Bagian; 23.

65 22 0
                                    


── Kilas Balik,
Bandung, 4 Hari lalu.

Sebenarnya, tidak dapat dipungkiri jika laki-laki itu merasakan sakit. Walau, ya, tidak sesakit apa yang menimpa Ata, tapi itu cukup membuat dirinya menjadi lebih diam dari biasanya.

Bayangkan dirimu dihadapi pilihan seperti Aru. Salah satunya adalah keluargamu. Tapi, kamu juga tidak bisa melepas kekasihmu. Jika saja kamu memiliki kekayaan dan kekuasaan, mungkin saja kamu bisa memilih keduanya.

Tapi ini Aru, anak laki-laki pertama dari keluarga yang sederhana. Ekonomi yang berkecukupan, juga tidak memiliki kekuasaan sama sekali.

"Kak, lo ngapa sih bengong mulu? kuaci aja sampe di anggurin, tumben."

Adrian duduk disebelah Aru, seperti biasa dengan gitar kebanggaannya. Laki-laki itu menoleh, menggeleng kecil.

Adrian menelisik wajah Aru, ah lihat tampang kebohongannya. Tapi ia memilih diam, takut jika hal yang sedang mengganggu Aru terlalu sensitif.

"Sekolah gimana? aman?"

Adrian, yang tangannya sibuk membuka bungkusan kuaci itu mengangguk menanggapi. "Aman kok. Cuman materi makin kesini makin sulit dipahami."

Saat ini Adrian menempuh pendidikan SMA nya di salah satu sekolah khusus hanya jurusan kedokteran. Materinya pun lebih banyak berbicara tentang dunia dokter. Berkat kecerdasannya lah Adrian dengan mudah diterima disana.

"Eh, gue mau tanya materi baru ke Kak Ata. Kok nggak pernah kesini lagi?"

Jemari Aru berhenti mengupas kuaci. Sosok yang selama ini berdiam di benaknya kembali muncul.

"Gue belum bisa ketemu dia buat sekarang."

Benar. Aru tidak pernah sekalipun menganggap jika hubungan ia dan Ata berakhir. Ia tak mau. Ia pikir, ia harus menemui Ata agar semuanya menjadi bersih, hanya saja mereka perlu waktu untuk bertemu. Karna Ia juga tak ingin ucapan Johan benar-benar terjadi. Ia selalu berharap jika gadis itu baik-baik saja.

"Lah, kenapa? Ada masalah?"

"Dia butuh waktu sendiri."

Melihat perubahan raut wajah kakaknya, Adrian berhenti bertanya. Ia cukup peka akan perasaan yang sedang di rasakan Aru.

"Tuh, mending buat gue." Adrian menunjuk tumpukan kuaci yang sendari tadi dikumpas Aru.

Satu pukulan itu mendarat diatas tangan Adrian, "Enak aja!"

Ya, kalau permasalahan kuaci keduanya tidak akan pernah mengalah.

"Lo harus jadi dokter ya." Tiba-tiba saja Aru mengatakan itu.

"Haruslah. Biar gue bisa benerin otak lu yang agak miring, kak."

"Kurang asem."

Keduanya saling tertawa. Lagi-lagi Adrian berhasil membuat suasana hati kakaknya menjadi baik.

"Eh, gembok dulu sono pager. Entar keburu diomelin Bun──"

Eh, belum juga menyelesaikan ucapannya, Adrian keburu lari meninggalkan Aru. Anak itu benar-benar malas.

"Kagak ah, lo aja. Thanks kuacinya!"

Lihatlah Ian, tak hanya menolak perintah kakaknya. Anak itu juga mengambil sebagian kuaci yang sudah Aru kupas.

"Senar gitar lo gua putusin ya!"

"Gue bisa pasang lagi, HAHAHAHAHA."

Walau sedikit sebal, tapi Aru dan Ian malah saling tertawa. Lagi pula, bukan hal besar.

Aru meninggalkan aktivitas mengupas kuacinya. Hujan sempat mengguyur Bandung cukup deras malam itu.

Sebelum tangannya mengunci pagar, sesuatu yang ia lihat justru mengambil alih atensinya. Disana, ia melihat Bu Summah yang mengeluarkan beberapa tas besar.

Tak biasanya. Karna yang ia tau, Bu Summah tinggal menetap dirumah Ata. Tapi tiba-tiba? Apa dia di berhentikan?

Karena sudah terbilang cukup akrab, ia tak ragu untuk menghampiri pagar Bu Summah. "Bu, tumben pulang?"

Bu Summah menghentikan aktivitasnya. Lalu menghampiri Aru digerbang. Raut wajah Bu Summah berantakan, kantung matanya pun memberitahu orang-orang jika ia habis menangis.

"Eh, Aru. Iya, ibu pulang, Nak."

"Tumben, Bu? Ambil libur?"

Sebenarnya, selain penasaran dengan kehadiran Bu Summah dirumah, Aru juga ingin menanyakan apakah Ata baik-baik saja?

Summah sempat diam untuk beberapa saat, lalu ia mengajak Aru masuk dan duduk di bangku teras. "Ada yang mau ibu bicarakan sebentar."

Entah kenapa, Aru merasa jika sesuatu yang Summah ingin katakan penting. Sampai ia sempat berfikir, apakah ada hubungannya dengan Ata.

"Swastamita, ada di dalam. Buat sementara, Neng Ata akan tinggal sama ibu."

Aru melongo tak percaya, "Ata?"

Summah mengangguk cepat, "Kondisi Ata lagi nggak baik-baik aja. Sekarang badannya drop."

Summah tahu bagaimana kedekatan antara Aru dan Ata. Dan ia tahu betul bagaimana Aru, maka malam itu ia menceritakan semua yang terjadi di rumah Ata. Tak terkecuali, semua yang ia lihat ia ceritakan pada Aru. Berharap dapat menjawab semua pertanyaan di benak Aru.

"Sekarang, Neng Ata butuh waktu sendiri. Tapi mungkin besok, dia butuh kamu, Ru."

Awalnya semua yang dikatakan Summah sempat membuat Aru merasa jika hubungan mereka harus benar-benar usai. Jika tidak, kejadian seperti ini bisa saja terjadi lagi. Namun, diakhir cerita ia benar-benar merasa harus kembali pada Ata. Tak peduli dengan apa yang akan terjadi. Lagipula Johan sudah tidak lagi berada di dekat Ata. Gadis itu kini tak memiliki siapa-siapa lagi. Yang dibutuhkan Ata saat ini hanyalah sosok-sosok yang dapat menyembuhkannya.

Melihat Summah yang kembali terisak saja membuat hatinya tercabik. Bagaimana keadaan gadisnya di dalam sana. Aru sangat khawatir.

"Ibu akan kasih Ata waktu sendiri, setelah Ibu rasa dia baikan. Ibu minta kamu datang kesini, ya?"

Aru mengganguk cepat. Berterima kasihlah pada Tuhan yang sudah memberi kesempatan untuknya hidup dengan Hati selembut malaikat.

Saat ini ia tak akan lagi peduli akan kehadiran Johan, Resa ataupun Nora. Ia takkan tinggal diam jika seseorang kembali mencoba merusak gadisnya lagi. Fokus Aru kini hanya akan kepada Ata.

✧ ────────────────── ✧

Aru; Rumah untuk Ata. Where stories live. Discover now