Bagian Dua Puluh Tiga

241 28 0
                                    

"Kamu tidak merindukanku?"

Sea tidak memerlukan jawaban. Ia bisa melihat pada sepasang mata milik Jimmy yang memandang penuh kerinduan. Pemuda manis itu menerjang tubuh kecilnya, lalu mencium bibir Jimmy tanpa memberi kesempatan untuk bernapas sejenak. Hanya ciuman satu pihak. Sea berusaha mendominasi di sini.

Pria yang lebih tua membiarkan si adik kecil melakukan apa yang ia mau. Jimmy akan menunggu sampai sejauh mana Sea bisa melakukannya. Ia akan menunggu sampai pemuda di depan merasa puas.

Setelah selesai, Sea bertingkah seolah-olah ia tidak bersalah. Jimmy tersenyum usil. "Kalau kulihat lagi, sepertinya kamu yang lebih mendambakan pertemuan kita."

Sea memukul perut Jimmy main-main. "Apa maksudmu? Aku tahu kamu sedang merajuk saat ini, tidak mau makan dan merepotkan pegawaimu, Paman Hantu."

Pria yang dibicarakan terkikih. Ia menarik tengkuk pemuda manis itu supaya mendekat sekali lagi. "Aku juga rindu padamu."

Ia membalas ciuman tadi. Kali ini, lebih panas dan intim dari sebelumnya. Ia ingin mengajarkan Sea cara melumat bibir seseorang dengan benar.

Sea melenguh disela ciuman panas mereka. Ia memang tidak terlalu pintar soal beginian. Ia memuji bagaimana Jimmy bisa membalikkan situasi dengan mudah. Sea terkurung di bawah kuasanya. Ia-lah yang didominasi oleh pria tampan itu pada akhirnya.

Bagian atas dan bawah bibir dihajar habis-habisan. Kalau tidak ingat pintu kamar tidak terkunci, Sea rasa mungkin saja Jimmy baru mau berhenti setelah membuat bibirnya bengkak lebih dahulu.

Jimmy menjilat sisa air liur yang masih mengalir di dagu Sea. Ia kemudian tersenyum menggoda. "Enak 'kan ciumanku?"

Sea menggelengkan kepala tidak percaya. "Dasar."

Pemuda manis itu merapikan penampilan, dan melanjutkan, "Sudah, ayo pergi ke bawah. Kamu harus makan. Berhenti merajuk, Paman Hantu. Sadari usiamu yang sudah tidak muda."

"Aku mau makan, jika kamu perbolehkan aku mencium bibirmu lagi," jawab Jimmy. Ia jadi ketagihan.

Sea menatap malas. "Jangan membuatku kesal. Cepatlah!"

***

Sesudah makan malam--yang sebetulnya tidak bisa disebut makan malam, mereka kembali ke kamar. Jimmy cuma memakan dua belah roti dan minum secangkir cokelat hangat tadi, tetapi Sea cukup merasa senang. Setidaknya pria itu mau menurut.

Ia mengambil secarik kertas berlukiskan wajahnya di nakas. Goresan pensil yang digambarkan oleh Jimmy terlihat begitu indah.

"Kamu pasti sangat menyukaiku."

Jimmy menjawab, "Entahlah. Saat memikirkanmu, aku diam-diam membayangkan wajahmu di atasnya."

Senyum manis, poni yang tergerai lucu. Anting bulat di telinga, dan tidak lupa bibirnya yang berwarna kemerahan. Tanpa ia tahu, tangannya bergerak sendiri menggambarnya.

"Aku minta maaf," kata Sea menyesal.

Mendengarkan ucapan tersebut, Jimmy tidak tahan. Ia meminta si pemuda manis mendekat, dan membawanya ke dalam dekapan.

"Jangan berbicara sedih begitu. Aku ikut sakit."

Sea berbicara, embusan napasnya menggelitik dada pria yang lebih dahulu beranjak dewasa. "Aku merendahkanmu. Aku mengucapkan kata-kata tidak pantas sembarangan."

Jimmy mengusak surai halus miliknya gemas. Ia mengecup lembut dahi pemuda manis itu.

"Aku hantu yang cukup kuat, kok. Kata-kata seperti itu tidak akan melemahkanku. Tapi, aku tidak suka melihatmu berkecil hati. Aku akan kecewa, Sea. Mari lupakan saja, ya."

Jimmy sudah bahagia, karena mereka bisa mengobrol bersama. "Terus meminta maaf hanya merendahkanku. Aku tidak mau."

"Tapi, aku yang salah."

Sea belum bisa memaafkan dirinya sendiri. Ia berbuat tidak pantas kepada seseorang yang sangat baik. Padahal di masa lalu maupun saat ini, Jimmy tetap menjadi orang yang sama.

Jimmy menjelaskan, "Aku juga bersalah. Memang benar kejadiannya saat itu, aku tidak akan menutup mata. Aku pernah membunuh. Dan, itu fakta."

Sea ingin memeluk tubuh Jimmy lebih lama. Ia tidak tahu bagaimana perasaan Saeng kepada Puen. Ia merasa kasihan. Padahal cinta yang keduanya miliki sama besar.

"Aku akan lebih menyukaimu. Aku tidak ingin bahagia sendirian, kalau bukan denganmu, Paman Hantu."

Ia menatap wajah pria tampan itu dengan mata bulatnya yang cantik. "Aku mencintaimu. Amat sangat mencintaimu."

Jimmy tersenyum. Mereka menghabiskan waktu sambil berbincang-bincang mengenai banyak hal. Tidak sadar, malam sudah semakin larut.

Anak yang lebih muda pamit undur diri. Ia harus pulang. Jimmy memintanya menginap, tetapi Sea bilang ia merasa tidak enak kepada Mark yang mungkin sudah menunggu lama.

Berat hati, sang hantu tampan mengikhlaskan kepergiannya. Sea menenangkan sambil mengatakan bahwa mereka masih bisa bertemu di restoran seperti biasa. Jimmy setuju, dan mengantarkan pemuda manis sampai depan pintu. Namtan sudah menunggu.

Ia akan mengantarkan Sea. Sesaat, Jimmy menemukan alasan supaya mereka bisa lebih berlama-lamaan. Ia meminta ikut.

Namtan menggerutu sebal. "Kamu menambah bebanku, Pak."

Jimmy memandang dengan wajah datar. "Jangan banyak omong, antarkan saja kami. Aku mau tahu alamat rumah Sea. Tidak adil 'kan kalau cuma dia yang pernah datang berkunjung."

Sang asisten bertanya, "Kamu ingin bertamu malam-malam begini? Belum puas menyiksa Sea?"

"Siapa yang bilang mau masuk? Melihat rumahnya dan bertamu adalah hal yang berbeda, Nona Namtan. Makanya dengarkan kalau orang sedang berbicara," jawab Jimmy sewot.

"Kamu bahkan bukan manusia, Pak."

Sea tertawa melihat pertengkaran mereka. Keduanya cerewet dan tidak mau mengalah satu sama lain.

"Kalau berisik, kuturunkan di jalan pokoknya."

"Siapa yang bos di sini?"

"Kamu menggajiku, bukan membelikan sebuah mobil. Itu juga hal yang berbeda asal kamu tahu, Pria Tua."

Jimmy memutuskan mengalah. Ia tidak mau lanjut berdebat. "Terserah, deh. Cepat jalan sana, Sea perlu istirahat."

"Yang menggangunya 'kan kamu."

"Hahaha."

Mereka pergi meninggalkan kediaman. Namtan mengantarkan Sea sampai depan rumah. Setelah mengucapkan terima kasih atas tumpangan barusan, pemuda manis itu pun masuk.

Tersisa Jimmy dan pegawai terdekat satu-satunya yang ia miliki di mobil.

"Menginap saja di rumahku. Aku ingin sarapan steik buatanmu besok pagi."

Namtan menganggukkan kepala. "Baiklah, Pak."

***

Selama perjalanan pulang.

"Aku jatuh cinta kepada Sea."

Perempuan yang sedang mengemudikan mobil melirik sebentar, dan kembali melanjutkan tugasnya.

"Itu bukan hal baru, aku sudah tahu," balas Namtan.

Jimmy menarik napas panjang sebelum melanjutkan arah pembicaraan mereka menjadi lebih serius.

"Bukan soal Sea saja, tetapi perempuan 'itu', Nona."

Yang diajak bicara kebingungan. "Masalahnya di mana? Karena kamu jatuh cinta bukan kepada satu orang lagi?"

Menurutnya sangat aneh. "Kamu bahkan belum menemukan keberadaannya di zaman ini, Pak. Apa yang bisa kamu lakukan kalau hatimu berlabuh kepada Sea? Tidak ada, bukan?"

Jimmy terlalu ambil pusing. Perasaan tidak mudah dikendalikan. Mau sekeras apa pun mereka menolak.

"Apa tidak apa-apa?" tanya Jimmy kurang yakin.

Namtan memutar bola mata malas. "Jatuh cinta bukanlah sebuah dosa."

***
Tbc

you are the star in my lifeWhere stories live. Discover now