Bagian; O5.

145 42 0
                                    

Sama hal nya makan malam, keluarga Swastamita akan menyarap bersama dengan lauk yang dimasak Bi Summah.

Suasana rumah Ata begitu persis dengan udara diluar sana, dingin. Tak ada yang memulai pembicaraan, biasanya mereka hanya duduk, makan, lalu pergi memulai hari.

"Hari ini ada kelas tambahan, Swastamita?" ujar Johan, basa-basi. Padahal, ia sama sekali tidak peduli.

"Ada, Pa. Kelas kimia sama geografi."

"Jangan lupa bekal dari Bi Summah dibawa ya," sang ibunda menimpali.

Baiklah, mari kita sedikit membahas tentang kedua orang tua Swastamita.
Resa Adhiswara, istri sekaligus ibunda keluarga Swastamita. Resa adalah seorang designer terkenal, banyak brand-brand ternama yang sudah bekerja sama dengannya. Seringnya bolak-balik ke negeri luar, membuatnya jarang berada dirumah.

Lalu suami sekaligus ayah keluarga Swastamita juga tak kalah sukses karier nya. Sejak remaja, Johan sudah mulai belajar mengenai cara untuk mengelola saham keluarga. Posisinya sebagai pemilik saham tentu membuatnya sibuk sampai-sampai pernah tak pulang kerumah.

Maka jangan heran jika suasana antara Johan, Resa dan Ata sangatlah canggung. Bahkan Ata sendiri sudah terbiasa mengurus dirinya sendiri tanpa kasih sayang kedua orang tuanya.

Tiga buah piring berisikan nasi goreng itu sudah habis bersih. Ata bangkit, lalu menggendong tas.

"Pah, Mah. Ata pamit sekolah." Namum hanya anggukan yang ia terima dari orang tuanya. Sudah biasa bagi Ata.

Ata pergi diantar oleh supir pribadinya, Pak Jaka namanya. "Pagi, Pak! semoga perempatan lampu merah nanti nggak macet lagi," sapa Ata.

Dibanding dengan orang tuanya, Ata lebih dekat dengan Bi Summah dan Pak Jaka. Keduanya bahkan sudah menganggap Ata sebagai anak sendiri lantaran sudah dipertemukan sejak kecil.

"Semoga ya, Ta. Ata hari ini ada simulasi olimpiade matematika yaa?" Pak Jaka pun begitu hafal dengan jadwal keseharian Ata. Lagipula, hari-hari Ata hanya belajar ke sekolah, les, lalu pulang.

"Iya, Pak. Tapi Ata pulang sendiri juga nggak apa-apa, kok."

Ngomong-ngomong, Ia jadi teringat kejadian semalam. Oh, ya, jaket Aru pun ia masukan dalam tas. Ia khawatir jika Aru membutuhkan jaketnya.

Senyuman Aru begitu jelas terekam dalam benaknya. Ia sungguh menyukainya. Apalagi, ketika Aru tersenyum, secara otomatis matanya pun ikut melengkung membentuk senyuman.

Ah, sial.

Kenapa ia malah memikirkan Aru? padahal semenjak masuk mobil tadi, ia sudah membuka modul pelatihan.

Diam-diam Pak Jaka memperhatikan Ata. Sempat terheran lantaran biasanya, Ata akan fokus pada modulnya, tapi kali ini ia justru lebih memperhatikan jalanan diluar sana sembari tersenyum-senyum.

Mobil Ata memasuki lobi sekolah. Para netra itu kerap kali memandangi Ata dengan wajah tak mengenakan. Padahal, ini tahun keduanya bersekolah disini.

"Terima kasih ya, Pak Jaka."

Swastamita melangkahkan tungkainya, berjalan di lorong antara kelas-kelas. Kadang kala, siswa-siswa genit itu menyapanya. Sampai,

"SWASTAMITA SAYAAANGKU!"

Oh, pasti Haura. Suara melengking milik Haura jelas terdengar menggema di lorong. Nggak usah heran, karna urat malu seorang Haura sudah putus sendari lahir.

"Hau! diliatin orang-orang tau!"

Hau menggandeng Ata, "Biarin dong."

"Katanya hari ini nggak masuk?"

Aru; Rumah untuk Ata. Où les histoires vivent. Découvrez maintenant