Bagian; 19.

82 24 7
                                    

Tidak ada yang membuka obrolan diantara mereka. Tidak ada suara selain deru mobil Johan, atau hentakan kaki dan kerasnya suara pintu yang dibanting.

"Duduk kamu."

Selangkah memasuki rumah, saat inilah percikan api keributan dimulai.

"Ini apa, Swastamita?!"

Johan menyodorkan ponselnya, disana tampak foto-foto Ata dan Aru sedang bersama. Entah itu di depan supermarket, di vespa, atau di tempat-tempat yang mereka kunjungi.

"Jawab dong, Ini apa Swastamita?!"

Pikiran Ata kacau sekarang. Tubuhnya gemetar ketakutan. Bom waktu yang ditunggu-tunggu meledak hari ini. Semua tentangnya dan Aru terkuak malam ini.

Tiba-tiba Johan tertawa, kencang sekali. Menggema keseluruh ruangan. Hingga ia hilang kendali, satu tamparan melayang mengenai pipi Ata.

Kencang, sakit sekali rasanya. Ata berusaha bertahan agar dirinya tidak tersungkur. Kepalanya lantas kembali sakit.

Sayangnya, Johan kembali kehilangan kendalinya. Amarah yang menggebu-gebu dalam dirinya membuat tangannya bergerak menarik rambut Ata. Sampai kepala gadis itu terangkat, mendongak kepadanya.

"Dapat keberanian dari mana kamu sampai membohongi saya?! JAWAB!"

"Pa.., sakit-"

Air mata Ata jatuh. Sakit sekali.

Johan melepaskan tangannya, membuat anak semata wayangnya itu jatuh tersungkur. Ata menangis dalam diam. Ia menunduk.

Sejenak, ia merasa sangat sakit akan perlakuan Johan. Sebenarnya, ini bukanlah yang pertama kali. Mungkin terhitung empat sampai lima kali Johan menggunakan tangannya ketika Ata membuat kesalahan fatal.

Ata muak. Ata sungguh-sungguh merasa jika dirinya hanyalah boneka Johan.

Entah keberanian darimana, entah angin apa yang merasuki dirinya. Ata bangkit, berdiri menghadap Johan.

Bola mata Johan menatap Ata, tanpa belas kasih. Tanpa rasa kasihan sama sekali. Melainkan Amarah. Berbeda dengan sang gadis.

"Papa.. Ata bukan anak Papa, ya?"

Kalimat itu terlontar begitu saja. Mungkin malam ini, akan menjadi malam dengan keributan terbesar dirumah megah ini.

"Nggak ada darah Papa yang mengalir di tubuh Ata, ya?"

"Papa anggap Ata apa?"

Begitu kalimat terakhir dilontarkan, kedua pipi Ata basah. Pecah sudah tangisannya. Setidaknya ia tak lagi menahan segala rasa yang sudah ia pendam sepuluh tahun lamanya.

Setidaknya, ia dapat menuturkan semuanya. Syukur-syukur jika Ata tidak dihabisi oleh Joham malam ini.

Johan menatap tajam Ata, "Kamu anak saya, Swastamita. Maka dari itu, seharusnya kamu mengikuti semua perkataan saya."

Dicengkeramnya bahu gadis cantik itu. Dengan segala penekanan disetiap omongannya, Johan tak gentar untuk terus memaki Ata.

Tapi, gadis itu tak lagi diam. Ia sudah cukup dewasa untuk ini. Ia sudah tidak bisa menerima semua ini. Ia akan memberontak untuk pertama kalinya.

"Tapi, Pa. Apa Papa pernah memperlakukan Ata sebagai seorang anak Papa sendiri?"

Johan semakin geram mendengar Ata yang terus menjawab ucapannya.

"Saya sekolahin kamu, saya kasih kamu biaya hidup, saya belikan semua kebutuhan kamu. APA SEMUA ITU KURANG?!" Johan membentak.

"ATA NGGAK PERLU SEMUA ITU, PA!"

"Yang Ata perlu, hanya kasih sayang. Ata butuh peran dari Papa, sebagai orangtua Ata."

Ata ikut meninggikan nada suaranya. Ia benar-benar menumpahkan segalanya. Sedikit-sedikit tangisannya mereda.

Johan kehabisan akal. Baru pertama kali ia melihat Ata memberontak didepannya. Dua manik legam itu menatapnya dengan tatapan kosong. Berbeda dengan biasanya.

Namun, Johan tetaplah Johan. Ia begitu keras dengan egonya.

"Omong kosong. Yang kamu perlukan hanya pendidik agar hidup kamu sukses kedepannya. Tanpa perlu mendapatkan semua yang kamu katakan. Seperti Papa."

Lihat? Johan masih terus mempertahankan egois dirinya. Ia tak peduli dengan apa yang Ata bicarakan. Menurutnya itu semua terlalu omong kosong.

"Benar katamu, Jo. Lebih baik kita bercerai saja."

Suara melengking milik Resa tiba-tiba terdengar. Membuat empat bola mata itu menoleh.

Resa hadir ditengah-tengah keributan. Entah apalagi yang akan ia tambahkan. Mungkin, Resa juga akan kembali mencaci maki Ata. Juga, menambahkan sumpah serapah dari mulutnya.

Resa berjalan mendekat, tangannya merongoh sesuatu dari tasnya. Ditariknya sesuatu keluar.

Tak!

Lembaran foto-foto itu dibanting dihadapan Johan.

"Bajingan gila!"

Ata tak mengerti apa yang terjadi. Ia mengambil satu buah foto yang dekat dengannya.

Bola matanya hampir terjatuh, melotot tak percaya.

Ya, itu adalah foto Johan yang tengah bercumbu dengan seorang wanita. Dan jelas Ata mengetahui siapa wanita jalang itu.

Nora.

Tak hanya satu, namun belasan foto lainnya menunjukkan bagaimana hubungan antara Johan dan Nora.

"Ternyata udah enam bulan kamu asik tidur sama wanita jalang itu."

Resa tertawa, bodoh sekali ia tak pernah menghiraukan Johan yang selalu pulang tengah malam. Tiba-tiba banyak rapat, atau pemberitahuan jika ada sebuah transaksi di rekeningnya.

"Kamu nggak pantas menyebutkan Nora sebagai Jalang!"

Waah! lihat, tidak pernah disangka jika Johan akan membela Nora. Secara logika, Johan seharusnya berlutut mengakui kesalahan yang sudah ia perbuat. Namun?

"Gila kamu, Jo."

Johan tertawa, tangannya mengambil salah satu foto tersebut, "Saya emang gila. Tapi kamu jauh lebih gila, Resa."

"Ma...Pa..."

Disana, ditengah keduanya. Ata merasa dunianya hancur. Tubuhnya terasa dihantam ribuan batu. Hancur seketika. Ia kira, selama ini hubungan kedua orangtuanya jauh lebih baik dari dirinya.

Johan melangkah maju, mendekati Resa, "Kamu tau, Nora jauh bisa memahami saya, Resa. Dia pandai melayani saya. Dan, dia memiliki pemikiran yang sama terhadap hadirnya seorang anak."

"BUKAN SEPERTI KAMU YANG SELALU MENGUTAMAKAN KASIH SAYANG!"

Boooom!

Berkat ucapan Johan. Ata dapat menangkap jika Johan benar-benar tidak peduli dengan apa itu kasih sayang. Disini, ia sadar. Sampai kapanpun, ia akan menjadi satu-satunya anak tanpa belas kasih seorang Papa.

"Nyatanya kamu nggak pernah belajar dari kepergian Asha, Jo."

Mendengar kalimat Resa, Johan tersentak. Wajahnya kembali mengeram.

"Kamu nggak usah bawa-bawa tentang anak saya, Resa!"

"ASHA JUGA ANAK AKU, JO. ASHA ANAK KITA!"

BOOOOM! sebuah bom kembali meledak. Semakin memperkeruh suasana.

Melihat reaksi Resa yang membela seseorang bernama Asha itu membuat Ata terkejut bukan main. Ia tak paham, ia tak mengerti. Jantung nya berdegup kencang.


"Mama.. Papa.., Asha itu siapa? tolong, jawab Ata."

Tangan, tubuh, matanya gemetar. Terlalu takut mendengar jawaban dari kedua orang di hadapannya.

Tuhan, apalagi ini?

✧ ────────────────── ✧

Aru; Rumah untuk Ata. Där berättelser lever. Upptäck nu