44. Baby Lucien

916 177 5
                                    

Part 44 Baby Lucien

Leon menatap wajah Aleta yang dibasahi oleh peluh. Rintihan, erangan, jeritan serta ringisan di wajah Aleta membuatnya seluruh tubuhnya membeku. Membuatnya merasa begitu tak berdaya melihat rasa sakit yang tengah dialami oleh sang istri.

Tangannya diremas oleh Aleta, hingga buku-buku jari gadis itu memutih. Akan tetapi, ia sama sekali tak merasakan apa pun meski kuku panjang Aleta menusuk dan meninggalkan bekas yang dalam di sana. Rasa sakit yang ia dapatkan dari cengkeraman Aleta jelas tak bisa dibandingkan dengan rasa sakit yang mendera perut sang istri. Yang tengah berjuang melahirkan buah hati mereka berdua.

Dokter dan perawat tak berhenti mengarahkan Aleta untuk mengatur napas. Kapan saatnya untuk menahan dan mengembuskannya. Dan kapan saatnya untuk mengejan.

Fokus Leon hanya pada wajah Aleta yang memucat dan basah oleh keringat. Salah satu telapak tangannya yang bergetar mengusap kening Aleta. Tanpa ada sepatah kata pun yang lepas dari bibirnya. Tak tahu apa yang harus dilakukannya.

Aleta mengerang lebih keras, mengerahkan seluruh tenaganya yang tersisa. Menambah cengkeraman di tangan Leon hingga suara tangis bayi bergema memenuhi seluruh ruang persalinan tersebut.

Kepala Aleta jatuh terlunglai di bantal. Dengan napas yang terengah panjang. Leon menoleh ke arah dokter yang langsung membersihkan bayi mungil yang mulai tenang tersebut, membungkus dengan kain biru dan membawa bayi laki-laki tersebut ke pelukan sang ibu.

“Bayinya sangat tampan, seperti papanya,” puji dokter Tyas dengan senyum ramahnya. Memosisikan bayi mungil tersebut tengkurap di dada Aleta. Yang langsung mendapatkan posisi nyaman dan berhenti menangis.

Pandangan Aleta dan Leon segera berganti pada bayi mungil yang mulai memejamkan mata. Aleta melepaskan tangannya dari telapak Leon, menyentuhkan ujung jemarinya dengan lembut di pipi sang putra. Air mata merembes di kedua matanya akan kebahagiaan yang teramat besar yang memenuhi dadanya hingga terasa sesak. 

Leon hanya membeku. Seluruh tubuhnya seperti tak bisa digerakkan melihat bayi mungil yang memiliki replika wajahnya tersebut. Tak mempercayai apa yang ada di hadapannya.

Pertama kalinya mengetahui bahwa Aleta tengah mengandung anaknya, ia sangat tercengang. Tetapi melihat anaknya. Darah dagingnya tersebut kini benar-benar nyata dan ada di hadapannya. Bisa ia dengan suara tangisannya. Dan bahkan ia bisa menyentuhnya. Ini sangat jauh dari yang diperkirakannya. Membuatnya dicengkeram keterkejutan yang teramat besar.

*** 

“Benar-benar Leon junior.” Monica tak berhenti mengatakan sang cucu yang memiliki wajah replika dari sang menantu. Bahkan tak butuh dilakukan tes DNA untuk membuktikan bahwa cucunya adalah anak kandung Leon. “Seperti Jendra yang mirip denganmu, kenapa tak ada wajah Aleta di sana? Setidaknya biar terlihat sedikit manis.”

Nirel hanya tersenyum tipis.

“Apakah wajah Aleta mirip dengan ibunya?”

Nirel memberikan satu anggukan tipis. “Tapi terkadang mirip denganmu.”

Monica mendengus tipis meski wajahnya dihiasi semburat merah. “Aku tahu kau berbohong, tapi aku suka mendengarnya,” kikiknya sembari menyandarkan kepala di pundak sang suami.

Senyum puas Leon tersungging mendengarkan percakapan kedua mertua di belakang punggungnya. Lirih, tapi ia bisa mendengarnya dengan jelas. Saking bahagianya dengan kelahiran putranya, membuat wanita itu mengabaikan kekesalan yang biasa ditunjukkan untuknya.

“Jadi kau tak berbohong,” bisik Leon sembari menurunkan kepala, lebih dekat ke arah Aleta. “Dia anakku.”

Aleta mengalihkan pandangannya. Wajah Leon yang pucat dan tampak begitu tak berdaya ketika berada di ruang persalinan, perlahan sudah kembali dingin dan datar. Untuk apalagi pria itu memperjelas fakta ini. Hanya Leon yang pernah menidurinya. 

Bukan Sang PewarisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang