39. Amarah Leon

715 150 4
                                    

Part 39 Amarah Leon

Yoanna tak berhenti meremas kedua tangannya dengan gugup di depan pintu putih. Berjalan mondar-mandir dengan kecemasan yang memucatkan wajah cantiknya. Suara sepatu hak tinggi yang beradu dengan lantai bergema di lorong yang sunyi tersebut. Telapak tangannya mulai basah oleh keringat, setiap detik terasa seperti mencengkeram dadanya dengan lebih keras. Sesekali tangannya merogok sapu tangan di dalam tas untuk menyeka pelipisnya yang berkeringat. Cemas akan apa yang terjadi dengan sang menantu.

Pintu yang terbuka segera membekukan langkahnya, kedua kakinya gegas menghampiri wanita yang mengenakan jas putih yang baru saja keluar.

“Apa yang terjadi dengan menantu saya, Dok?” cecarnya pada sang dokter. Kedua tangannya memegang lengan dokter Tyas, nyaris mencengkeram dengan napas yang setengah tersengal.

Dokter Tyas mengambil kedua tangan Yoanna, menggenggam dengan lembut demi menenangkan kecemasan wanita paruh baya tersebut. Senyum melengkung lebar saat menjawab dengan lembut. “Ibu dan janin, semuanya baik-baik saja, Nyonya. Sepertinya menantu Anda hanya syok.”

“Apakah dia sudah bangun?”

“Kita hanya perlu menunggu. Dengan kondisi vitalnya yang baik dan normal, seharusnya tidak menunggu lama.”

“Kandungannya?”

“Detak jantungnya kuat. Gerakannya juga aktif. Semuanya baik-baik saja.”

Yoanna menghela napas penuh kelegaan. 

“Anda sebaiknya menemani di dalam. Jika sewaktu-waktu menantu Anda bangun, ada yang menemani.”

Yoanna mengangguk. Dokter Tyas pun berpamit pergi. Tepat ketika Yoanna baru saja duduk di kursi di samping ranjang pasien, pintu ruang perawatan tersebut kembali terbuka dan Monica berjalan masuk dengan langkah terburu. Menemukan sang kakak dan putrinya yang berbaring di ranjang dengan mata terpejam.

“Apa yang terjadi? Aku baru saja bicara dengannya ketika tiba-tiba kau menghubungiku dan ada di rumah sakit.” Suara Monica terdengar penuh kekesalan.

Yoanna hanya menggeleng dengan pilu, gurat penyesalan masih menggarisi seluruh permukaan wajahnya. “Aku tak tahu. Saat aku keluar dari butik, dia sudah tidak ada. Aku sudah menghubungi ponselnya dan kupikir dia sedang ke toilet sebentar. Tapi panggilanku tidak diangkat dan aku mencarinya ke sana. Aku menemukannya sudah pingsan di lantai toilet.”

“Kau tahu dia sedang hamil, Yoanna. Bagaimana mungkin kau melepaskan pandangan darinya?” Kekesalan Monica semakin kental. “Kenapa kau tak becus menjaganya? Apa yang dikatakan dokter?”

“Semuanya baik-baik saja. Hanya syok.”

“Tidak ada pendarahan?”

Yoanna menggeleng pelan.

“Kau sudah menghubungi Leon?”

Yoanna terdiam sejenak sebelum menggeleng dengan lebih pelan. “Dia tak akan mengangkat panggilanku, Monica. Jadi aku menggunakan ponsel Aleta untuk mengabarkan hal ini.”

Monica mendesah dengan kasar. “Lain kali, kupastikan kau tak membawanya ke mana pun, Yoanna.”

Wajah Yoanna semakin membeku. “A-apa?”

“Aku tak mungkin mempercayakan dia padamu lagi. Aku tak setolol itu untuk membahayakan putriku di tanganmu.”

“Kenapa aku tak boleh mengajaknya jalan-jalan? Dia menantuku.”

“Yang kau pedulikan hanya anak dalam kandungannya saja,” tandas Monica dengan tegas. “Jika yang dia kandung anak Bastian, kau tak mungkin bersikap seperti ini.”

Bukan Sang PewarisWhere stories live. Discover now