Bagian; 24.

73 26 1
                                    

"Aru?"

Laki-laki itu tersenyum manis, menutup pintu, lalu menghampiri Ata yang masih mematung. Disimpannya nampan diatas nakas.

Sejenak keduanya saling memandang, tenggelam dalam empat manik legam itu. Sebelum bulir-bulir air mata Ata mulai mendobrak keluar. Tanpa banyak kata, ia menarik gadis itu kedalam dekapnya. Membiarkan dada nya basah oleh tangis gadisnya.

Salah satu tanganya mengusap lembut surai Ata, sedangkan yang satunya menepuk-nepuk punggung gadis itu. Di dalam tangisnya, ia dapat merasakan bagaimana sakit yang ia pendam.

"Jangan... pergi lagi."

"Aku... nggak... punya siapa-siapa lagi."

Lirih Ata.

Mendengarnya membuat hati Aru pilu. Ia menyesal sudah meninggalkannya, walau pada saat itu ia tak memiliki pilihan lain.

"Maaf... maafin aku."

"Maaf, Ata."

Keduanya saling mendekap erat. Aru masih sentiasa mengusap surai Ata. Tak peduli seberapa lama, ia hanya ingin Ata merasa lebih baik.

"Aru, kemana aja?"

"Aku takut, aku takut Papa."

"Nggak ada yang sayang sama Ata."

Aru melepaskan peluknya tak kala Ata mulai berhenti meracau. Ditangkupnya wajah manis milik sang gadis. Ia benar-benar merindukan Ata.

"Maaf aku tiba-tiba pergi. Maaf. Tapi ada alasan dibaliknya, dan kamu harus tau. Aku cerita, tapi kita sambil makan ya, cantik?"

Ata mengangguk kecil, ia kembali duduk dihadapan jendela. Aru mengambil nampan, namun tidak dibiarkan Ata menyentuhnya. "Aku yang suapi."

Dari suapan pertama, Aru mulai bercerita. Ia menceritakan semuanya. Secara rinci. Ia tak ingin ada kesalahpahaman antara dirinya dan Ata.

"Tapi mulai malam ini, aku nggak akan ninggalin kamu lagi, Ta. Aku janji. Cukup sekali kamu seperti ini, aku nggak mau kejadian ini terulang lagi."

"Karna aku jauh lebih sakit kalau harus liat kamu hancur seperti ini."

Rasanya sedikit demi sedikit kepingan hati Ata kembali menyatu. Berkat kehadiran tuan pemilik hati disisinya. Dan duniapun yakin, jika omongan Aru bukanlah omong kosong. Juga, Ata akan sembuh secara perlahan.

Ditangkupnya kedua pipi gadis itu. Dielus guna menghilangkan jejak air mata disana. Senyum Ata terbit takkala menatap manik mata Aru. Aru membubuhkan kecupan-kecupan hangat dikelopak mata Ata, berakhir di hidung. Gemas.

"Jangan nangis lagi ya, gadisku?"

Malam itu, kedua insan yang sempat dipisahkan kembali menyatu. Saling melepas rindu juga membubuhkan kasih sayang seperti obat bius. Tuhan, kuharap takdirmu selalu berpihak kepada keduanya.

"Satu suapan lagi. Nyam!"

Ata terkekeh gemas melihat bagaimana manis tingkah kekasihnya. "Aku kangen."

"Aku juga, tapi habis ini kamu harus istirahat. Besok, aku janji habisin waktu sama kamu."

Mendengar ucapan Aru barusan membuatnya teringat sesuatu, "Kok kamu bisa tau aku ada disini?"

"Bu Summah tetangga aku. Persis sebelahan loh, rumahnya. Kamu nggak sadar?"

Ata menggelang, "Aku nggak perhatikan jalan selama kesini."

Aru mengangguk mengerti, "Yuk, kamu harus istirahat."

"Masih kangeen."

Aru menarik tubuh mungil itu, meminta Ata berbaring di kasur. Setelah ia menarik selimut, "Bentar ya."

Aru; Rumah untuk Ata. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang