Bagian; O9.

121 37 1
                                    

"Nih, bawa semuanya."

Ia memberi Ata sekantung camilan yang masih tersisa. Pukul enam lewat tiga puluh menit, akhirnya mereka sampai di gerbang perumahan Ata.

Lagi, Aru merasa penasaran kenapa Ata selalu meminta mengantarkan dirinya hanya sampai gerbang.

"Makasih, ya."

"Eh, Ru. Jaket lo mas-"

"Simpen dulu aja sama lo, pake kalau pulang les malem lagi," Aru memotong.

"Gue balik ya, kalau ada apa-apa jangan sungkan hubungi gue."

Ata mengangguk tersenyum, "Makasih banyak, Aru."

Aru melambai sebelum akhirnya pergi.

Kali ini, Ata kembali menunggu Aru sampai hilang dari pandangannya. Hati nya begitu hangat karena Aru. Akhir pekan kali ini begitu berarti baginya. Pertama dari seumur hidupnya menikmati hari tanpa terus menerus membuka buku.

Sembari berjalan, Ata membuka ponselnya. Ia menggulir kontak mencari kontan Aru disana.

Sejenak ia pandang nomor itu. Lalu Ata mencari opsi untuk menghubungkan kontak Aru sebagai panggilan darurat. Mengingat
perkataan Aru tadi siang.

Ah, lihatlah senyum nya yang tak pernah luntur. Belum lagi jika melihat pipi Ata yang bersemu merah. Memang ini bukan kali pertamanya ia menyukai seseorang. Tapi setelah sekian lama akhirnya ia bisa merasakan kupu-kupu diperutnya lagi.

Mungkin belum sepenuhnya, ia masih berusaha untuk meyakinkan dirinya bahwa ia benar-benar jatuh cinta. Ia tak mau membuat dirinya sendiri kalang kabut akibat perasaan ini.

Selangkah kali menuju gerbang rumahnya, ia bisa merasakan udara dingin tak berkehidupan di dalam sana.

"Ata pulang."

"Dari mana kamu?"

Suara tegas itu menyambutnya. Tumben. Biasanya Johan akan pulang lebih malam dibanding dirinya. Apa yang harus ia katakan pada Johan?

"Habis evaluasi di tempat les, Pa." Ia menghampiri Johan diruang tengah.

"Tau apa kesalahan kamu?"

"Tau posisi kamu ditingkat berapa?"

"Papa tanya, kamu tau nggak?!"

Johan menggertak. Nada suaranya meninggi. Kemarin, Johan hanya diam setelah pulang dari rumah sakit.

Tadi pagi pun Johan dan Resa tampak masih tak peduli dengan kondisi Ata. Ata pikir, hal ini tidak di dihiraukan oleh Johan.

Ata menunduk, "Tau, Pa."

"Mana janjimu sama papa?! MANA PAPA TANYA?!"

"Kamu bilang bisa dapat nilai sempurna untuk olimpiade kali ini, MANA?! omong kosong!"

Nada suara Johan semakin meninggi, dia benar-benar membentak Ata. Membuat Ata mencengkram erat roknya.

"Kapan kamu bisa bikin Papa bangga, Ata?!"

Tubuhnya gemetar, ia benar-benar dibuat hancur pada saat itu juga. Harinya hancur karna Johan.

Baru kali ini Ata begitu dicaci maki Johan. Apakah Ata benar-benar membuat Johan begitu kecewa? Bukan seharusnya, Johan bisa melihat kondisi anaknya yang sedang sakit. Seorang ayah yang terlalu egois.

"Maaf, Pa. Ata janji.. di kompetisi selanjutnya.. bisa lebih baik.." Ia bicara sambil gemetar.

Johan mengambil langkah, mendekati dirinya pada Ata.

"Buat bangga Papa, dengan nilai sempurna, Swastamita." kata Johan dengan penekanan disetiap Kata.

Lalu ia melenggang, meninggalkan Ata yang gemetar habis dibuat olehnya. Padahal, diujung sana ada Resa yang melihat kejadian tersebut.

Tapi hati Resa layaknya batu. Tidak punya rasa keibuan bahkan kasihan pada anaknya sendiri. Ia hanya menatap Swastamita dalam diam disana.

"Bi summah, pastikan Ata makan sebelum tidur. Biar besok, dia tetap bisa sekolah. Jangan sampai sakit lagi. Kalau nggak, Johan pasti marah."

ujar Resa pada Bi Summah. Bi Summah mengangguk paham, ia lantas menghampiri Ata. Hatinya hancur ketika mendengar Ata habis-habisan dibentak.

"Neng, mari bibi antar ke kamar."

Bi Summah menuntun Ata sampai ke kamar. Ia menyiapkan air hangat sampai makan malam. Bi Summah melakukan semua perintah Resa, tapi baginya melakukan hal ini tulus berasal dari hatinya. Pertemuannya dengan Ata sejak kecil membuat rasa sayang kepada Ata begitu besar. Layaknya anak kandungnya sendiri.

Diam-diam Ata menangis saat Bi Summah menyiapkan air untuknya. Ia menutup mulutnya agar tidak ada satupun orang yang mendengar.

Ata begitu benci pada dirinya. Karna sampai sekarang ia belum bisa mendengar kata Bangga yang keluar dari mulut Johan. Sesulit itukah baginya?

Namun usahanya nihil, sekecil apapun suara tangisan Ata, Bi Summah tetap mendengarnya. Peka terhadap keadaan Ata, ia mengunci pintu kamar lalu menghampirinya. Ia peluk tubuh gemetar gadis itu. Ia rengkuh tubuh rapuh Ata.

Bi Summah mengelus rambutnya, "Cup.. cup.. cup. Ah kata bibi mah, Neng Ata udah keren banget. Hebat."

Ata menangis sejadi-jadinya. Di bahu Bi Summah, ia dapat merasakan hangatnya perasaan Bi Summah untuknya.

Malam ini, Johan melampaui batasannya. Biasanya ia tak pernah sampai membentak Ata. Paling-paling hanya berdiam seribu bahasa.

Johan yang meledak-ledak membentak Ata, Resa yang enggan ikut campur dan diam tak peduli. Komplit, kan? Iya, sangat.

Ata melepas rengkuhannya. Kedua manik cantiknya dipenuhi air mata. Uluran tangan Bi Summah membantu Ata meredakan tangisannya.

Ia berusaha untuk mengontrol diri dan, mencoba untuk baik-baik saja.

"Makasih selalu ada buat Ata ya, Bi."

"Bi Summah justru begitu bersyukur bisa selalu ada di waktu-waktu sulit kamu, Ta. Yuk, bilas dulu badannya, biar nggak demam lagi." ujarnya serasa mengusap punggung Ata supaya lebih tenang.

Ata mengikuti apa yang dibilang Bi Summah. "Air panas nya sudah disiapin di bathtub ya, Neng. Bibi ambil makan dulu."

"Makasih banyak, Bi."

Lalu Ata mengunci diri dikamar mandi. Disambutnya pantulan diri Ata yang berantakan. Cermin itu jelas memperlihatkan dirinya yang hancur.

Terlalu sakit baginya jika mengingat segala apa yang sudah ia perjuangkan terbuang sia-sia. Tak dianggap, tak dihargai.

Ia merendam dirinya dalam air hangat. Menenggelamkan sebagian tubuhnya yang terasa sakit. Apa yang harus ia lakukan dengan mata bengkak nya ini? ia tak mau orang-orang tau dengan rasa sakit yang ia terima dirumah.

✧ ────────────────── ✧

Ata membaringkan dirinya dikasur. Menatap langit-langit kamar yang didekorasi oleh bintang-bintang. Tampak seperti langit malam diluar.

Setelah mandi, ia benar-benar belum bisa melupakan kejadian tadi. Bahkan ia sempat enggan turun hanya untuk sekedar membawa pakaian kotornya. Ia terlalu takut.

Diraihnya ponsel diatas nakas. Notifikasinya penuh dengan pengingat jadwal-jadwal olimpiade, jangan heran.

Ia kembali kebagian kontak, ditekannya opsi panggilan darurat. Lalu benda pipih itu menunjukan kontak Aru disana. Entah kenapa, pikirannya hanya ada Aru sekarang.

Ia memikirkan bagaimana senyum dan perkataan Aru tentang dirinya. Bagaimana Aru merasa bangga terhadapnya. Ia sangat menyukainya.

Tapi, bagaimana jika Aru mengetahui keadaan yang sesungguhnya? bagaimana jika Aru tau jika ia bukanlah manusia robot yang pintar dan kuat. Melainkan ia hanyalah boneka yang di atur oleh Johan. Ia pasti akan menjauh, kan?

✧ ────────────────── ✧

Aru; Rumah untuk Ata. Where stories live. Discover now