Bagian; 16.

109 23 2
                                    

Setelah selesai makan siang dan membantu Ita untuk mencuci piring, Ata dan Aru duduk diteras depan.

Semilir angin membuat udara terasa lebih sejuk. Berkali-kali Ata berucap syukur karna sudah mempertemukan dirinya dengan Aru.

Ditatapnya sosok wira yang duduk disisinya. Aru sibuk menalikan sepatu basketnya yang baru saja dicuci.

"Aru."

Aru langsung menoleh mendengarnya, "Hm?"

"Nggak apa-apa."

"Sebentar ya, cantik. Habis ini fokusku cuma buat kamu lagi, kok."

Ah, dengerlah omongan Aru yang begitu manis. Membuat si gadis tak sanggup menahan semburan merah tanda salah tingkah.

"Gue aneh denger lo ngomong manis gitu, kak."

Tiba-tiba saja suara berat lainnya terdengar di ambang pintu. Membuat keduanya menoleh. Disana, ada Adrian yang sudah siap untuk pergi.

"Apa sih lo, sono berangkat Ntar telat ngomel-ngomel lagi," Aru berujar.

"Iye-iye."

Adrian berjalan melewati Aru, tapi, "Kak Ata, boleh bantu gue sama materi ini nggak? Jujur, masuk kuping kanan keluar kuping kiri."

Tiba-tiba ia terduduk didepan Ata dengan buku modul yang terbuka. Aru sendiri terkejut dengan apa yang dilakukan oleh adiknya.

"Cih modus, lo kan bisa tanya ke gue," Aru menyiyir.

Adrian mendelik tajam, "Lo ngerti aja kagak."

Ata terkekeh mendengar perdebatan adik-kakak satu ini. Lalu ia mengambil alih modul Adrian. Bocah itu duduk dikelas sepuluh. Satu tahun dibawah Aru. Dengan sekali baca, Ata langsung memahami materi tersebut.

"Ini, kuncinya ada di y sana x dirumus ini. Nah kalau udah..."

Atensi Aru teralihkan pada keduanya. Walau ia tak mengerti dengan apa yang dibicarakan, ia merasakan sesuatu pada dirinya.

Jika bisa dibilang, kemampuan Adrian dan Ata bisa diseimbangkan. Adrian begitu keras dalam belajar, ia bertekad untuk menjadi dokter dimasa depan. Tentu saja, pilihan itu didukung penuh oleh Ita dan Abimata. Dirasa memiliki dukungan penuh, Adrian benar-benar menghabisi waktunya untuk belajar.

Walau demikian, Ita dan Abimata pun tidak pernah menuntut Aru untuk mengikuti jejak yang sama dengan Adrian, begitupun sebaliknya. Ita dan Abimata pun mendukung sepenuhnya prestasi Aru dalam bidang olahraga. Ita dan Abimata tipikal orang tua yang tak pernah sedikitpun menuntut sesuatu dari anak-anak mereka.

"Oh! akhirnya paham gue. Makasih banyak Kak. Sekali lo ngejelasin gue langsung paham, hehe."

Ata mengembalikan modulnya pada Adrian, "Sama-sama. Kalau ada yang Ian nggak ngerti, hubungi aku aja."

Adrian mengacungkan kedua jempolnya, "Oke! Kak, gue berangkat dulunya, ntar jemput!"

Setelahnya Adrian melenggang berlari dengan modul dan tas ransel kebanggaannya.

"Hebatnya pacarku, bisa menghadapi bocah tengil kaya Ian," Aru yang gemas, mengusak pucuk kepala Ata.

"Apasih, Ru. Biasa aja."

Aru duduk menghadap Ata, kini atensinya milik Ata sepenuhnya.

"Ian sama aku bener-bener beda. Ian hampir sama kaya kamu, jago banget soal belajar. Dia juga pengen jadi dokter. Sedangkan aku, ya. Cuma rata-rata lah."

Ata juga menghadap Aru, "Hey, tuan matahari terbit. Jangan lupain banyaknya medali basket kamu ya."

"Kalau gitu. Hey, nyonya matahari tenggelam. Jangan lupakan juga gudang medali olimpiade kamu, cantik."

Aru; Rumah untuk Ata. Where stories live. Discover now