5. Cinta Yang Tersembunyi

963 156 15
                                    

Part 5 Cinta Yang Tersembunyi

Acara yang diadakan Maida Thobias tak pernah tak berhasil. Pernikahan Leon dan Aleta mendapatkan sambutan yang meriah dari para tamu undangan. Tak hanya ucapan selamat membanjiri keluarga tersebut, decak kagum akan kemewahan pernikahan serta acara resepsi sepanjang hari terus berdendang di telinga Maida, Yoanna, dan Monica. Tentu paling lebar tentu saja hanya ada di wajah Maida. Di balik senyum yang melengkung di wajah Yoanna, ada kekecewaan yang masih melekat di kedua mata wanita itu setiap kali menatap ke arah pelaminan, terutama pada Aleta.

Pujian akan kebesaran hati Leon yang mempersunting gadis cacat itu sama sekali tak menghiburnya. Malah menumpukkan rasa malu yang semakin menggunung di dalam dadanya.

Seorang Leon Ezardy, seorang pria cerdas dengan karir yang sempurna. Lengkap dengan penampilan sang putra yang begitu tampan dan gagah. Sekarang harus disandingkan dengan gadis cacat, yang tak memberikan apa pun selain mencoreng nama baik keluarga mereka.

“Kau menatapnya seolah dia adalah pembawa sial untuk Leon?” Nada sinis Monica mengalihkan perhatian Yoanna dari pelaminan. Membalas tatapan sang kakak dengan raut dingin.

Yoanna hanya mendengus. “Ya, jika Leon pembawa keberuntungan untuk anak tirimu itu, tentu saja dia adalah pembawa sial untuk kehidupan putraku yang sudah sempurna.”

Mata Monica menghujam tajam pada sang kakak. “Sempurna? Kau yakin hidupnya seperti yang kau katakan?”

Yoanna mendelik, tak kalah menusuknya dengan sang adik. “Apa maksudmu?”

“Jika hidupnya memang sesempurna itu, kenapa dia harus menyanding nama belakang suamimu?” Ujung bibir Monica menyeringai. Menyerang kakaknya dengan tembakan yang tepat. Keangkuhan di wajah sang kakak seketika berubah sepucat mayat. “Kenapa dia harus bersembunyi di balik kecacatan putriku untuk melindungi identitas dirinya sendiri?” lanjutnya dengan kepuasan yang semakin memenuhi wajahnya.

“Tutup mulutmu, Monica,” desis Yoanna, mengedarkan pandangan ke sekeliling mereka. Memastikan tak ada siapa pun yang mencuri dengar pembicaraan mereka. secara sengaja atau pun tidak. Bibirnya menipis tajam dengan tatapan mengancam dan kegugupan yang mulai merambati dadanya.

“Pastikan saja kau memperlakukan putriku dengan baik, Yoanna. Jika tidak, aku tak yakin apa yang akan kukatakan saat lidahku tergelincir.”

“Dia bahkan bukan putrimu, Monica. ”

“Dia putriku,” tandas Monica mengoreksi. “Hanya tidak lahir dari rahimku saja.”

Yoanna tak membalas. Kedongkolan tampak jelas di wajahnya sebelum berpaling dan berjalan pergi meninggalkan sang adik. Yang bahkan lebih membela putri tirinya ketimbang dirinya sebagai seorang kakak. Kakak kandung wanita itu sendiri.

*** 

Menjelang tengah malam, acara baru saja selesai. Aleta meninggalkan ruang pesta lebih dulu. Dengan bantuan sang adik, Jendra. Aleta diantar ke ruang ganti. Sudah ada penata rias dan rambut yang membantunya melepaskan semua pakaian dan segala perhiasan yang membuatnya merasa seperti boneka. Menyisakan cincin pernikahan yang melingkari jari manisnya. Yang sudah akan ia lepaskan ketika pintu ruangan kembali terbuka.

Aleta pikir, Leonlah yang melangkah masuk. Tetapi wajahnya membeku menemukan Bastianlah yang berjalan mendekatinya. Bau alkohol tercium pekat ketika pria itu berhenti di sampingnya. Menyandarkan tubuh pada meja rias, menatapnya dengan tatapan yang sulit gadis itu artikan. Hanya menatap, dalam kebisuan untuk beberapa detik yang cukup lama.

“Apa yang kau lakukan di sini, Bastian?” Aleta yang tak tahan dengan keheningan tersebut, memulai pembicaraan lebih dulu. “Kau tak seharusnya ada di sini.”

Bastian tak langsung membalas. “Kau terlihat cantik, seperti yang kubayangkan dengan gaun itu.” Pundaknya mengedik pada gaun pengantin yang sudah diletakkan di sofa panjang.

“Tak sesempurna itu. Aku tidak berjalan dengan kedua kakiku.” Kesinisan Aleta sama pekatnya dengan tatapan gadis itu.

Kesedihan melintasi kedua mata Bastian. Sikap sinis dan kebencian yang ditunjukkan Aleta, ia memang berhak mendapatkan semua itu dari Aleta. “Kupikir aku akan baik-baik saja dengan pernikahan ini, tapi …”

“Apa pun yang kau pikirkan dan kau rasakan saat ini, semua itu bukan hal yang perlu kudengar darimu, Bastian. Bahkan dengan kedua kakiku yang sempurna, aku masih tak cukup pantas untuk bersanding di sisimu. Penerus seorang Jacob Thobias. Pewaris tahta Thobias Group. Aku hanya seorang Aleta Ege. Yang tak pernah diinginkan oleh siapa pun.”

Sekali lagi kata-kata Aleta berhasil mengena di hati Bastian. “Aku masih menginginkanmu, Aleta.”

Aleta menatap kedua mata Bastian. Perasaan itu masih tersirat di manik biru pria itu, tetapi ia tak akan tertipu. Bastian dan Leon masih saling bersaing. Dan posisinya saat ini sebagai istri Leon, tentu ikut berperan dalam tatapan pria itu.

“Apakah kau masih mencintaiku?”

Aleta tak langsung menjawab, “Apakah kakiku yang patah masih belum cukup untuk dijadikan bukti?”

Bastian terdiam. Ya, kaki Aleta yang patah karena gadis itulah yang menyelamatkan dirinya dari kecelakaan. “Sekarang?”

“Masih,” jawab Aleta. Dengan kejujuran yang tak perlu ditutupi sebelum melanjutkan. “… tapi tidak sebesar dulu. Dan aku yakin akan semakin memudar seiring berjalannya waktu.”

Sekali lagi jawaban Aleta membuat Bastian sempat membeku. “Aku masih mencintaimu,” ucapnya sembari merendahkan tubuhnya. Mendekatkan wajahnya ke wajah Aleta.

Aleta memiringkan, membuat bibir Bastian mendarat di pipinya. “Keluarlah, Bastian. Berlian akan mencarimu.”

Bastian membeku, dengan bibir yang masih menempel di pipi gadis itu. Ujung bibirnya melengkung, membentuk senyum sedih yang begitu dalam. Wajah Aleta masih berpaling darinya ketika ia menegakkan punggung. “Meski tak tak pernah bisa menampilkannya di depan umum, kau tahu hanya kau wanita yang ada di dalam hatiku, Aleta. Tak pernah berubah, hingga detik ini.”

Aleta berharap itu membuat perasaannya lebih baik. Tetapi kata-kata itu hanya menunjukkan bahwa rasa malu Bastian terhadap dirinya tak lebih kecil dari perasaan cinta pria itu untuknya. Bagaimana mungkin rasa cinta yang pernah begitu membahagiakan, ternyata juga mampu memberikan siksaan yang sedalam ini. “Aku juga berharap hanya kita berdua yang tahu tentang perasaanmu yang sangat tulus itu, Bastian.” Kesengitan masih terselip di antara suaranya yang dingin. “Dan kita akan menguburnya di masa lalu.”

Bastian tak membalas. Sekali lagi menatap sisi wajah Aleta yang masih tak ingin menatapnya. Sebelum kemudian berjalan ke arah pintu.

Di balik pintu yang sedikit terbuka, Leon bersandar di pinggiran pintu dengan kedua tangan bersilang dada. Seringai jahat tersungging di ujung bibirnya ketika Bastian melangkah keluar. Mata biru gelapnya menyiratkan kelicikan ketika menatap punggung Bastian yang semakin menjauh.

Seorang Bastian Thobias yang ia tahu begitu angkuh, ternyata masih memiliki hati. Yang bahkan mampu mencintai.

***

Next part udah up di Karyakarsa ya. Sampai part 22. Upa setiap hari. Yang pengen baca lebih cepat bisa ke sana.

Part 6 Malam Pertama

Bukan Sang PewarisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang