41. Cinta dalam luka

20 5 3
                                    

Annyeong 💐

*
*

"Bahkan setelah kamu pergi jauh dariku, kamu masih menetap dalam ingatanku."

= Raka Fahreza Sundara =

*
*

Happy Reading

Di pagi yang cerah ini, saat semua orang melakukan kegiatan yang menyenangkan, berlari di tengah lapangan dengan tertawa lepas. Zitha hanya bisa melihat itu dari kejauhan.

Untuk kesekian kalinya, Zitha hanya bisa duduk dan menonton saat jam olahraga berlangsung. Kadang rasa iri menyelimuti hatinya, kenapa dia tidak bisa sebebas itu?

Olahraga itu sangat baik, tapi mengapa untuknya tidak?

Hanya olahraga tertentu yang bisa ia lakukan, semua ada batasan untuknya. Zitha tidak bisa melakukan sebebas seperti yang lain.

"Udah mulai panas, lo pergi ke kelas aja sana, muka lo noh pucet bener!"

Zitha mendongak ke kanan dimana Rafael berdiri menghalangi sinar matahari yang sedari tadi menerpa wajahnya.

"Keliatan banget, kah?" Zitha segera mengambil kaca di sakunya "iss padahal gue udah make-up kenapa masih keliatan kaya mayat hidup dah?" gerutuknya setelah melihat kondisi wajahnya.

Rafael mengambil tempat duduk di samping Zitha, tatapannya lurus ke arah lapangan yang menampilkan teman-temannya sedang melakukan olahraga.

"Emang dasarnya aja lo ga pandai make-up. Segela di tutup-tutupi, sakit mah bilang aja. Ga usah di paksain, sok kuat bener!" cibir cowo itu tampa mengalihkan pandangannya sama sekali.

Zitha mencibir sinis, "Ini pucet karena gue belum makan, orang sehat kok!"

Rafael mengangkat sudut bibirnya, lalu dia menoleh kepada Zitha. "Seharusnya lo masuk kelas ekting, cocok lo, jago banget pura-pura baik-baik aja..."

Zitha mengkerutkan keningnya, tidak mengerti kenapa Rafael berbicara seperti itu.

"Apaan sih, ga jelas banget!"

Memilih mengacuhkan Rafael, Zitha bergeser tempat duduk yang lebih teduh.

Sekarang mereka duduk berjarak lima kursi, sedikit jauh. Namun, Zitha masih bisa mendengar Rafael berbicara dengan jelas.

"Sampai kapan?" tanya Rafael setelah beberapa saat hanya diam, Zitha mengkerutkan keningnya "Sampai kapan lo sembunyiin penyakit lo, hmm?" lanjutnya yang mampu membuat Zitha sedikit shock.

"P-ppeyakit a-apaan?"

"Gue udah tau...lo sembunyiin dari orang-orang kalau lo sakit. Udah lama gue diem aja, gue sedikit kesel liat prilaku lo pura-pura kuat. Segituh ga pentingnya gue, Tasya, Julva dan lainnya di mata lo? ohh~~~cuman si Sakara doang yah yang lo anggap penting sampe lo cuman kasih tau dia dong." ucap Rafael mengutarakan isi hatinya selama ini.

Zitha menundukkan kepalanya, "B-bukan gituh...gue lagi nunggu waktu yang tepat---"

Rafael menyela Zitha, "Waktu yang tepat? Kapan? sampai gue sama yang lainnya menyesal dan merasa bodoh karena ga tau kalau salah satu temen kita di vonis penyakit mematikan, iya?"

Friendship of the Heart (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang