Bagian Tiga Puluh Tujuh

159 14 2
                                    

Tidak ada beda antara manusia dan binatang. Mereka diperlakukan dengan buruk oleh orang-orang. Pernah ada kasus di mana seseorang dari kelompoknya dipaksa memakan kotoran manusia, bahkan meminum air bekas cucian kaki. Sementara orang-orang tertawa bahagia, sebagian yang lainnya mengalami penghinaan tiada terkira.

Saat hidup sebagai putra bangsawan bernama Puen, ia tidak pernah melalui situasi menyesakkan seperti itu. Setiap kali melihatnya, Mu merasa jantungnya hampir meledak karena tidak kuat menahan luka.

Tidak tahan lagi, Mu memutuskan pindah dan tinggal di tepi hutan. Di sebuah tempat sepi dan jauh dari orang-orang, dengan resiko kejahatan yang tidak kalah besarnya.

Akan tetapi, ia rasa itu jauh lebih baik daripada mendapat semua penyiksaan tidak beralasan seperti sebelumnya.

Mu membangun rumah gubuk dari bambu dan hidup berdua dengan adik perempuan satu-satunya yang ia punya. Namanya Yipa. Ibu kandung mereka meninggal setelah melahirkan, sementara sang ayah menyusul tidak lama setelahnya. Saat terjadi perang, keduanya melarikan diri bersama semua anggota suku ke daerah pedalaman meninggalkan pusat kota.

Segala pelecehan yang diterima mulai terjadi, tak lain dan tak bukan dikarenakan mereka jauh dari perlindungan pemerintah. Namun, semua sudah berlalu. Hidup harus terus dijalani, bukan?

Nasi sudah menjadi bubur. Tidak ada yang perlu disesalkan lagi.

Dua tahun sudah, umur Yipa hampir mencapai lima belas tahun. Mu sendiri adalah pria dewasa berusia sekitar dua puluh tujuh tahun lebih saat itu. Mereka kini tinggal bersama seorang perempuan yang ditemukan Mu jatuh tidak sadarkan diri saat hampir diperkosa oleh sekelompok bandit.

Beruntung, ia yang sedang dalam perjalanan pulang setelah menangkap ikan di sungai, menyelamatkan perempuan seumuran dengan ibu kandung mereka tersebut. Lalu, beliau mengambil peran orang tua untuk Mu dan juga Yipa.

Sebagai satu-satunya pria di keluarga, Mu harus menghidupi adik dan ibu angkatnya. Dia sering masuk ke dalam hutan untuk menangkap hewan dengan tujuan dibawa pulang sebagai bahan makanan. Bertaruh banyak hal, Mu berusaha melakukan yang terbaik agar tetap hidup.

***

Suatu hari, saat sedang menangkap kelinci hutan, Mu terlibat perkelahian kurang menyenangkan dengan beberapa prajurit penjaga. Mereka menyakini bahwasanya kelinci yang ia tangkap barusan adalah milik tuan mereka.

Memang benar, ada bekas luka dari anak panah ditubuh kelinci itu. Tapi, Mu lebih dahulu mendapatkannya. Dia tidak mau mengalah.

"Orang kecil sepertimu tidak seharusnya melawan, kami bisa membunuhmu di sini tanpa orang lain tahu."

Mu jelas tidak terima. "Aku hanya mempertahankan apa yang menjadi hak milikku. Kalian yang seenaknya mengambil kesimpulan."

"Beraninya kamu, dasar orang rendahan."

Mu berteriak keras sekali. "Aku tidak takut sama sekali. Lawan aku kalian kalian berani."

Saat itu, angin bertiup kencang. Udara dingin menyapa kulit gelap Mu yang tertutupi baju compang camping layaknya seorang gelandangan. Tercium aroma lembut yang terasa tidak asing di indra penciuman pria itu.

Suara langkah kaki kuda perlahan mendekat. Mu langsung menoleh tanpa banyak bertanya. Dia sudah menunggu dari lama, tidak mungkin tidak menunjukkan antusiasme yang cukup besar pada situasi sekarang.

Gadis seumuran Yipa--mungkin saja lebih tua tiga tahun darinya, duduk di atas kuda didampingi beberapa prajurit yang menjaga, berjalan ke arah Mu dan orang-orang itu.

Mu bisa menebak siapa sosoknya dengan sangat mudah. Pertemuan ini sudah seharusnya terjadi. Mu tersenyum kecil saat melihat rupa gadis cantik itu.

Kamu akhirnya menemuiku juga di kehidupan saat ini, Saeng.

you are the star in my lifeWhere stories live. Discover now