17. Masa Lalu Kisah Cinta Segitiga

737 155 11
                                    

Part 17 Masa Lalu Kisah Cinta Segitiga

Aleta hendak turun dari tempat tidur ketika teringat kursi rodanya yang sengaja ditinggalkan Leon di bagasi mobil. Satu-satunya pakaiannya yang terlihat ada di lantai tengah ruangan, entah bagaimana bisa terlempar ke sana.

Ia menarik tubuhnya terduduk, mempertahankan selimut tetap menutupi dada sembari tak melepaskan pandangan dari pintu kamar mandi yang masih tertutup rapat. Dengan kesunyian yang terlalu mencekam.

Aleta hanya menunggu, dengan benaknya yang tak berhenti bertanya-tanya akan apa yang dilakukan pria itu di dalam sana. Suara gemericik air sudah berhenti sejak sekitar setengah jam yang lalu. Tengah malam pun sudah lewat.

Ceklekk …

Suara pintu yang didorong terbuka mengalihkan lamunan Aleta. Pandangan mereka saling bertemu saat langkah Leon sempat tersendak.

Pandangan Aleta bergerak turun, melihat perban yang sudah membebat telapak tangan kanan Leon. Rambut pria itu masih basah, meneteskan sisa-sisa air ke pundak dan dada telanjang pria itu. Handuk melingkari pinggang pria itu, yang kemudian ditanggalkan ketika Leon bergabung ke tempat tidur. Menyelinap ke balik selimut.

“Tidurlah. Kita pulang saat pagi,” ucap Leon, berbaring memunggungi posisi Aleta.

Aleta tak mengatakan apa pun, ikut berbaring dengan posisi saling membelakangi. Ia berusaha memejamkan mata, memancing rasa kantung untuk datang.

*** 

“Kenapa mobil Leon tidak ada? Bukankah Monica bilang mereka sudah pulang?” Yoanna menatap sang suami yang baru saja mematikan mobil. Tak menemukan mobil sang putra di carport ataupun di halaman paviliun.

Lionel melompat turun, menghampiri sang istri yang masih sibuk mencari keberadaan mobil sang putra. “Dia sudah dewasa, Yoanna. Biarkan dia pergi ke mana pun mereka suka.”

“Apakah mereka bermalam di apartemen?”

“Mungkin.” Lionel merangkul Yoanna dan membawa sang istri masuk ke dalam rumah. Melintasi ruang tamu dan langsung masuk ke dalam kamar tidur utama. “Kau terlihat kesal,” gumamnya. Melepaskan dasi kupu-kupu dan jasnya sembari menghampiri sang istri yang duduk di kursi rias. Mulai melepaskan perhiasan di rambut, telinga, leher dan kedua tangannya.

“Maida. Dan juga Anna. Kenapa anak itu begitu keras kepala? Leon saudara seayahnya,” gerutu Yoanna dengan kekesalan yang semakin bertumpuk. “Untuk saja Leon sudah pulang. Tak perlu mendengarkan racauan Anna yang semakin melantur.”

“Kau tak mencemaskan Maida menyadari kejanggalan ini.”

Yoanna terdiam sejenak. Menatap pantulan wajah sang suami yang berdiri di belakang dengan kedua tangan memegang pundaknya. Lalu ia berputar, menghadapi wajah Lionel secara langsung. “Aku tak peduli. Yang kupedulikan hanya Leon.”

Lionel tak langsung menjawab, tatapannya lebih dalam menilai raut Yoanna. “Lalu bagaimana denganmu? Apakah kau masih menginginkan Jacob?”

Yoanna mendengus tipis. “Pertanyaan apa itu, Lionel? Kita sudah menikah 32 tahun. Apa yang harus tersisa pada pria yang sudah mencampakkanku? Yang mengatur pernikahanku dengan temannya sendiri, padahal dia tahu aku sedang mengandung anaknya. Dan dia melakukan semua itu atas nama tanggung jawab? Karena tak berani melepaskan pertunangannya dengan kakakku sendiri.”

Tangan Lionel bergerak merangkum wajah cantik sang istri. Menatap langsung kedua mata Yoanna yang tampak bercahaya, meski di usianya yang sudah mencapai setengah abad. Ya, kisah segitiga yang memberi luka terlalu dalam pada istrinya tersebut akan sikap ketidaktegasan Jacob pada kakak beradik tersebut.

Bukan Sang PewarisWhere stories live. Discover now