Bagian Dua Belas

278 28 0
                                    

Mark memeriksa dari atas ke bawah. Sea sendiri terus berjalan sampai depan pintu. Ia tidak memedulikan kehadiran pemuda di dekatnya tersebut. Ia tidak mau digoda.

"Tumben."

"Apa sih, Kak Mark."

Mark bisa mencium wewangian dari kemeja berwarna biru laut yang adiknya itu pakai.

"Kamu mau ke mana? Sama siapa? Kalian mau berbuat apa? Pulang jam berapa?"

Sea menatap malas. Mark bertingkah sangat berlebihan sekarang. "Adikmu ini sudah besar, ya."

Mark berjalan menuju kulkas. Ia mengambil sebotol air dingin dan meminumnya tiga kali tegak, lalu berkata, "Walau sudah besar, Kakak harus tetap berjaga-jaga. Apalagi adikku yang manis ini 'kan masih 'ting-ting'."

Sea melemparkan sebuah sandal, kesal mendengar ucapan kakaknya. "Pikiranmu kotor sekali. Aku mau ke taman bermain, bukan menyerahkan keperjakaanku pada orang lain."

Mark mengedikkan bahu. "Siapa tahu, Dek."

Sea mulai mengomel. "Pagi-pagi sudah bikin emosi. Kak Mark tuh, ya."

Mark mendekat. Ia memperbaiki kondisi kerah baju yang menurutnya agak kurang rapi. "Kamu bilang pengin diperhatikan."

"Lho, Kakak juga yang bilang supaya aku jadi anak yang mandiri."

Sang kakak mengalah. "Sudah, sudah. Jangan membuang tenaga yang tidak perlu. Kamu mau berkencan hari ini."

Sea menelengkan kepala. Mark merapikan kembali poni pemuda itu yang berantakan karena ulahnya sendiri. "Aku cuma menemani temanku."

"Iya, Kakak percaya, kok."

Mark melepas kepergian adiknya dengan perasaan hangat. "Yang penting, orang itu baik buatmu. Sudah cukup. Kakak tidak mau kamu sakit hati lagi."

"Sudah kubilang, dia bukan kekasihku."

"Pergi sana."

Sea memanyunkan bibir. "Aku membencimu, Kak Mark."

"Aku menyayangimu."

***

Perasaan Jimmy belum benar-benar membaik. Ia tidak ingin datang ke tempat ini sebetulnya, tetapi ia sudah terlanjur membuat janji. Apalagi, dia yang meminta pemuda manis itu menemaninya.

Tidak mau dianggap sebagai orang yang tidak tahu cara berterima kasih, Jimmy memutuskan tetap datang. Sekarang, ia sedang menunggu kedatangan Sea.

Tak lama setelahnya, ia bisa melihat seorang pemuda yang tampak familiar berlarian ke arahnya. Jimmy memaksakan sebuah senyum kecil.

"Maaf ya, aku datang terlambat. Kakakku yang cerewet terus-terusan mengganggu."

Sea begitu menyesal, ia tidak bisa datang tepat waktu. Ia merasa bersalah karena sudah membuat pria itu menunggunya sangat lama.

Jimmy menggelengkan kepala. "Tidak apa-apa. Awalnya, kukira kamu tidak akan datang. Syukurlah, aku menunggu lebih lama lagi tadi."

Ia sempat berpikir, jika Sea tidak datang, maka ia akan pulang. Ia tidak memiliki minat berpergian saat ini. Ia tidak ingin apa-apa.

Mendengar perkataan barusan, Sea makin merasa tidak enak hati.

"Ayo masuk. Aku tidak sabar ingin naik banyak wahana yang mendebarkan." Jimmy memaksakan diri. Ia berbohong di hadapan pemuda itu.

Meski begitu, Sea yang awalnya sangat bersemangat, mulai menyadari ada yang tidak beres dengannya.

Ini seperti Jimmy-lah yang dipaksa menemani Sea bermain. Terlihat seolah-olah Sea yang meminta sangat keras.

Setiap menaiki satu wahana, jika anak yang lebih muda bertanya, menyenangkan atau tidak permainan yang mereka coba, Jimmy hanya menganggukkan kepala. Begitu terus sampai jam makan siang datang.

Saat makan pun sama. Biasanya, Sea akan melihat ekspresi bahagia dari wajah Jimmy ketika menikmati makanan yang baru pertama kali ia makan sebagai sosok manusia normal. Akan tetapi, kali ini ia tidak melihat raut wajah itu.

Sebelumnya, Jimmy mengatakan tentang rasa makanan yang hambar. Sea yakin sekali makanan yang mereka makan sekarang sangatlah enak. Pemuda itu justru terlihat seperti tidak tertarik mencicipinya. Jimmy cuma bermain-main dengan sendok dan sumpit.

Mereka berniat melanjutkan. Sea mengajak Jimmy masuk ke rumah hantu, tetapi pria itu mengatakan tidak ada yang lebih mengerikan dibandingkan melihat kematian sendiri. Di situ, Sea merasa ia yang salah karena mengajak orang yang pernah mati masuk ke tempat yang jelas tidak akan menakutkannya.

Di wahana berikutnya, Sea meminta Jimmy agar naik bianglala. Melihat keindahan kota di atas langit, mungkin saja bisa memperbaiki mood-nya. Tapi, Jimmy bilang naik bianglala paling enak saat malam hari. Sekarang belum saatnya.

Jika terus mengeluh, mungkin terdengar seperti Sea yang terlalu bawa perasaan di sini. Mungkin terlihat seperti ia yang sibuk menyalahkan, tetapi Jimmy-lah yang mencari-cari alasan supaya mereka segera selesai.

"Ayo, kita pulang saja," kata Sea jengkel.

Jimmy menoleh. "Kamu tidak menikmatinya?"

Ditanya seperti itu, amarah Sea hampir meledak. "Aku yang harusnya bertanya. Kamu ada masalah apa? Kalau tidak mau ke taman bermain, mendingan bilang saja dari awal. Aku... demimu, mempersiapkan diri sebaik-baiknya, tahu."

Wajahnya memanas, Sea hampir meneteskan air mata. Ia sangat kesal melihat tingkah pria di hadapannya itu. "Kalau sedari awal kamu memang tidak berniat, aku juga tidak perlu berusaha terlalu keras. Kamu tidak menghormatiku."

Sea tidak tahu kenapa ia menjadi sangat cengeng begini. Ia marah. Ia kesal karena Jimmy seperti terlihat tidak peduli. Sea mencela dirinya sendiri.

"Sea, aku minta maaf. Jangan menangis, ya. Aku yang salah karena tidak bisa bersikap profesional. Aku malah membawa masalah pribadi saat kita berdua sudah membuat janji."

Jimmy panik bukan main saat pemuda manis itu mulai terisak. Jimmy berusaha menghiburnya.

"Maafkan aku, ya. Aku berjanji tidak akan mengulanginya. Kita bisa menaiki wahananya mulai dari awal lagi kalau kamu mau."

"Tidak perlu, kita pulang saja."

Sea sudah tidak tahan. Ia ingin pulang sekarang. Berlama-lamaan dengan Jimmy membuat dadanya sesak. Ia ingin meninggalkan hantu berwajah tampan itu sendirian.

Jimmy langsung membawa tubuh pria yang lebih muda darinya ke dalam pelukannya. Sea tidak berusaha melawan, tetapi Jimmy bisa merasakan pemuda itu lelah dengannya.

"Aku tidak akan beralasan lagi, Sea," katanya pasrah.

Setelah tenang, Sea menghapus jejak air mata di pipi. Ia meminta Jimmy mengakhiri kegiatan mereka. Pria itu hanya menuruti. Mereka pulang sambil diam-diaman.

Jimmy tidak tahu bagaimana cara berbaikan. Ia bingung mencari bahan obrolan dengan pemuda di sampingnya itu. Biasanya, ia tidak perlu khawatir kehabisan ide memulai pembicaraan, karena Sea selalu bertanya banyak hal.

Namun, sepertinya Jimmy sudah merusak hari-hari yang indah miliknya. Sea tidak mau berbicara sama sekali sejak selesai menangis tadi.

Sampai di tepi jalan, Sea meminta berpisah lebih dahulu. Jimmy tidak tahu bagaimana mencegah agar Sea tidak segera pergi. Ini tidaklah benar. Ia tidak mau hubungan mereka memburuk.

Ia mengejar pemuda manis itu. Menarik pergelangan tangan Sea sehingga ia berbalik ke arahnya. Jimmy menarik tengkuk anak yang lebih muda, lalu mencium bibir Sea tanpa permisi.

Mata pria di depan terbelalak. Tubuh Sea membatu saking terkejutnya. Bukan memperbaiki masalah, Jimmy justru semakin menciptakan kesalahpahaman.

***
Tbc

you are the star in my lifeWhere stories live. Discover now