Bagian; 25.

86 25 4
                                    


"Ayo kerumah, Bunda nanyain."

"Bunda tahu aku disini?"

Sebenarnya gadis itu ragu untuk mengunjungi rumah Aru. Rasa malu timbul kala melihat bagaimana hangatnya rumah Aru. Sedangkan ia, tidak punya siapa-siapa.

Selama ini, Ata yakin jika keluarga Aru menganggap Ata memiliki keluarga cemara. Berkecukupan, juga punya kekuasaan. Padahal kenyataannya, jauh sekali.

"Aku malu sama kondisi ku sekarang, aku nggak punya siapa-siapa."

Aru menyamakan tingginya dengan Ata, "Kok malu? kamu punya aku, kamu punya Bu Summah. Bahkan, Bunda ku sudah menganggap kamu sebagai anaknya kok. Nggak perlu merasa malu, Ta. Kamu pantas dicintai."

Diusaknya kepala Ata, gemas. Senyum Aru terus menggembang membuat puan pemilik hatinya ikut tersenyum.

"Aku ganti baju dulu, ya? sekalian rapihin rambutku sedikit."

"Jangan."

Alis Ata menaut, "Kenapa?"

"Udah cantik, nanti makin cantik. Orang-orang sekitar bisa langsung jatuh cinta sama kamu."

Tak dapat dipungkiri jika gombalan renyah Aru membuatnya salah tingkah. Semburat merah dipipi Ata menjadi bukti.

"Aku tampil cantik buat pacarku sama keluarga pacarku. Bukan buat orang lain, kok."

Oh, siapa sangka jika seorang Ata bisa membalas perkataan manis Aru. Setelahnya ia langsung berlari meninggalkan Aru yang salah tingkah.

"Untung gue pacarnya." ucap Aru bangga.

✧ ────────────────── ✧

"Dirumah ada siapa?

"Cuma ada Bunda sama ian. Ayah masih harus kerja di hari Sabtu, lagi ada proyek."

Aru membuka kenop pintu rumahnya. Rasanya Ata benar-benar rindu dengan kehangatan rumah ini. Walau bisa dibilang baru sebentar, rumah ini benar-benar berarti bagi Ata.

"Duduk dulu, aku panggil Bunda ya."

Sama seperti sediakala, ia duduk di bangku ruang tengah. Yang dihiasi banyak bingkai foto. Juga, satu bingkai besar yang berada di tengah. Seperti miliknya, namun dengan aura yang begitu berbeda. Hangat.

Terdengar langkah kaki yang terburu-buru. "Kak Ata!"

Mendapati kabar jika Ata berkunjung setelah sekian lama, Adrian langsung berlari kebawah. Tak lupa, membawa satu buah buku modul.

Ata melambaikan tangannya kepada Ian, "Hai, Ian. Apa kabar?"

"Ian baik. Harusnya Ian yang tanya kakak, kakak kemana aja?"

Ian mendaratkan bokongnya di bangku sebelah Ata. Senyum itu persis seperti milik Aru.

"Baik, kok. Ada yang mau ditanyain?"

Ata begitu peka ketika melihat Adrian sendari tadi membawa buku modul.

Bocah itu lantas tersenyum senang, sebelum ada Aru yang memergoki ia akan mengambil kesempatan. Lagipula, Ata sendiri yang menawarkan.

Tawaran itu jelas membuat keduanya ternggelam dalam materi. Aru yang memperhatikan keduanya pun tidak berniat mengganggu. Walau sempat khawatir, jika saja Ata membahas soal-soal itu ia akan teringat kejadian kemarin. Tapi, ternyata tidak. Ia bersyukur jika hal tersebut tidak menggangu Ata.

Aru; Rumah untuk Ata. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang