45. Leon Atau Bastian?

587 142 4
                                    

Part 45 Leon Atau Bastian?

Leon sempat tercengang dengan keberadaan Yoanna dan Monica yang saling berhadapan dan menatap ke arahnya dengan wajah pucat pasi. Dan hanya butuh satu detik baginya untuk menguasai amarah yang menyemburat di kedua mata, menampilkan raut sedingin yang biasa ia lakukan pada kedua wanita paruh baya itu.

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Leon berjalan melewati keduanya. Langsung ke meja resepsionis untuk mempertanyakan panggilannya pada sang dokter yang tak kunjung ditanggapi.

“Leon?” Yoanna menyentakkan lengan Monica yang berusaha mencegahnya untuk berbuat nekat. Tapi ia jelas tak peduli. Meski Leon mengusirnya dan mengatakan tak ingin melihat wajahnya seperti yang selalu dikatakan sang putra. Ia akan mencobanya. Berkali-kali hingga hati sang putra luluh.

Langkah Leon sama sekali tak berhenti, Yoanna berlari mengejar. Berhasil menangkap lengan sang putra dan akhirnya pria itu berhenti. 

“Lepas,” desis Leon tajam, tanpa repot-repot menoleh ke arah sang mama.

Yoanna malah melangkah ke depan sang putra. “Kenapa mama tidak boleh ada di sini? Kau boleh marah pada mama, tapi anak Aleta adalah cucuku. Kau tak berhak melarangku.”

Bibir Leon menipis keras. Tatapannya yang sedingin es menusuk tepat pada kedua manik sang mama. “Kau bahkan tak berhak menganggapnya sebagai seorang cucu,” desisnya menyentakkan pegangan Yoanna dan melanjutkan langkahnya menuju meja resepsionis. Tetapi sebelum ia sampai di tempat yang dituju, dokter sudah gegas menghampirinya. Meminta maaf akan keterlambatan tersebut karena baru saja menangani pasien di lantai lain.

“Ya, itu normal. Rahim masih melakukan kontraksi untuk kembali ke bentuk semula. Selama tidak demam, pendarahan berlebih, kesulitan bernapas atau pun sakit kepala yang hebat. Rasa tak nyaman di perut atau jalan lahir memang normal untuk ibu yang berada dalam masa nifas,” jelas dokter Tyas setelah memeriksa Aleta.

Sedangkan Aleta, perempuan hanya menunduk malu. Semua keluhan yang dikatakannya hanyalah dalih agar Leon tidak keluar. Yang malah berakhir sia-sia dan mempermalukan dirinya sendiri seperti ini.

Tatapannya bertemu dengan sang mama yang berdiri di ujung ranjang. Memberikan satu anggukan tipis, bahwa mama Leon sudah pulang.

Dokter Tyas masih bicara dengan Leon. Mempertanyakan beberapa hal tentang keadaannya. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk pemulihan dan lain sebagainya yang ada hubungannya dengan persalinannya.

“Apakah semuanya baik-baik saja?” tanya Aleta lirih pada sang mama.

Monica hanya memberikan satu gelengan pilu dan helaan rendah.

Aleta tak bertanya lagi. Dokter Tyas sudah berpamit pergi dan Leon juga kembali mendekat.

*** 

Sore itu, Aleta kedatangan tamu asing ketika mama dan papanya berpamit pulang dan akan kembali esok pagi. Tidak sepenuhnya asing karena mereka sempat bertemu di pesta pernikahan Bastian dan Berlian.

Julia. Teman atau entah siapa Leon. Keduanya memang tampak seakrab itu. Setelah mengucapkan selamat pada Aleta dan melihat putra mereka, Julia lebih banyak bicara dengan Leon yang duduk di ujung ranjang pasiennya. Dan keberadaan Aleta semakin terlupakan saat Julia tanpa sengaja menangkap lukas cengkeraman yang cukup dalam di punggung tangan Leon.

"Bukan apa-apa." Leon menyembunyikan telapak tangannya. 

Julia mendekat dan kembali meraih tangan Leon. Sedikit memaksa dan memeriksa luka tersebut. 

Tatapan Aleta ikut mengarah pada punggung tangan Leon. Seketika memucat menyadari bahwa luka itu adalah perbuatannya. Dan tak menyangka lukanya akan terlihat semengerikan itu. Bekas tancapan kukunya begitu dalam. Bahkan ada bekas darah yang mengering di sana.

Bukan Sang PewarisWhere stories live. Discover now