Bagian; 15.

97 25 2
                                    

Motor vespa Aru memasuki perkarangan rumahnya. Di hentikannya mesin motor, "Ayo, turun."

Sementara gadis yang berada di jok belakang Aru celingak-celinguk kebingungan. Tunggu, sebentar. Kini, ia berada dirumah Aru? untuk apa?

Merasa Ata belum juga menurunkan kakinya, Aru lantas kembali berkata "Nggak apa-apa. Ayo turun."

Sampai Ata merasa yakin, ia turun dan menunggu Aru memarkirkan si bolis.

Dirinya tak pernah menyangka jika Aru akan membawanya kesini. Ata buru-buru merapihkan rambut serta seragamnya. Takut-takut jika penampilannya berantakan.

"Udah cantik," Aru menghampiri Ata, "Ayo."

Baru selangkah, Ata merasa ragu. Ia takut jika perlakuan keluarga Aru sama seperti keluarganya. Pikirannya kemana-mana. Apakah ia akan diterima baik-baik, atau justru sebaliknya.

"Hey, sini masuk."

Aru yang lebih dulu berada di ambang pintu, lantas kembali memanggil Ata.

Belum lagi melangkahkan kaki, wanita paruh baya keluar dari rumah Aru.

"Sudah pulang, nak. Loh, bawa gadis, toh." Bunda baru tersadar jika anak lanangnya membawa seseorang.

Dengan sigap, Ata menghampiri Ita, "Halo, tante.. saya, Swastamita.." kalimat Ata menggantung, apakah ia harus mengakui hubungannya dengan Aru, atau-

"Pacarku, Bun."

Sebenarnya, Ata terkejut dengan ucapan Aru yang jelas-jelas membeberkan hubungan ia. Bukankah akan menjadi masalah?

"Walah, pacarnya toh. Cantiknyaa kamu."

Namun nyatanya ia lebih terkejut mendengar respon Ita. Sang Bunda justru tampak bahagia memperhatikan keduanya.

"Saya Ita, bundanya Aru. Yuk, masuk," Ita mempersilahkan kedunya masuk.

"Iya, tante.."

"Eeh, jangan tante deh panggilnya. Bunda aja, nggak apa-apa kok."

Kini, Ita mendekati Ata. Berusaha membuat gadis itu nyaman. Ata dibuat canggung ketika Ita tanpa ragu memintanya untuk memanggilnya Bunda. Bahkan, ketika umur hubungannya dengan Aru baru dua hari. Bayangkan, dua hari. Bukan dua bulan apalagi dua tahun.

"Aru kamu ganti baju duluh gih, bau asem, ihh," ujar Bunda yang terdengar jahil.

Aru pun lantas menatap Ata, "Akur-akur ya sama Bunda, nggak gigit kok."

Ata masih belum terbiasa dengan situasi ini. Kini, ia duduk di ruang tamu rumah keluarga Gintari. Rumah bernuansa putih abu-abu menggambarkan kesan dingin, berbeda dengan suasana dirumah ini.

Sebuah foto keluarga terpajang ditengah dinding. Tampak keempat anggota keluarga itu tersenyum kearah kamera. Sebenarnya Ata pun memiliki foto keluarga yang terpajang di ruang tengah. Namun, kali ini rasanya berbeda. Bingkai foto itu terasa sangat hangat untuk di pandang. Terasa memancarkan kehangatan keseluruh sudut rumah ini.

Belum lagi, bingkai-bingkai kecil di nakas. Banyak sekali momen yang diabaikan oleh keluarga Gintari. Ata sedikit iri dengan apa yang ia lihat.

Sibuk melihat, membuat atensinya teralihkan. Sampai suara Ita kembali menyapanya, "Nak, yuk kita makan siang dulu."

Buru-buru Ata bangkit dari duduknya. Ia mengekori Ita sampai ruang makan. Dilihatnya Ita yang masih menyusun piring makan.

"Ata bantu, b-bun.."

Ita dengan senang hari tersenyum kearahnya, "Boleh dong, cantik."

Kini kedua perempuan itu tengah merapihkan meja makan. Ita bertugas menata lauk-pauk. Sedangkan Ata membersihkan piring serta alat makan. Ia beberapa kali memperhatikan bagaimana Bi Summah menata meja makan malam, maka dari itu ia dapat menirunya.

Aru; Rumah untuk Ata. Where stories live. Discover now