Bagian; O8.

118 38 2
                                    

Disinilah mereka berdua, di taman dengan hamparan rumput hijau yang luas. Keduanya berjalan beriringan, sama-sama diam.

"Kesana, yuk?" Aru menunjuk satu tempat.

Ia membuka tikar yang sengaja Aru beli untuk menikmati akhir hari bersama Ata.

Keduanya duduk bersebelahan, Aru mengeluarkan semua camilan yang ia beli di swalayan sebelah gedung les Ata.

Sedangkan Ata, gadis itu melepas tas ranselnya yang penuh modul. Memejamkan mata menikmati sejuknya udara.

Aru memfokuskan pandangan pada paras cantik Ata. Angin menerpa surainya lembutnya. Dan cahaya matahari membuat wajah Ata tampak lebih cerah. Cantiknya. Aru bergumam.

"Nih" lagi, sekotak susu stroberi ia berikan pada Ata.

Ata tersenyum sembari menerimanya, "Makasih, Ru."

Dinikmatinya udara sejuk hari itu. Nyatanya hanya Ata yang bisa merubah niat Aru untuk berdiam dirumah. Ngomong-ngomong, Ata sendiri tidak tau apa tujuan Aru membawanya kesini.

"Jadi, tujuan lo nyulik gue kesini apa, Ru?" maka dari itu Ata bertanya.

Aru tersenyum simpul, ia tatap kedua manik legam Ata, "Karna lo hebat, Ta."

Hebat? Ata bertanya pada dirinya sendiri.

"Lo hebat, Ta. Ditengah kondisi badan lo yang lagi nggak fit, masih tetep ikut olim, bertahan sampe akhir. Dan, ya. Swastamita selalu membanggakan sekolah dengan medali emasnya."

Ata tertegun dengan ucapan Aru kali ini. Sebelumnya, ia tak pernah mendengar ucapan seperti itu. Lagipula, ia peringkat dua, ia rasa itu suatu hal yang bukan harus dibanggakan?

Maniknya tak kuasa membalas tatapan dalam Aru, ia alihkan atensinya kedepan, "Gue peringkat dua, Ru. Bukan yang pertama. Nggak ada yang harus dibanggakan."

"Ata."

Ia menoleh.

"Pekan ini, lo berhasil bawa dua medali. Bukannya itu hal yang membanggakan? Bahkan hal yang lebih kecil lagi, Ta. Lo ikut kompetisi aja, udah bikin orang-orang bangga."

"Semua tentang lo, selalu membanggakan."

Ata tertegun. Perkataan Aru membuatnya merasa gundah. Perasaanya membuat bulir air matanya naik ke pelupuk. Kata bangga begitu berarti baginya. Ia sangat merasa bersyukur jika masih ada orang yang menghargai kerja kerasnya. Ia lebih merasa beruntung lagi ketika tau jika orang itu adalah Aru.

"Jangan nangis, Ata. Itu bukan yang hal yang harus lo tangisi," ujar Aru selepas ia memperhatikan raut wajah Ata.

"Bahkan kalau satu dunia nggak bangga sama lo, gua bakal tetap jadi orang pertama yang bangga sama lo."

"Kalau orang-orang nggak bangga sama lo, cari gue, Ta."

Lagi, ia mati-matian menahan air matanya yang mendobrak keluar akibat Aru. Dari sekian banyak orang-orang disekitar, selain Haura, ia bersyukur bisa mengenal Aru. Ata harus banyak berterima kasih pada Haura yang sudah membawanya waktu itu.

"Makasih, Ru. Kayanya lo obat paling ampuh diantara obat-obat yang dikasih dokter," akhirnya, Ata menjawab.

Aru tersenyum lebar setelahnya, "Hari ini lo harus nikmatin sore ini. Lo nggak boleh ngelewatin udara yang sesejuk ini."

Ah, benar kata Aru. Syukurlah diculik oleh Aru. Persetan dengan segala amarah Johan nanti.

Aru mulai membuka camilan yang ia bawa, "Nih, nyemil."

"Ngomong-ngomong, Ru, sorry soal kemarin. Gue nggak sengaja telepon lo, niatnya gue mau telepon supir gue. Tapi karna gue pusing banget, gue teledor."

Aru; Rumah untuk Ata. Where stories live. Discover now