, dipenuhi jejak gairah Leon. Mata Aleta terpejam, perlahan napasnya sudah kembali normal saat pikirannya mulai tertaut dengan Bastian.

Cara pria itu memandang kepergian Leon. Masih terasa begitu menusuk dadanya. Membuatnya berada di tengah persimpangan. Melupakan semua perasaan yang sudah berceceran di dadanya, atau … meraih harapan yang ditawarkan pria itu untuk mereka?

Aleta tak yakin mana yang lebih diinginkannya. Siapkah ia menjalani kehidupan dengan Bastian tanpa keluarganya? Atau … siapkah dia menjalani hidup tanpa Bastian dengan perasaannya yang masih terikat pada pria itu?

Tubuh Leon bergerak miring, lengannya menyelinap di pinggang Aleta dan menenggelamkan wajahnya di rambut hitam gadis itu yang lembut dan harum. Dipenuhi aroma keringatnya dan Aleta yang bercampur. “Kau sudah tidur?’

Mata Aleta terpejam, berpura tertidur dan memastikan napasnya berhembus teratur. Merasakan pelukan Leon yang semakin merapat dan pria itu tak mengatakan apa pun lagi. Menunggu dan perlahan Leon pun mulai terlelap. Aleta membuka mata dan melihat layar ponselnya yang menyala.

Kepala Aleta bergerak ke samping, Leon tak bergerak ketika ia berusaha menyingkirkan lengan pria itu dari perutnya dan meraih ponselnya.

Ada tiga panggilan tak terjawab dan satu pesan dari nomor yang sudah tak tersimpan di kontaknya, tetapi ia sudah menghafal deretan nomor itu di luar kepala.

Bastian?

Aleta membuka pesan singkat pria itu. ‘Aku sangat berharap kau mempertimbangkan penawaranku, Aleta.’

Kebimbangan Aleta semakin menjadi. Ia menggigit bibir bagian dalamnya. Napas Leon yang berhembus di belakangnya mengalihkan lamunannya. Sesaat ia melihat wajah pria itu yang diselimuti ketenangan. Tak ada ketegangan ataupun ketajaman di sana.

Lama ia menatap wajah tampan tersebut. Sedikit kemiripan yang mengingatkannya pada wajah Bastian. Ia tak bisa terjebak di tengah perang saudara ini. Mungkin …

‘Beri aku waktu untuk memikirkannya.’ Akhirnya Aleta mengetikkan balasan tersebut. Yang langsung dibalas oleh Bastian hanya dalam hitungan detik.

‘Ya, tentu saja.’

Aleta mengembuskan napasnya. Panjang dan pelan. Mungkin ini bukan pilihan yang terbaik. Mungkin pilihannya akan mengecewakan keluarganya. Tapi ini adalah keputusan paling berani yang pernah diambilnya di sepanjang hidupnya. 

*** 

Baca cepat di Karyakarsa

 Part 27 Ke Mana Pun Akan Pergi
Part 28 Kehidupan Baru Dimulai

Dan selamat datang tahun baru 2024. Full sukses dan full bahagia

Bukan Sang PewarisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang