37. Merelakan

699 139 3
                                    

Part 37  Merelakan

Tangan Aleta sudah terjulur, hendak meraih pakaian apa pun untuk menutupi ketelanjangannya ketika pintu dibanting dari luar, terjemblak sepenuhnya dan Bastian berdiri di ambang pintu.

Pandangan keduanya bertemu, tubuh Bastian membeku menatap wajah sepucat mayat Aleta. Duduk di ranjang dengan salah satu tangan berada di dada. Menahan selimut demi menutupi ketelanjangan gadis itu. Kepalanya menggeleng pilu, menyaksikan pemandangan yang selalu berhasil memporak-porandakan perasaannya.

Wajah Aleta tertunduk dalam, tak tahan dengan tatapan penuh luka yang terpampang di wajah pucat Bastian. Bahkan pria itu masih mengenakan pakaian rumag sakit dan seharusnya masih berada dalam pengawasan intens dokter setelah operasi besar. Entah bagaimana pria itu bisa sampai di tempat ini dan melihatnya dalam keadaan memalukan seperti ini.

“Sepertinya kalian butuh bicara,” sela Leon. Membelah keheningan menyesakkan antara Aleta dan Bastian. Berdiri bersandar pada pinggiran pintu dengan kedua tangan menyilang di dada. Seringai licik tersungging penuh kepuasan di ujung bibirnya. “Lima menit,” pungkasnya kemudian berjalan pergi.

Bastian menggeram, kepalanya menoleh ke arah Leon yang berjalan menuju pantry. Hanya dengan mengenakan celana karet. Tak perlu meraba lebih jauh kenapa pria itu setengah telanjang seperti itu. Sama dengan keadaan Aleta saat ini.

Kedua tangannya terkepal kuat, mengabaikan rasa sakit dari bekas jarum infus yang ia tarik secara paksa sebelum menyelinap ke tempat ini. Ya. hanya ini satu-satunya tempat Aleta akan berada.

Tetapi ia menahan diri untuk tidak menerjang ke arah sang sepupu, kembali beralih pada sang kekasih yang masih membeku di atas tempat tidur. “Kenapa kau membawaku kembali?” Suara Bastian lirih. Sangat lirih tetapi hatinya menjerit keras oleh cabikan yang semakin menghancurkan dadanya.

Aleta mengangkat kepalanya perlahan. Menatap kedua mata biru Bastian yang tampak pucat. Meyiratkan kesedihan yang begitu dalam. “A-aku tak punya pilihan, Bastian.”

“Kau punya banyak pilihan, Aleta. Kecuali kembali ke sini.”

Aleta menggeleng dengan pilu. Menggigit kuat bibir bagian dalamnya demi menahan lelehan air matanya jatuh ke tepi. “Kau tahu aku tak punya pilihan Bastian.”

Bastian membeku.

“Kalau saat itu kau tidak keluar untuk membelikanku …” Kalimat Aleta terhenti. “Semuanya sudah berakhir, Bastian.” Suara Aleta semakin melirih. Tak ingin menyalahkan Bastian atau membuat pria itu merasa bersalah. “Semua suah berakhir,” ulangnya.

“Lalu apa semua yang sudah …”

“Itu hanyalah pemaksaan kita. Hanya kita yang belum bisa menerima semua yang sudah terjadi. Aku sudah menikah, kita berdua menyadari itu. Hanya saja kita mengabaikan semuanya.”

Bastian kembali dibuat membeku. Tak ingin menerima semua ini begitu saja. 

“Semua sudah selsai, Bastian.” Aleta mengangguk. Menahan irisan yang semakin menyayat dadanya. Kata-kata itu bukan hanya untuk Bastian, tetapi juga untuk dirinya sendiri. Semua memang sudah selesai. 

Bastian menggeleng tak terima. 

“Sudah selesai?” Leon kembali. Senyumnya semakin mengembang melihat kepucatan yang sangat jelas bahkan hanya dilihat dari sisi wajah sang sepupu.

Bastian menggeram. Bersamaan dengan emosi yang tak lagi bisa ia bendung di dadanya. Kepalan tangannya melayang ke wajah Leon. “Berengsek kau, Leon. Kau mengancamnya, kan?”

Leon tentu saja sudah memperkirakan gerakan tersebut. Ilmu bela diri Bastian jelas tak melebihi yang dikuasainya. Ditambah kondisi Bastian yang lemah, tentu saja hanya butuh satu tangannya untuk menahan pukulan tersebut. Leon menyentakkan tinju Bastian dengan mudah. “Kalau pun aku mengancamnya, sepertinya itu juga bukan urusanmu, kan? Dia istriku dan anak yang ada di dalam kandungannya anakku. Kaulah yang sedikit tidak tahu diri, Bastian.”

Bukan Sang PewarisWhere stories live. Discover now