Bagian; 28.

68 19 0
                                    

Tungkai itu tak pernah sedikitpun melangkah pelan. Deru nafasnya tak karuan menahan rasa sakit.

Dia berhenti diujung lorong, tepat di depan pintu besar dengan lampu merah menyala.

Tubuhnya jatuh kala melihat sang Bunda menangis rintih di kursi tunggu. Bersama sang adik yang mencoba menenangkannya.

“Bunda...”

Aru berlutut dihadapan Ita, mencoba mendapat kejelasan dengan apa yang sudah terjadi.

“Ayah kecelakaan di tempat kerja, Kak. Operasi nya udah berjalan lima belas menit.” Adrian menjelaskan.

Seluruh jiwanya hancur begitu saja. Tak dapat berfikir jernih. Aru ikut terduduk lemas di lantai. Menatap pintu besar itu. Berharap semua berjalan lancar dan kembali seperti awal.

Kenapa? Kenapa harus disaat-saat seperti ini? Kenapa harus ia yang mendapatkan kabar ini?

Tak lama, hadir Ata dan Summah. Keduanya sama terkejutnya dengan Aru. Summah langsung memeluk Ita dengan sangat hangat. Ia juga tak lupa mengucap doa berulang kali.

Sedangkan Ata, ia ragu untuk mendekati Aru. Tatapan Aru seolah berbicara sesuatu kepadanya. Aru yakin Ata memikirkan hal yang sama seperti dirinya.

Tapi hati Ata tergerak untuknya. Ia tak mau meninggalkan Aru sendirian, walau mungkin masalahnya adalah dari dirinya.

Atensi semua orang teralihkan kala pintu besar itu terbuka. Lampu yang semula menyala pun kini sudah padam.

Nampak salah seorang dokter dan perawat disana. Dokter itu melirik kesemua orang yag hadir di hadapannya.

“Syukurlah, operasi pasien Abimata berjalan lancar. Pasien akan dipindahkan ke kamar.”

Semuanya lantas berseru syukur, sedikit melunturkan rasa khawatir. Setidaknya, nyawa Abimata masih bisa tertolong.

Tak lama ranjang yang membawa Abimata keluar. Dengan banyaknya alat serta infus yang membantu dirinya agar tetap mengembuskan nafasnya.

Walau masih dalam kondisi kritis, melihatnya masih hidup cukup bagi keluarga Aru.

“Tolong salah satu dari keluarga pasien mengurus administrasi.”

Aru menoleh, “Aru aja.”

Kemudian ia berpisah, mengikuti perawat. Sedangkan, Bunda, Ian, juga Summah mengikuti ranjang Abimata menuju kamar.

Tinggalah Ata yang masih terdiam di lorong dingin itu. Dengan beribu-ribu hal yang tiba-tiba muncul dibenaknya. Kebetulan ini terlalu aneh. Sangat janggal baginya.

Entah ini akan berakhir baik atau justru semakin memburuk. Ia takut jika lagi-lagi ialah penyebab dari semua ini.

Tungkai nya melangkah lesu hendak menyusul yang lainnya.

“Biaya operasi hingga rawat inap menggunakan asuransi yang diberikan perusahaan. Pihak keluarga hanya perlu membeli obat yang tidak disediakan di rumah sakit.”

“Terimakasih, Sus.”

Syukurlah Abimata memiliki asuransi yang diberikan oleh perusahaan.

Kedua pasang iris itu saling bertemu. Ditengah dinginnya lorong rumah sakit. Dibalik tatapan kosong milik Aru, ia menyimpan begitu banyak pertanyaan dalam benaknya.

Ata melangkah lebih dulu. Mengikis jarak diantara mereka. “Semuanya akan baik-baik aja, kok. Aku yakin.”

Ucapnya membuat pertahanannya runtuh. Menumpahkan segala yang ia rasa sekarang. Seorang Aru, laki-laki yang selalu menjadi penguat Ata, kini berada di titik rendahnya.

Aru; Rumah untuk Ata. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang