8 Cinta Anna

1.1K 181 11
                                    

Part 8 Cinta Anna

Hanya sesaat bibir Leon dan Anna saling bersentuhan ketika pria itu melepaskan kedua lengan sang sepupu dari lehernya.  Membuat wanita itu mencebik tak suka akan penolakan Leon.

"Kenapa? Kau tak butuh hiburan untuk malam pengantin barumu yang menyedihkan?" Telapak tangan Anna menyentuh dada telanjang Leon. Tetapi lagi-lagi mendapatkan penolakan sebelum bergerak mengelus untuk menggoda pria itu. Pun begitu tak mencegah tatapan takjubnya akan keseksian tubuh Leon yang setengah telanjang. "Tidak butuh?"

"Apa yang kau lakukan di sini, Anna?"

Anna tak tertarik menjawab pertanyaan Leon. Wajah wanita itu berputar dan pandangannya terhenti pada pakaian yang berserakan di sekitar sofa. "Jadi siapa yang menghangatkanmu tadi malam?"

"Pertanyaan apa itu, Anna. Dengan siapa lagi aku harus menghabiskan malam pengantin baru jika bukan dengan istriku?"

Ekspresi di wajah Anna seketika membeku. Menatap keseriusan di raut Leon dengan penuh ketidak percayaan. "Tak mungkin dengan si cacat itu, kan?"

Keseriusan tatapan Leon membuat amarah Anna tak bisa ditahannya. Kepalanya berputar, mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan dan langsung menemukan Aleta yang duduk di kamar mandi. 

"Keluarlah, Anna. Kau …" Leon nyaris menangkap lengan Anna yang berjalan ke arah kamar mandi dengan langkah besar-besar. Membanting terbuka pintu kamar mandi.

Amarah di wajah Anna seketika meluap di seluruh raut wanita itu menemukan Aleta yang setengah telanjang dan duduk di meja wastafel. Dan tak mungkin gadis cacat itu naik ke sana seorang diri. Gemuruh kecemburuan semakin tak tertahankan dengan kissmark yang tampak jelas di kulit leher Aleta. Bahkan di sekitar dada gadis itu yang tak sepenuhnya tertutupi oleh selimut. 

"Kau benar-benar meniduri gadis cacat itu?" Suara Anna penuh emosi ketika Leon berhasil menyusulnya. Menyentakkan lengannya keluar dari kamar mandi.

Wajah Aleta yang memerah tertunduk dalam dengan cecaran Anna. Merapatkan pegangannya pada selimut di dadanya.

"Kau mabuk?" Suara Anna bergetar, dipenuhi emosi. "Kau tak pernah semabuk ini, Leon. Pikiranmu yang tak waras."

Wajah Leon mulai menggelap. Sentakannya di lengan Anna cukup kuat hingga membuat wanita itu tersentak kaget akan sikap kasarnya, dan ia tak peduli. "Kau melewati batasanmu, Anna," desisnya tajam. "Urusan ranjangku sama sekali bukan urusanmu."

"Tubuhnya jelas tak lebih seksi dariku dengan kakinya yang lumpuh. Bagaimana mungkin dia mampu membangkitkan gairahmu …"

"Cukup, Anna!" geram Leon dengan tatapan yang menggelap. Menusuk tepat kedua mata Anna. Pegangannya pada tangan Anne terlepas dan tangannya terangkat, menunjuk ke arah pintu. "Keluar. Sekarang juga."

Amarah Anna membeku. Semburat ketakutan mulai muncul di rautnya. Leon belum pernah semarah ini padanya, dan tentu saja kemarahan itu berhasil membuatnya ketakutan. Memaksa kedua kakinya berjalan menyeberangi ruangan. Menahan kedongkolan di dalam dadanya. Yang sekarang bercampur kebencian yang begitu besar pada Aleta.

Bagaimana mungkin seorang Anna Thobias dikalahkan oleh gadis cacat seperti Aleta? Ia tak bisa menerima penghinaan ini!

Mata Leon terpejam dengan suara bantingan pintu yang mengenyahkan sosok Anna dari pandangannya. Kelancangan sepupunya itu benar-benar sudah melewati batasan. 

Aleta sempat tersentak pelan dengan luapan amarah Anna pada pintu kamar hotel. Kepalanya terangkat, melihat Leon yang menggusurkan jemari di kepala dengan penuh kegusaran.

Konflik keluarga Leon memang begitu rumit. Mulai dari sang mama, Bastian, dan bahkan affair Jacob Thobias di masa lalu yang membuat Maida begitu cemas akan posisi Bastian. Hanya saja, ia tak pernah menyangka Anna ternyata mencintai Leon. Sepupu wanita itu sendiri.

"Kau terkejut?" Pertanyaan Leon menyela pandangan Aleta yang masih tertuju ke arah pintu.

Aleta merapatkan mulutnya. Tak menjawab adalah pilihan yang paling aman dengan amarah yang masih memekat di kedua mata Leon. Pria itu berjalan masuk, berhenti tepat di hadapannya.

Sesaat mengunci pandangan Aleta, sebelum kemudian menyentakkan selimut di dada sang istri dan membawa tubuh Aleta ke bath up yang sudah dipenuhi air hangat dan taburan kelopak bunga mawar merah di permukaannya.

*** 

Sejak kejadian pagi itu, Leon menjadi semakin beringas meniduri Aleta. Cecaran dan hinaan Anna seolah menjadi pemicu hasratnya akan tubuh Aleta. Dan kepasrahan Aleta menjadi seperti bensin yang ditumpahkan ke dalam kobaran gairahnya.

Setiap kali Aleta menolak keinginannya, sedikit ancaman akan membuat gadis itu tak berkutik. Dominasi yang membuatnya semakin menginginkan sang istri.

Ini adalah hari ketiga keduanya menghabiskan sepanjang hari di hotel. Seharian penuh selama 24 jam nyaris sama sekali tak berpakaian. Dan ia juga tak mengijinkan Aleta untuk berpakaian. Jika gadis itu berusaha berpakaian, maka ia hanya perlu merobek dan menyetubuhi gadis itu lagi.

Dengan mega proyek yang harus ia menangkan dalam dua minggu ke depan, ia tak bisa pergi berbulan madu keluar kota, apalagi keluar negeri seperti yang ditawarkan sang tante pada mereka. Jadi ia memutuskan untuk bermalam di hotel selama seminggu penuh.

Siang itu, sang mertua sekaligus tantenya menghubungi pihak hotel untuk memberitahu akan naik untuk menjemput Aleta. Membawa gadis itu pergi ke rumah sakit untuk menjalani terapi kaki.

Leon terpaksa mengijinkan meski yakin dengan pasti sang mertua sengaja mengganggu acara bulan madunya tersebut karena masih belum menerima pernikahan mereka.

"Sudah siap?" Pertanyaan Monica begitu lembut ketika melihat Aleta yang mendorong kursi roda keluar dari kamar mandi. Berubah total ketika menatap Leon yang duduk menunggu di sofa.

Leon memahami kebencian tersebut. Mengingat betapa berantakannya ranjang mereka. Juga pakaiannya dan Aleta yang ada di dalam koper yang digeletakkan di samping sofa santai. 

Bukan rahasia jika sang tante menyayangi Aleta seperti putri kandung sendiri. Dan menjadi semakin sensitif setelah Aleta mengalami kecelakaan.

Wanita paruh baya itu akan menjadikan dirinya sebagai tameng jika ada yang berani menyentuh Aleta.

"Saya benar-benar punya waktu luang untuk …"

"Tidak perlu." Untuk keempat kalinya Monica menegaskan penolakannya akan tawaran Leon. Membungkuk di meja di depan Leon untuk mengambil tas Aleta. Memeriksa isinya sejenak sebelu melanjutkan jawabannya. "Tante lebih terbiasa direpotkan oleh Aleta dibandingkan terbiasa oleh pernikahan kalian."

Senyum Leon membeku dengan tatapan sinis Monica. Yang berjalan melewatinya dan kemudian berjalan ke belakang kursi roda Aleta. Mendorong sang putri keluar dari ruangan kacau tersebut.

"Apakah dia menyakitimu?" Itu adalah pertanyaan pertama Monica begitu keduanya masuk ke dalam lift. Kecemasan di wajahnya begitu pekat, dengan telapak tangan yang menyentuh ujung kepala Aleta.

Aleta melengkungkan senyum untuk menenangkan sang mama lalu menggeleng. "Tidak, Ma."

Monica tak yakin dengan jawaban tersebut, meski begitu tetap mengangguk dan berkata, "Jika dia membuatmu tersiksa, kau harus mengatakannya pada mama, Aleta. Mama dan papamu akan melakukan apa pum untuk menolongmu."

Aleta mengangguk, dengan senyum yang lebih lebar.

*** 

Sesaat Leon tercenung menatap pintu kamar yang tertutup. Senyum di wajahnya masih membeku akan kepergian Aleta dan Monica. Yang kemudian enyah dan wajahnya berubah datar. Ia pun akan terbiasa dengan sikap dingin Monica. Toh ketidak sukaan wanita paruh baya itu tidak akan mengusiknya meski sejujurnya ia lebih menyukai Monica dibandingkan mamanya sendiri atau tante Maida.

Tangannya meraih ponselnya yang tergeletak di meja, menghubungi salah kaki tangannya.

"Matt?" panggilnya begitu sambungannya terhubung. "Aku ingin kau mencarikan informasi untukku."

"Kecelakaan Aleta Ege, sekitar enam atau tujuh bulan yang lalu," tambahnya lagi. "Dan aku ingin tahu apa yang dilakukan Bastian pada hari itu."

Leon mengangguk setelah mendengarkan jawaban dari seberang. Menurunkan ponsel dari telinga dengan senyum yang kembali menghiasi bibirnya. Akan sangat menarik jika ia bisa menemukan bukti CCTV, batinnya dengan senyum yang berubah menjadi seringai. 

*** 






Bukan Sang PewarisWhere stories live. Discover now