Bagian Sembilan Belas

229 23 0
                                    

Sea mendudukkan satu boneka beruang kecil berwarna cokelat di depannya. Ia memandang boneka sambil cemberut.

"Kamu tahu tidak, siapa sebenarnya si perempuan bernama Saeng itu?"

Ia berceloteh seorang diri pada pukul dua pagi begini. Tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan banyak hal.

"Pertama, Paman Hantu. Kedua, Ohm. Apa aku melakukan kejahatan tidak bisa dimaafkan di masa lalu, sampai mendapatkan karma bertemu dua pria aneh seperti mereka?"

Mimpi-mimpi yang terus muncul di kepala membuat anak itu menggila. "Jawab dong, Beruang! Jangan diam saja."

Sea menidurkan tubuhnya terlentang. Ia menarik selimut sampai menutupi sebatas perut. "Bisakah kali ini, aku memimpikan sesuatu yang indah?"

Kalau berbicara jujur, ia merasa lelah dengan semuanya. Pemuda manis itu menutup mata rapat, bersiap memulai petualangan yang tidak akan bisa dijelaskan oleh akal sehat. Petualangan ajaib di dalam mimpi yang terasa mendebarkan.

Waktu berjalan mundur ke belakang, Sea dibawa kembali pada suatu era yang sangat jauh, di mana semua kisah itu bermula.

***

"Beri aku kesempatan, ya."

Cinta yang dimiliki sang pria sungguh besar. Sea tidak mengerti, alasan mengapa perempuan asing itu terus menolak kehadiran Puen di sisinya.

Sea bisa mendengar suara tawanya yang lembut. Bagi seorang perempuan dari kalangan bawah, dia memang terlalu anggun.

"Berhentilah, Tuan."

Puen menatapnya dengan mata yang tampak sedih. "Kamu tidak mencintaiku?"

"Bagaimana hamba yang hina ini mengharapkan dicintai seorang pria berkelas sepertimu? Hamba tidak memiliki hak."

Puen memegang tangan lentiknya. Ia menyatukan miliknya dan kekasih hati menjadi satu-kesatuan.

"Jangan bicara seperti itu. Jangan merendahkan diri sendiri. Jangan membuatku merasa seperti tidak menghargaimu."

Suara selembut sutra itu menjawab sepelan mungkin, agar tidak ada orang lain yang mendengar. "Beginilah kita, Tuan. Ada jarak yang sulit ditembus di antara kita berdua. Kamu seharusnya lebih tahu."

Satu hal yang Sea syukuri, mereka kembali berbicara lebih santai. "Aku tidak memandangmu begitu."

"Tapi, status sosialmu yang tinggi itulah yang sulit kugapai."

Puen menggelengkan kepala. "Aku tidak peduli. Aku hanya mencintaimu seorang. Tidak ada yang lain, dan tidak berlebih. Hanya kamu satu-satunya yang selalu kupikirkan di hatiku."

Perempuan itu melepaskan genggaman tangan mereka. "Aku yang peduli di sini."

"Saeng."

Apa?

Puen menyebut perempuan asing itu dengan nama apa tadi? Saeng?

Mimpi membingungkan apalagi ini? Sudahlah tidak indah, hanya berisi kesedihan sedari tadi. Lalu, ia masih dipaksa berpikir keras. Sea mengutuk dirinya sendiri. Kenapa kalian bertiga muncul di kepalaku? Apa yang kalian mau dari hidupku?

"Aku sudah merasakan banyak luka. Aku tidak ingin pria sebaikmu merasakan hal yang sama."

"Aku bisa menahan semuanya."

Saeng menahan Puen agar tidak melangkah lebih jauh. Mereka benar-benar harus berhenti di tempat ini. Tidak boleh ada kisah yang terjalin lagi.

"Tidak bisa, Tuan. Jatuh cinta kepada perempuan sepertiku, bisa merendahkan martabatmu. Apa kata orang saat mengetahui perempuan itu pernah menikah, dan ditinggalkan oleh suaminya yang sudah mati?"

Benar, Sea melupakan yang satu ini. Min atau Ohm di masa lalu adalah suami Saeng yang suka melakukan kekerasan fisik.

Apa Puen jatuh cinta kepada perempuan yang sudah bersuami? Tapi, Saeng mengatakan suaminya sudah meninggal. Apa yang membuat cinta mereka terhalang?

Lebih dari itu, Sea bersyukur saat mendengar kabar pria jahat itu telah tiada. Tidak di masa lalu, tidak di masa sekarang, keduanya sama-sama memuakkan. Untuk Ohm, di kehidupan lamamu, kamu lebih buruk lagi.

Peun bertanya, "Apa kita tidak boleh bersama?"

Saeng menarik napas pelan. Ia menjawab, "Tidak bisa, Tuan. Kami para perempuan yang sudah menikah, dituntut mencari pembenaran di bawah kaki suami kami sendiri, bahkan setelah kematiannya. Jika para pria dewasa boleh menikah lagi setelah ditinggal mati sang istri, kami para perempuan tetap harus berbakti, sepanjang hidup kami."

Puen terlihat menangis. Sea tidak tahu, di kehidupan ini, pria itu ternyata jauh lebih lembut.

Ia sedang membicarakan sosok Jimmy. Pada dasarnya, mereka orang yang sama, bukan?

"Aku tidak tahan melihatmu terus bersedih, Saeng. Luka yang pria itu berikan, tidak akan bisa hilang dengan mudah. Jika tidak memberimu seluruh cinta, bagaimana caraku menghapusnya sampai tak bersisa?"

Saeng tertawa bahagia. Batin wanita mana yang tidak akan tersentuh, bisa dicintai sebegitu indahnya oleh seorang pria seperti Puen ini, coba?

Sea saja ikut merasakan sakit hati setelah mendengar ucapannya barusan. Dia begitu peduli pada Saeng.

"Inilah takdir yang harus kutanggung sendirian, Tuan," jawab Saeng lembut.

Ia menghapus air mata yang mengalir di pipi gembil pria tampan itu. "Doakan saja, aku tidak menemui jalan buntu di perjalananku mencari arti kehidupan. Doakan aku tetap sehat, dan bisa tersenyum sepanjang hari. Tidak ada lagi yang memukul tubuhku sampai memerah kesakitan, jadi Tuan tidak perlu khawatir."

Ia melanjutkan, "Dengan begitu, aku akan balas mendoakan segala kebaikan buatmu. Semoga dilapangkan hatimu yang sedang terluka. Semoga diberi umur panjang. Semoga dipertemukan dengan perempuan yang bisa lebih mencintaimu, bukan orang rendahan sepertiku."

Puen menggigit bibir menahan isak tangisnya agar tidak kembali keluar. "Tapi, hanya kamu perempuan yang kucinta. Tidak bisakah aku menjadi sosok 'Tuan Ananada' di dalam hidupmu, Saeng? Aku akan mencintaimu sebagaimana ia mencintai sang istri, 'Bidungra'," pintanya.

Saeng memegang pipi yang masih basah milik Puen. "Sudah kukatakan, kisah seperti itu hanya terjadi satu kali saja. Mari kembali ke kenyataan dan menerima keadaan begini apa adanya."

"Saeng... aku sangat menyukaimu. Benar-benar menyukaimu."

"Hmm?"

Saeng berpikir sejenak. Apa yang harus ia lakukan untuk menenangkan pria yang sedang patah hati ini? Saeng menemukan sebuah jawaban.

"Jika kamu benar-benar menyukaiku. Mari berharap, supaya kita dipertemukan sebagai sepasang kekasih yang saling mencintai, di kehidupan kedua kita nanti."

Di kehidupan ini, memang sulit bagi keduanya untuk bersatu. Ada tradisi, peraturan masyarakat yang mengekang kebebasan mereka secara ketat. Dengan semua yang Saeng miliki, ia tidak boleh egois merendahkan martabat pria yang telah berbaik hati kepadanya selama ini.

Putra seorang bangsawan lebih cocok bersanding dengan perempuan yang satu tingkatan, dan itu bukanlah Saeng.

***

Sea membuka mata, ia menemukan dirinya sudah berada di kamarnya.

"Mimpi yang tidak sesuai dengan kemauanku."

Sea memegang dada yang masih terasa nyeri. Perasaan tidak karuan, ia paham dengan apa yang dirasakan oleh mereka berdua.

Tapi, memikirkan dari sudut pandang mana pun, ia tetap merasa kasihan pada Puen.

Pemuda manis itu menatap gantungan tas pemberian Jimmy.

"Itu adalah kisah cinta tidak terbalas paling menyakitkan yang pernah kusaksikan, Paman Hantu. Aku merasa sangat kasihan denganmu."

Sea beranjak berniat membersihkan diri, sebelum menyadari ada sebuah memar berwarna kehitaman di pergelangan tangannya.

Luka ini muncul dari mana?

***
Tbc

you are the star in my lifeWhere stories live. Discover now